16 Juli 2016

opini musri nauli : Kerajaan Indrapura




Nama Kerajaan Indrapura ditemukan dalam tutur cerita rakyat di dataran tinggi Merangin, Jambi.

Didalam Margo Sungai Tenang, keberadaan masyarakat berikrar berdasarkan keturunan dari Kerajaan Indrapura. Di Dusun Pulau Tengah Kecamatan Jangkat, mereka mengaku berasal dari Tuanku Regen Indrapura[1] turun ke Serampas kemudian ke Sungai Tenang[2]. Nama Sutan Gerembung merupakan anak dari Sutan Gelumang yang bermukim di Muko-muko. Cerita ini kemudian dilengkapi dari Dusun Renah Pelaan yang mengaku keturunan dari Siti Berek. Siti Berek merupakan adik dari Sutan Gerembung dari “Serampas”.

Nama Indrapura juga bisa ditemukan didalam catatan klasik William Marsden “The History of Sumatra[3].  Marsden mengatakan tentang tembaga: “orang Melayu gemar mencampur logam ini dengan emas, dalam takaran yang sama, dan menggunakan campuran tersebut yang mereka sebut suasa untuk membuat kancing, kotak serta kepala keris””.

Dalam catatan perjalanan William Marsden[4] dalam Perjalanan menyusuri Koerintje, Soengei Tenang dan Serampei, Limoen dan Rawas dapat dipelajari oleh Charles Champbell, seorang letnan yang berani[5]. Informasi ini didapatkan dari pengamatan peta di Sumatera Tengah oleh D. D Veth[6]

Ketika kedatangan Belanda tidak diterima di Kerinci, maka Belanda kemudian melakukan penyerangan dari tiga jurusan yaitu Muko-muko, Indrapura dan Bangko. Dari Muko-muko tidak melewati Renah Manjuto tapi melalui Serampas dan Sungai Tenang.

Rasa penasaran itulah yang kemudian saya menggali ornament dan catatan tentang Indrapura.

Indrapura dikenal sebagai “ujung “ Kerajaan Pagaruyung. Secara resmi Indrapura “pernah menjadi vassal” dari Kerajaan Pagaruyung. Kesultanan Indrapura, adalah Kerajaan Islam Malayu yang diperkirakan berdiri  1100  m– 1911 m[7].

Setelah abad XV, beberapa daerah kemudian tidak bisa dikontrol oleh Pagaruyung. Daerah-daerah seperti Indragiri, Jambi dan Indrapura menjadi otonom dan dibiarkan untuk mengurusinya. Kekuasaan Indrapura kemudian menjadi besar ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis setelah abad XV.

Kebesaran Indrapura kemudian didukung dengan berubahnya alur perdagangan yang semula melalui pantai timur sumatera menjadi pantai barat Sumatera[8].

Menurut Gusti Asnan, Ada beberapa factor kenapa pedagang pindah berdagang ke pantai barat Sumatera. (1) Malaka yang sebelum kedatangan portugis aman tapi menjadi tempat yang mengerikan karena ada beberapa kerajaan yang menginginkan Malaka antara lain Portugis sendiri, kerajaan Johor dan kerajaan Aceh sehingga para pedagang yang berada di pelabuhan tersebut mencari tempat yang aman. (2) Setelah perang salib terjadi permasalahan baru antara orang Muslim dan orang Kristen sehingga orang Muslim. (3) Kedatangan bangsa portugis dengan semangat untuk menghancurkan Islam, menyebabkan para pedagang Muslim menghindari rute Malaka dan menyusuri pantai barat sumatera

Pada awal abad ke – 17 pantai barat pulau Sumatera di kuasai oleh kerajaan Aceh dan menempatkan wakil – wakil mereka di pantai barat Sumatera dua komoditi yang diperdagangkan yaitu emas dan lada. Ini menjadikan pantai barat pulau Sumatera menjadi jalur perdagangan tempat yang menjadi pusat perdagangan antara lain Singkel, Barus, Tiku, Pariaman, Padang dan beberapa tempat lain yang menjadi kota pantai, karena tempat ini menjadi jalur pelayaran dan perdagangan maka berdatangan juga para pedagang terutama dari India, Arab, dan Eropa terutama Belanda dan Inggris. Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah.

Kerajaan Indrapura bahkan sudah membangun hubungan dagang dengan Banten dan Aceh.  Bahkan dengan Aceh dibangun hubungan persahabatan yang ditandai dengan perkawinan antara Raja Dewi, Putri Sultan Munawar Syah dari Indrapura dengan Sultan Firman Syah, saudara Raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri’ayat Syah.

