Nama Kerajaan
Indrapura ditemukan dalam tutur cerita rakyat di dataran tinggi Merangin,
Jambi.
Didalam Margo
Sungai Tenang, keberadaan masyarakat berikrar berdasarkan keturunan dari
Kerajaan Indrapura. Di Dusun Pulau Tengah Kecamatan Jangkat, mereka mengaku berasal dari Tuanku Regen
Indrapura[1]
turun ke Serampas kemudian ke Sungai Tenang[2]. Nama Sutan Gerembung merupakan anak dari
Sutan Gelumang yang bermukim di Muko-muko. Cerita ini kemudian dilengkapi dari
Dusun Renah Pelaan yang mengaku keturunan dari Siti Berek. Siti Berek merupakan
adik dari Sutan Gerembung dari “Serampas”.
Nama Indrapura
juga bisa ditemukan didalam catatan klasik William Marsden “The History of Sumatra[3]. Marsden mengatakan
tentang tembaga: “orang Melayu gemar
mencampur logam ini dengan emas, dalam takaran yang sama, dan menggunakan
campuran tersebut yang mereka sebut suasa untuk membuat kancing, kotak serta
kepala keris””.
Dalam catatan perjalanan William
Marsden[4]
dalam Perjalanan menyusuri Koerintje, Soengei Tenang dan Serampei, Limoen dan
Rawas dapat dipelajari oleh Charles Champbell, seorang letnan yang berani[5].
Informasi ini didapatkan dari pengamatan peta di Sumatera Tengah oleh D. D Veth[6]
Ketika
kedatangan Belanda tidak diterima di Kerinci, maka Belanda kemudian melakukan
penyerangan dari tiga jurusan yaitu Muko-muko, Indrapura dan Bangko. Dari Muko-muko
tidak melewati Renah Manjuto tapi melalui Serampas dan Sungai Tenang.
Rasa penasaran itulah yang kemudian saya menggali ornament
dan catatan tentang Indrapura.
Indrapura
dikenal sebagai “ujung “ Kerajaan Pagaruyung. Secara resmi Indrapura “pernah
menjadi vassal” dari Kerajaan Pagaruyung. Kesultanan Indrapura, adalah Kerajaan
Islam Malayu yang diperkirakan berdiri 1100 m–
1911 m[7].
Setelah abad
XV, beberapa daerah kemudian tidak bisa dikontrol oleh Pagaruyung.
Daerah-daerah seperti Indragiri, Jambi dan Indrapura menjadi otonom dan
dibiarkan untuk mengurusinya. Kekuasaan Indrapura kemudian menjadi besar ketika
Malaka jatuh ke tangan Portugis setelah abad XV.
Kebesaran
Indrapura kemudian didukung dengan berubahnya alur perdagangan yang semula
melalui pantai timur sumatera menjadi pantai barat Sumatera[8].
Menurut Gusti Asnan, Ada beberapa factor kenapa pedagang pindah berdagang
ke pantai barat Sumatera. (1) Malaka
yang sebelum kedatangan portugis aman tapi menjadi tempat yang mengerikan
karena ada beberapa kerajaan yang menginginkan Malaka antara lain Portugis
sendiri, kerajaan Johor dan kerajaan Aceh sehingga para pedagang yang berada di
pelabuhan tersebut mencari tempat yang aman. (2) Setelah perang salib terjadi
permasalahan baru antara orang Muslim dan orang Kristen sehingga orang Muslim.
(3) Kedatangan bangsa
portugis dengan semangat untuk menghancurkan Islam, menyebabkan para pedagang
Muslim menghindari rute Malaka dan menyusuri pantai barat sumatera
Pada awal abad ke – 17 pantai
barat pulau Sumatera di kuasai oleh kerajaan Aceh dan menempatkan wakil – wakil
mereka di pantai barat Sumatera dua komoditi yang diperdagangkan yaitu emas dan
lada. Ini menjadikan pantai barat pulau Sumatera menjadi jalur perdagangan
tempat yang menjadi pusat perdagangan antara lain Singkel, Barus, Tiku,
Pariaman, Padang dan beberapa tempat lain yang menjadi kota pantai, karena
tempat ini menjadi jalur pelayaran dan perdagangan maka berdatangan juga para
pedagang terutama dari India, Arab, dan Eropa terutama Belanda dan Inggris.
Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian
Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria)
sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah.
Kerajaan Indrapura bahkan
sudah membangun hubungan dagang dengan Banten dan Aceh. Bahkan dengan Aceh dibangun hubungan
persahabatan yang ditandai dengan perkawinan antara Raja Dewi, Putri Sultan
Munawar Syah dari Indrapura dengan Sultan Firman Syah, saudara Raja Aceh saat
itu, Sultan Ali Ri’ayat Syah.
Belanda sendiri melaporkan
kerajaan Indrapura sebagai kerajaan Makmur dibawah Raja Itam serta 30 ribu
rakyatnya terlibat pertanian dan perkebunan terutama padi dan lada[9].
