Sampai
sekarang dunia masih belum paham mengapa orang Indonesia begitu doyan pulang
kampong, menghabiskan tabungan 11 bulan sebelumnya, rela berdesak-desakkan,
antri di bis, kereta api dan kapal. Belum lagi harus bawa barang yang
“rempongnya” nauzubillah, mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari. Pesan
tiket online, mengatur pertemuan hingga berbagai persiapan “hajatan besar’.
Negarapun
kelimpungan “mengurusi arus mudik. Petugas Negara yang tidak bisa ambil cuti,
reporter yang “menangis” di kampong orang” hingga petugas-petugas yang jauh
“merasakan lebaran” jauh dari keluarga.
Kesemuanya
tentu saja tidak mudah dipahami oleh dunia internasional.
Ya.
Indonesia “harus mengeluarkan seluruh energy” untuk mengatur lalulintas,
mengatur penerbangan, mengatur tatacara agar agenda mudik menjadi nyaman.
Presiden, Gubernur, Bupati, Menteri hingga pejabat kepolisian harus “apel
siaga” untuk menyambut hajatan besar.
Dalam
perkembangan dunia yang begitu cepat, Indonesia sudah menjadi percaturan
global. Entah sebagai pemasok sumber daya alam seperti CPO, batubara, minyak
ataupun tempat dan pasar hasil produk global. Entah pakaian, produksi modern
seperti kendaraan ataupuan “sytle” HP terbaru.
Namun
pilihan rakyat Indonesia disatu sisi menjadi bagian dari dunia, tapi “nuansa”
mudik menjadi agenda penting.
Pilihan
mudik dimulai dari “jawaban’ sederhana. Entah “nyekar” ke kuburan orang tua,
bertemu orang tua di kampong, merasakan suasana mudik atau cuma sekedar
“merasakan” makanan yang cuma ada di kampong.
Sebagai
bagian dari masyarakat global, rasa “mudik” dengan berbagai alasan tidak bisa
dihilangkan. Tradisi mudik “terlepas dari berbagai model” merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat di Indonesia.
Hampir
praktis, masyarakat Indonesia tidak mau merayakan “suasana lebaran’ di kantor
sendirian, hanya menonton televisi atau cuma sekedar jalan-jalan. Rasa dan
nuansa mudik adalah kehidupan masyarakat agraris. Atau dengan kata lain, mudik
merupakan “peradaban” dari masyarakat agraris. Kumpul bersama keluarga. Guyub
istilah Jawa.
Rasa
itulah yang tidak bisa digantikan walaupun 11 bulan menjadi bagian dari
masyarakat Industri modern yang berkejaran waktu.
Di
mudik itulah, fitri sebagai manusia kemudian dirasakan sebagai bagian insan
yang tetap “rendah hati” dihadapan manusia. Tidak ada motivasi lain selain
“merasakan hidup” sebagai manusia yang jauh dari hiruk pikuk kemasan “topeng’.
Di
kampunglah, kita bisa merasakan sebagai manusia yang tetap “berjalan” diatas
pematang sawah. Merasakan jauh dari hiruk pikuk “gadget” dan berbagai perangkat
modern. Jauh dari menyaksikan televisi sinetron ataupun berita yang menyesakkan
dada.
Di
kampunglah, kemudian manusia “diperlakukan” sebagai manusia yang utuh.
Ketedalanan dan pelajaran dari kampong. Jauh dari hiruk pikuk puja pujian yang
membuat manusia menjadi berbeda.
Di
kampunglah, kemudian kita bisa merasakan. Masih ada udara bersih yang bisa
dihirup. Atau air mengalir di depan rumah sambil tenang dan tidak khawatir kita
meminumkannya. Atau merasakan ‘suasana” suara burung yang terus berkicau.
Rasa
ini tidak mungkin kita temukan sebagai manusia modern yang hidup di percaturan
global.
Lalu.
Apakah dengan menemukan rasa itu, kemudian kita rela berdesak-desakkan
penumpang kereta api/kapal/pesawat ?
Jawabannya.
Ya. Rasa itu akan mengembalikan “energy” yang tidak mungkin kita bisa temukan
di kota.
Dan
rasa itu “rela” kita bayar mahal, waktu yang panjang ataupun persiapan yang
matang.