Belanda sendiri melaporkan kerajaan Indrapura sebagai kerajaan Makmur dibawah Raja Itam serta 30 ribu rakyatnya terlibat pertanian dan perkebunan terutama padi dan lada[9]. VOC sendiri mengadakan perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian dan langsung bisa dimuat di atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan serta dibebaskan dari cukai pelabuhan.

Sejumlah komoditas penting yang diekspor dari kawasan ini adalah kopi, kapur barus (kamper), kemenyan, lada, beras, kayu manis, gambir, kulit hewan ternak, getah karet, minyak kelapa, dan kopra. Adapun komoditas impor mencakup kain, garam, dan opium.

Jalur pantai Barat Sumatera berakhir lebih cepat secara resmi pada tahun 1799. Salah satu faktor utama yang mempercepat adalah datangnya dua kekuatan asing ke kawasan ini. Dua kekuatan asing itu adalah “bajak laut” Perancis di bawah pimpinan Le Meme (seorang bajak laut yang diangkat Napoleon sebagai komandan pangkalan Angkatan Laut Perancis di Mauritinus dan Borbon) menyerbu Kota Padang tahun 1793 dan kekuatan tentara perang Inggris yang memasuki wilayah Pantai Barat Sumatera pada tahun 1795.

Inggris menguasai Padang pada 30 November 1795 dan Inggris langsung membuka perwakilannya di Air Bangis dan Pulau Cingkuak[10]. Masa kekuasaan Inggris ini dinamakan masa interregnum (pemerintahan sementara) Inggris[11].

Menurut Amir Sjarifoedin[12], wilayah kekuasaan Indrapura meliputi Pantai barat Sumatera dimulai dari Padang Utara, sampai di Sungai Hurai di Selatan, Lembah Airhaji dan Batang Indrapura. Termasuk didalamnya Lembah Manjuto dan Airdikit dan Muko-muko.




Nah melihat alur sungai dari Airdiki dan Lembah Manjuto dengan menyusuri sungainya dan ditambah dengan peta kekuasaan Indrapura, maka keberadaan dan pengakuan “puyang” masyarakat Sungai Tenang dari Indrapura dapat dipahami.

Indrapura akhirnya benar-benar runtuh pada tahun 1792 ketika garnisun VOC di Airhaji menyerbu Indrapura. Sultan Indrapura kemudian mengungsi ke Bengkulu dan meninggal tahun 1824[13].

Namun direlung hati masyarakat, ikrar sebagai “puyang” dari Indrapura masih lekat dan tutur ini masih ditemukan di berbagai desa di Margo Sungai Tenang, Bangko, Jambi


[1] Tuanku Regen di Indrapura adalah jabatan asisten Residentie yang berpusat di Painan.
[2] Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Sabawi merupakan mantan Depati terakhir di Pulau Tengah. Baru menjabat dua tahun sebagai Depati kemudian sistem pemerintahan diganti dengan Kepala Desa. Sabawi kemudian menjabat dua periode sebagai kepala Desa Pulau Tengah.
[3] William Marsden, The History of Sumatra. London: Thomas Payne, 1784, second edition, 357. Buku ini kemudian diterjemahkan Sejarah Sumatera, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
[4] Sebagaimana diceritakan oleh Hastings Dare “Expedition to The Serampei and Sungei Tenang Countries, Oxford University Press, New York, hal. 308-324.
[5] korintji, soengei tenang et serampei, limoen et rawas excepte ce que nous ont appris sur ces contrees les voyages de charles campbell, du lieutenant dare et de thomas barnes, accoumplis dans les annes 1880, 1805 et 1818, et que les membres de i'expedition de sumatra ont pu observer du pic d'indrapoera ou en naviguant le tembesi le rawas et le limoen bras du djambi et du moesi. les informations, recues sur le korintji, par les agent du gouvernement, etablis sur la cote occidentale.
[6] Voir : Kaaart van Midden-Sumatra Par D. D Veth dans, Midden Sumatra

[7] Amir Syarifoedin, Minangkabau –Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Penerbit Gria Media Prima, Jakarta, 2014, Hal. 310
[8] Gusti Asnan. Dunia maritim Pantai Barat Sumatera ,Jokjakarta, 2007 hal 55
[9] Kathirihambley-Wellm J, The Inderapura Sultanate : The Foundation of its Rise and Decline, From the Sixteenth to the Eighteenth Century,
[10] E. B. Kielstra, “Sumatra’s Westkust van 1819-1825”, BKI, Deel 36 a, 1887, hal. 8 dan 16-17
[11] Daerah-daerah yang diduduki VOC diserahkan pada Inggris karena perintah dari Raja Belanda William V yang melarikan diri ke Inggris setelah negerinya diduduki oleh Perancis. Lihat Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hal. 350-351.
[12] Amir Sjarifoedin, Op.cit. Ha. 311-315
[13] Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, 1981.