VOC sendiri mengadakan perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian dan
langsung bisa dimuat di atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan serta
dibebaskan dari cukai pelabuhan.
Sejumlah
komoditas penting yang diekspor dari kawasan ini adalah kopi, kapur barus
(kamper), kemenyan, lada, beras, kayu manis, gambir, kulit hewan ternak, getah
karet, minyak kelapa, dan kopra. Adapun komoditas impor mencakup kain, garam,
dan opium.
Jalur
pantai Barat Sumatera berakhir lebih cepat secara resmi pada tahun 1799. Salah
satu faktor utama yang mempercepat adalah datangnya dua kekuatan asing ke
kawasan ini. Dua kekuatan asing itu adalah “bajak laut” Perancis di bawah
pimpinan Le Meme (seorang bajak laut yang diangkat Napoleon sebagai komandan
pangkalan Angkatan Laut Perancis di Mauritinus
dan Borbon) menyerbu Kota Padang tahun 1793 dan kekuatan tentara perang Inggris
yang memasuki wilayah Pantai Barat Sumatera pada tahun 1795.
Inggris
menguasai Padang pada 30 November 1795 dan Inggris langsung membuka
perwakilannya di Air Bangis dan Pulau Cingkuak[10]. Masa
kekuasaan Inggris ini dinamakan masa interregnum
(pemerintahan sementara) Inggris[11].
Menurut Amir Sjarifoedin[12],
wilayah kekuasaan Indrapura meliputi Pantai barat Sumatera dimulai dari Padang
Utara, sampai di Sungai Hurai di Selatan, Lembah Airhaji dan Batang Indrapura.
Termasuk didalamnya Lembah Manjuto dan Airdikit dan Muko-muko.
Nah melihat alur sungai dari
Airdiki dan Lembah Manjuto dengan menyusuri sungainya dan ditambah dengan peta
kekuasaan Indrapura, maka
keberadaan dan pengakuan “puyang” masyarakat Sungai Tenang dari Indrapura dapat
dipahami.
Indrapura
akhirnya benar-benar runtuh pada tahun 1792 ketika garnisun VOC di Airhaji
menyerbu Indrapura. Sultan Indrapura kemudian mengungsi ke Bengkulu dan
meninggal tahun 1824[13].
Namun direlung
hati masyarakat, ikrar sebagai “puyang” dari Indrapura masih lekat dan tutur
ini masih ditemukan di berbagai desa di Margo Sungai Tenang, Bangko, Jambi
[1]
Tuanku Regen di Indrapura adalah jabatan asisten Residentie yang berpusat di
Painan.
[2] Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016.
Sabawi merupakan mantan Depati terakhir di Pulau Tengah. Baru menjabat dua
tahun sebagai Depati kemudian sistem pemerintahan diganti dengan Kepala Desa.
Sabawi kemudian menjabat dua periode sebagai kepala Desa Pulau Tengah.
[3] William Marsden, The History of Sumatra. London: Thomas Payne, 1784,
second edition, 357. Buku ini kemudian diterjemahkan Sejarah Sumatera, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
[4] Sebagaimana
diceritakan oleh Hastings Dare “Expedition to The Serampei and Sungei Tenang
Countries, Oxford University Press, New York, hal. 308-324.
[5] korintji,
soengei tenang et serampei, limoen et rawas excepte ce que nous ont appris sur
ces contrees les voyages de charles campbell, du lieutenant dare et de thomas
barnes, accoumplis dans les annes 1880, 1805 et 1818, et que les membres de
i'expedition de sumatra ont pu observer du pic d'indrapoera ou en naviguant le
tembesi le rawas et le limoen bras du djambi et du moesi. les informations, recues
sur le korintji, par les agent du gouvernement, etablis sur la cote
occidentale.
[6] Voir : Kaaart van Midden-Sumatra Par
D. D Veth dans, Midden Sumatra
[7] Amir Syarifoedin, Minangkabau –Dari Dinasti Iskandar
Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Penerbit Gria Media Prima, Jakarta, 2014,
Hal. 310
[8] Gusti Asnan. Dunia
maritim Pantai Barat Sumatera ,Jokjakarta, 2007 hal 55
[9] Kathirihambley-Wellm J, The Inderapura Sultanate :
The Foundation of its Rise and Decline, From the Sixteenth to the Eighteenth
Century,
[10] E. B. Kielstra, “Sumatra’s Westkust van
1819-1825”, BKI, Deel 36 a,
1887, hal. 8 dan 16-17
[11] Daerah-daerah yang diduduki VOC
diserahkan pada Inggris karena perintah dari Raja Belanda William V yang
melarikan diri ke Inggris setelah negerinya diduduki oleh Perancis. Lihat Rusli
Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hal. 350-351.
[12] Amir Sjarifoedin, Op.cit. Ha. 311-315
[13] Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang,
Sinar Harapan, 1981.