Akhir-akhir
ini diksi dan pengetahuan tentang bahasa mulai memudar. Terjebak dengan arti
tanpa memahami makna. Entah kedangkalan ataupun kurangnya literasi memahami
Bahasa Indonesia.
Istilah
“Islam Nusantara” membumbung langit. Mencemooh. Menghina. Menggugat.
Mempersoalkan. Tanpa memahami diksi dari kata itu sendiri.
Lihatlah.
Ketika NU mengusung “islam nusantara”, Muhammadiyah menawarkan “Islam
berkemajuan”, Kartosuwirjo menawarkan “Negara Islam Indonesia” yang kemudian
dikenal Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, M. Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII), Perhimpunan Mahasiswan Islam Indonesia (PMII), entah mengapa
tagline “islam Nusantara” kemudian dipersoalkan.
Enta
berapa kali saya sudah memberikan perumpamaan. Tanpa memasuki Fiqh (wilayah
sudah dijelaskan NU), cemoohan mulai berdatangan. Mula-mula didasarkan kepada
pemahaman yang sempit. Entah dengan mengatakan “kiblat ke arah Borobudur,
sholat pakai kemenyan, azan diganti gamelan” dan entah berapa lagi cemohoan
lainnya.
Dengan
spontan malah ada yang mengatakan “apa beda antara islam yang diturunkan
Rasullah” dengan di Indonesia ? Atau “memang beda antara Islam di Indonesia
dengan di Arab ?”.
Namun
yang membuat saya semakin kesal adalah ketika seseorang kemudian menghubungi
beberapa cemoohan dari berbagai media (menurutku media abal-abal) dikirimi ke whatapp.
Dari
kesan yang saya tangkap, maka ketika M. Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII), atau PMII yang sudah lama berdiri tahun 1960 atau terorisme
yang mendirikan “Islamic State of Iraq and Syria”,
padanan kata setelah “islam” ternyata tidak dipersoalkan. Bahkan ramai-ramai
malah mendukung gerakan terorisme ISIS tanpa malu-malu. Entah menyebutkan
sebagai “negara khilafah” hingga menyebutkan terorisme yang mayatnya “utuh” dan
“wangi” seperti bidadari.
Setelah
saya perhatikan maka ada kesan yang mendalam dari berbagai pernyataan, umpatan,
cemoohan, hinaan, hujatan hingga hasutan untuk menentang “Islam nusantara”.
Sekali lagi hanya terhadap istilah “islam nusantara’ cuma dipersoalkan.
Terhadap padanan kata setelah “islam” yang lain tidak dipersoalkan.
Padahal
apabila disimak, apakah ada beda antara Islam yang diturunkan Rasullah dengan
Islam di Indonesia, dapat merujuk kepada peribadatan yang dilakukan oleh kaum
nahdiyin. Entah datang ke pengajian, menghadiri majelis taklim hingga mengikuti
seluruh rangkaian peribadatan lainnya. Upaya inilah yang sering dikenal dengan
istilah “tabayun”.
Kalaupun
enggan (apabila malu), bisa kok dicek dalam literature resmi (entah Dokumen
PBNU), hasil muktamar NU hingga buku-buku terbitan NU. Sebuah upaya yang tidak
pernah dilakukan. Sehingga tidak salah kemudian saya bergumam. “Buat definisi
sendiri, analisis sendiri, kritik sendiri, hina sendiri”.
Tahun
1996, M. Harun Yahya menerbitkan buku “Kerajaan Islam Nusantara abad XVI – XVII”.
Apa makna “Islam Nusantara” ? Apakah kemudian kita memahami “Islam nusantara”
Islam yang berbeda dengan diturunkan di Arab. Tidak. Dengan mudah kita memahami
“islam nusantara” adalah “Islam di nusantara’.
Tapi
tema yang saya tawarkan bukan menjawab polemic tentang Islam nusantara”. Tapi bagaimana
kedangkalan berfikir yang terjebak dengan arti dari kata.
Padahal
di Melayu Jambi, kekayaan Bahasa menempatkan tutur kata tidak boleh
diterjemahkan secara harfiah (letterlijk). Terjebak dengan makna “tersurat”.
Tanpa memahami tersurat.
Lihatlah.
Kata “Sungai Aur” apakah kita kemudian dengan mentah-mentah kemudian
menerjemahkan “kok sungai aur”. Apakah sungai terdiri dari aur ? Padahal kita
mengetahui “Sungai aur” berarti “sungai yang banyak aur ditepinya”.
Atau
“Napal Licin”. Apakah kita menerjemahkan “Napal kok licin”. Napal khan batu.
Kok Licin ? Padahal kita mengetahui “napal licin” karena memang “napal memang
licin” karena diselimuti lumut sehingga apabila tidak hati-hati akan
tergelincir.
Atau
terhadap sumpah dan kutukan terhadap masyarakat yang tidak patuh dikenal dengan
“Plali” yang ditandai dengan Seloko “Bebapak pado harimau.
Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”.
Lalu dengan enteng kita berkomentar ”kok bebapak kepada harimau, kok berinduk
kepada gajah, kok berkambung kepada kijang, kok berayam kepada kuawo ?”.
Atau
terhadap kekaguman kepada perempuan seperti
Bak bidadari turun dari surgo
Mukonya bak bulan penuh
Pipih bagai pauh dilayang
Alis mata bak semut beriring
Bibir tipis bak jeruk diiris
Katup mulut bak delima merekah
Rambut hitam bergelombang
Betisnya bagai jelipung tumbuh
Tumitnya bagai dusun tunggal
Hidungnya mancung bak bungkal bawang merah
Kulitnya kuning langsat
Pinggangnya ramping bak biola cino
Lalu dengan enteng kemudian kita menyamakan dengan ”Semut”, ”bungkal bawang
merah” dalam pikiran dan makna harfiah. Tentu saja tidak.
Kekayaan penggunaan kata, diksi, makna tersirat
membuat Bahasa Melayu Jambi mempunyai kebudayaan adiluhung. Sebuah proses dari
alam yang kemudian menempatkan dan menghormati setiap ciptaan Sang pencipta.
Kekayaan yang menempatkan ”sikap rendah hati”, ”tidak menghina” bahkan
mengagumi. Sebuah pelajaran yang dapat diteladani untuk menyikapi setiap
perbedaan.
Baca : Bahasa Melayu Jambi (1)