Menghubungkan
antara satu Marga dengan Marga yang lain, antara satu Marga dengan Batin
memerlukan penyusuran di tiap-tiap Marga/batin. Setiap pemangku adat, Entah
Depati, Rio, Ngebi, Datuk, Penghulu, Tumenggung menguasai kewilayahan, sejarah,
Dusun asal, model pengelolaan, cara menyelesaikan masalah (Jenjang adat) dan
sanksi.
Menyusuri,
mencari para penutur, menggali cerita, memadukan tembo antara satu dengna lain
juga memerlukan waktu yang panjang. Seringkali dibantu dengan masyarakat
setempat untuk menjelaskan istilah, makna kata hingga menjawab keraguan dari
pernyataan.
Kadangkala
antara satu tempat dengan tempat yang lain menggunakan nama yang berbeda dengan
menunjuk satu nama. Atau dengan kata lain, satu tempat dengan istilah penamaan
yang berbeda.
Belum
lagi ditambah perkembangan wilayah yang kemudian diberi nama yang tidak dikenal
dalam khazanah kosakata Bahasa Jambi. Kata-kata seperti “Jaya”, “makmur”, “Maju”
adalah penamaan yang tidak dikenal didalam Bahasa Jambi. Kata-kata ini
merupakan serapan dari Bahasa Indonesia yang kemudian dilekatkan kedalam nama
Desa. Sehingga diperlukan “penyortiran” untuk mencari Dusun semula (dusun asal,
dusun tuo atau dusun induk) agar puzzle tidak menjadi terpisah. Seperti didalam
Seloko “Mencari bungkul dari pangkal.
Mencari usul dari pangkal”.
Diibaratkan
puzzle, antara satu cerita dengan cerita yang lain memerlukan bahan pendukung.
Entah peta, sketsa peta, catatan perjalanan.
Di Desa Simpang Narso (Marga
Batin Pengambang)[1]
dikenal batas Marga Batin Pengambang dengan Marga Sungai Tenang dengan Tembo ““Bukit Gambut / Batu Lentik Elang Menari[2]. Nama ini dikenal di Desa Beringin
Tinggi yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Bahkan Dusun “Beringin Tinggi”
merupakan tanah pemberian dari Marga Sungai Tenang yang dikenal sebagai tanah “ujung
batin’. Yang ditandai dengan seloko “Belalang
dari Batin Pengambang, Tanah Koto 10”[3].
Sedangkan
Marga Simpang Tiga Pauh dengan Marga Air Hitam dikenal nama “Lubuk Kepayang” [4].
Nama yang kemudian dibenarkan didalam Marga Air Hitam[5].
Begitu
juga batas Marga Air Hitam dengan Marga Batin IX Ilir ditandai dengan “Ulu
Mentawak”. Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu di Sungai Ruan yang
ditandai dengan daerah Kejasung”. Sungai Ruan termasuk kedalam Marga Maro Sebo
Ulu[6].
Sehingga
tidak salah kemudian Perbatasan Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu,
Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir telah disesuaikan dengan penggalian Marga
di Marga di Maro Sebo Ulu, Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir.
Batas
antara Datuk Nan Tigo dengan Marga Pelawan yang ditandai dengan Sungai Merah
sebelah Sungai Keruh[7].
Marga Pelawan mengenal Sungai Keruh dan menyebutkan batas dengan Marga Datuk
Nan Tigo dengan tembo “ Lubuk Sayak atau Muara Limun di
Bukit Batu[8],
Batas antara Marga IX Koto dengan Marga Sumay
dikenal “Rimbo Bulian”[9].
Nama
yang juga dikenal sebagai Batas Marga Sumay dengan Marga IX Koto di Marga Sumay[10].
Sedangkan
Marga VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh,
Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki
Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi
salak” [11]. Di
Marga IX Koto dikenal batas dengan Marga VII adalah “Sungai Rami/Cermin alam,
Pulau Tedung[12].
Begitu
juga Marga VII Koto dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”.
Nama yang dikenal di Marga Jujuhan[13].
Batas
antara Marga Senggrahan dengan Marga Pangkalan Jambi merupakan keunikan. Marga
Senggrahan menyebutkan Bukit Kapung
Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani”. Sedangkan Marga Peratin
Tuo menyebutkan “Bukit berani.
Sedangkan Marga Pangkalan Jambu menyebutkan “Bukit lipai besibak. Lubuk Birah juga menyebutkan “Bukit Lipai
besibak”[14]. Padahal
nama “Bukit Gagah berani” atau “Bukit lipai besibak” adalah penamaan satu
tempat. Sehingga walaupun dengan nama yang berbeda namun menunjukkan tempat
yang sama.
Begitu
juga Marga Berbak dengan Marga Dendang/Sabak dan Marga Jebus. Kedua nama tempat
disebutkan didalam Marga Berbak sebagai Simpang[15].
Hanya dipisahkan Sungai. Simpang yang dimaksudkan adalah persimpangan Sungai
Batanghari yang mengilir ke Timur Jambi dan membelah. Aliran Sungai Batanghari
satu menuju langsung ke Muara di Pulau Berhala. Sedangkan satunya berbelok kiri
menuju Muara Sabak dan menuju lautan Pantai Timur Sumatera. Sedangkan Marga
Jebus menyebutkan batas dengan Marga Berbak adalah “Perbuseno”[16].
Marga Dendang/Sabak menyebutkan batas dengan Marga Berbak dengan tandai “Rambai Belubang dan pangkal bulian[17].
Dengan
demikian maka menurut Marga Berbak batas dengan Marga Dendang/Sabak dengan
menyebutkan “Simpang” adalah Rampai Belubang dan pangkal bulian”. Sedangkan
Marga Berbak yang menyebutkan “Simpang” dengan Marga Jebus dikenal sebagai “Perbuseno”
oleh Marga Jebus.
Yang
membuat saya kagum, bagaimana para pewaris penutur mampu merawat ingatan,
menurunkan ke generasi selanjutnya. Sehingga ketika puzzle dihubungkan menjadi
rangkaian wilayah yang sekarang kita kenal sebagai wilayah Provinsi Jambi.
[4] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[6] Desa Kembang Seri, Batanghari,
23 Februari 2015
[7] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5
Agustus 2016
[8] Zaini, tokoh adat Kecamatan
Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus 2016
[9] Pertemuan di Teluk Singkawang,
16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[10] Pertemuan di Teluk Singkawang,
16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[11] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[14] Pertemuan di Muara Siau, Muara
Siau, Mei 2011