14 Juli 2016

opini musri nauli : MUDIK



Sampai sekarang dunia masih belum paham mengapa orang Indonesia begitu doyan pulang kampong, menghabiskan tabungan 11 bulan sebelumnya, rela berdesak-desakkan, antri di bis, kereta api dan kapal. Belum lagi harus bawa barang yang “rempongnya” nauzubillah, mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari. Pesan tiket online, mengatur pertemuan hingga berbagai persiapan “hajatan besar’.

Negarapun kelimpungan “mengurusi arus mudik. Petugas Negara yang tidak bisa ambil cuti, reporter yang “menangis” di kampong orang” hingga petugas-petugas yang jauh “merasakan lebaran” jauh dari keluarga.

Kesemuanya tentu saja tidak mudah dipahami oleh dunia internasional.

Ya. Indonesia “harus mengeluarkan seluruh energy” untuk mengatur lalulintas, mengatur penerbangan, mengatur tatacara agar agenda mudik menjadi nyaman. Presiden, Gubernur, Bupati, Menteri hingga pejabat kepolisian harus “apel siaga” untuk menyambut hajatan besar.

Dalam perkembangan dunia yang begitu cepat, Indonesia sudah menjadi percaturan global. Entah sebagai pemasok sumber daya alam seperti CPO, batubara, minyak ataupun tempat dan pasar hasil produk global. Entah pakaian, produksi modern seperti kendaraan ataupuan “sytle” HP terbaru.

Namun pilihan rakyat Indonesia disatu sisi menjadi bagian dari dunia, tapi “nuansa” mudik menjadi agenda penting.

Pilihan mudik dimulai dari “jawaban’ sederhana. Entah “nyekar” ke kuburan orang tua, bertemu orang tua di kampong, merasakan suasana mudik atau cuma sekedar “merasakan” makanan yang cuma ada di kampong.

Sebagai bagian dari masyarakat global, rasa “mudik” dengan berbagai alasan tidak bisa dihilangkan. Tradisi mudik “terlepas dari berbagai model” merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di Indonesia.

Hampir praktis, masyarakat Indonesia tidak mau merayakan “suasana lebaran’ di kantor sendirian, hanya menonton televisi atau cuma sekedar jalan-jalan. Rasa dan nuansa mudik adalah kehidupan masyarakat agraris. Atau dengan kata lain, mudik merupakan “peradaban” dari masyarakat agraris. Kumpul bersama keluarga. Guyub istilah Jawa.

Rasa itulah yang tidak bisa digantikan walaupun 11 bulan menjadi bagian dari masyarakat Industri modern yang berkejaran waktu.

Di mudik itulah, fitri sebagai manusia kemudian dirasakan sebagai bagian insan yang tetap “rendah hati” dihadapan manusia. Tidak ada motivasi lain selain “merasakan hidup” sebagai manusia yang jauh dari hiruk pikuk kemasan “topeng’.

Di kampunglah, kita bisa merasakan sebagai manusia yang tetap “berjalan” diatas pematang sawah. Merasakan jauh dari hiruk pikuk “gadget” dan berbagai perangkat modern. Jauh dari menyaksikan televisi sinetron ataupun berita yang menyesakkan dada.

Di kampunglah, kemudian manusia “diperlakukan” sebagai manusia yang utuh. Ketedalanan dan pelajaran dari kampong. Jauh dari hiruk pikuk puja pujian yang membuat manusia menjadi berbeda.

Di kampunglah, kemudian kita bisa merasakan. Masih ada udara bersih yang bisa dihirup. Atau air mengalir di depan rumah sambil tenang dan tidak khawatir kita meminumkannya. Atau merasakan ‘suasana” suara burung yang terus berkicau.

Rasa ini tidak mungkin kita temukan sebagai manusia modern yang hidup di percaturan global.

Lalu. Apakah dengan menemukan rasa itu, kemudian kita rela berdesak-desakkan penumpang kereta api/kapal/pesawat ?

Jawabannya. Ya. Rasa itu akan mengembalikan “energy” yang tidak mungkin kita bisa temukan di kota.

Dan rasa itu “rela” kita bayar mahal, waktu yang panjang ataupun persiapan yang matang.