Berbagai
regulasi peraturan perundang-undangan kemudian menempatkan gambut sebagai kawasan
ecoregion. Yang menggambarkan
geografi yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah air, flora dan fauna. Selain
juga menempatkan sebagai kawasan ekosistem esensial diantaranya ekosistem
karst, ekosistem lahan basah (danau,
sungai, rawa, payau), wilayah pasang surut serta mangrove dan gambut. Selain
itu juga kawasan ekosistem esensial termasuk juga lahan basah, koridor
kehidupan liar, areal konservasi tinggi dan taman keanekaragaman hayati. Bahkan
juga memasukkan terumbu karang, padang lamun, gambut dan karst.
Sebagai
kawasan ekologi penting (essensial
ecosystem) maka gambut ditempatkan sebagai nilai konservasi tinggi.
Di
Jambi sendiri luas gambut 716.839 ha (termasuk tanah mineral bergambut) merupakan penyebaran ketiga
terluas di Pulau Sumatera. Penyebarannya yang relatif luas berada di wilayah
empat kabupaten, yaitu: Tanjung Jabung Timur 266 ribu ha (37,2 %), Batanghari
258 ribu ha (35,9 %), Tanjung Jabung Barat 142 ribu ha (19,8 %) dan Sarolangun
41 ribu ha (5,8 %). Di wilayah tiga kabupaten lainnya, luas lahan gambut
relatif sempit, yakni di Kabupaten Merangin hanya sekitar 3,5 ribu ha, Kerinci
3,1 ribu ha, Kota Jambi 2,1 ribu ha dan Bungo Tebo sekitar 780 ha (BRG, 2016).
Angka
sedikit berbeda disampaikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2018 yang
menyebutkan luas gambut mencapai 736.227,20 ha (14% dari luas Provinsi Jambi). Lahan gambut tersebar di 6
kabupaten, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 311.992,10 ha, Kabupaten
Muaro Jambi seluas 229.703,90 ha, Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 154.598
ha, Kabupaten Sarolangun seluas 33.294,20 ha, Kabupaten Merangin seluas
5.809,80 ha, dan Kabupaten Tebo seluas 829,20 ha.
Walhi
Jambi menyebutkan 133 Desa yang termasuk kedalam kawasan gambut.
Sebagai
kawasan ekologi penting, gambut juga sering disebutkan sebagai kawasan unik. Sifat unik gambut
dimaksud dapat terlihat dari sifat kimia dan fisiknya. Sifat kimia gambut dapat
lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi, tetapi secara umum ia
memiliki kesuburan rendah. Hal ini ditandai dengan tanah yang asam (pH rendah),
ketersediaan sejumlah unsur hara makro dan mikro rendah, mengandung asam-sama
organik beracun, serta memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi tetapi
kejenuhan basa (KB) rendah (Walhi, 2016).
Keunikan kawasan ekologi gambut dapat dilihat dari
berbagai pendekatan. Baik penamaan tempat, pembagian tataruang, model
pengelolaan hingga keunikkan lainnya.
Nama
Tempat
Tidak dapat dipungkiri, penamaan Desa berasal dari
keunikan tempat didesa. Disebut sebagai
Teluk Kulbi adalah “buah kulbi”.
Sejenis buah yang rasanya asam. Kulbi terletak di Teluk.
Muntialo adalah nama tempat yang menghasilkan
sumber daya alam. Seperti kayu, rotan, ikan. Tempat ini kemudian disepakati
sebagai nama Desa Muntialo.
Disebut Sungai Terap adalah ditepi sungai terdapat
pohon Terap. Pohon keras yang dapat digunakan untuk membangun rumah.
Tata
ruang
Untuk menentukan tempat apakah boleh dikelola atau
tidak (yang kemudian dikenal sebagai
gambut), maka dilihat dari bentuk tanah. Apabila sedikit kehitam-hitaman,
terdapat air yang menggenang dimusim kemarau, tersedianya ikan seperti ikan
tembakang (Desa Pandan Sejahtera), tempat tumbuh pakis (Desa Pandang Lagan,
Desa Pandan Lagan dan Desa Sungai Terap), tanaman jelutung (Desa Bram Hitam)
atau adanya pohon rengas (Desa Sungai Terap). Bahkan di Desa Bram Hitam Raya
sebagai penanda adalah “rumbai”.
Istilah “rumbai” juga dikenal dengan
istilah “Purun”.
Penanda tempat merupakan pengetahuan yang diketahui
masyarakat. Pengetahuan empirik yang tidak terbantahkan berdasarkan tipologi
alam sekitarnya. Nilai yang dijunjung masyarakat.
Di Desa Sungai Aur dikenal nama-nama tempat seperti
Sungai Palu, Sungai Bungur Ulu, Parit Sen, Danau Rumbe. Tempat-tempat ini
merupakan daerah yang terdapat air yang menggenang. Dan selalu menyimpan air.
Tempat ini adalah tempat mencari ikan. Tempat ini
kemudian “terbakar” setelah adanya
izin perusahaan sawit.
Selain itu dikenal Lebung yang terletak di Lebung
Danau Rumbe, lebung Danau Aro dan Lebung Sungai Sumpit.
Istilah Lebung juga dikenal di Sumsel. Lebak
Lebung. Yang mengindikasikan sebagai Gambut Dalam. Selain “lebak Lebung” juga dikenal Lebak dangkal, Lebak Tengah.
Diluar dari tempat itu dikenal tempat umo yang terletak di Sungai Palu, Parit
Aji. Tempat ini dikhususkan untuk tanaman padi (padi umo). Tempat khusus “umo” juga dikenal “Peumoan” di Marga Kumpeh Ilir atau “Umo genah/genah umo” di Marga Berbak.
Selain itu juga dikenal untuk “kebun” yang terletak di Danau Aro dan Danau Rumbe. Sedangkan “Talang” dikenal di Pematang Lampang,
Pematang Sumpit dan Pematang Beringin.
Kebun dikhususkan untuk “tanaman mudo” seperti sayur-sayuran (holtikultura). Sedangkan “Talang” adalah tanaman tuo seperti
Pinang atau kelapa.
Tanah
Terlantar
Di Desa Pandan Sejahtera, melihat “pakis yang sudah mencapai 1 meter”
adalah kategori tanah terlantar. Pakis yang sudah menjulang tinggi yang
dikategorikan sebagai tanah terlantar adalah penyebab utama dari kebakaran yang
terjadi.
Di Sungai Bungur, tanah terlantar disebut “larangan krenggo’. Istilah “krenggo” juga dikenal Marga Batin
Pengambang yang menyebutkan tanah terlantar adalah “empang krenggo”
Kategori “tanah
terlantar” juga dikenal diberbagai tempat. Seloko seperti “sesap mudo”, “belukar mudo-belukar tuo”, “belukar
lasah”, “sesap rendah-jerami tinggi”, “sesap rendah-tunggul pemarasan”, “Sosok jerami, tunggul pemareh” adalah Hukum tanah
yang mengategorikan sebagai tanah terlantar.
Terhadap tanah yang dikategorikan sebagai “tanah terlantar’ maka dikenal Hukum
tanah seperti “hilang celak. Jambu Kleko”,
“jauh dak dipenano. Dekat dak disiang”, “Kalah durian dek benalu. Ilang
Mentaro hilang tanah. Ilang tutur ilang penano”. Maka hak terhadap tanah kemudian hapus.
Sehingga “pakis yang sudah mencapai 1 meter” dapat
dikategorikan sebagai tanah terlantar. Sehingga tanah terlantar yang ditandai
dengan “pakis sudah mencapai 1 meter” maka hak terhadap tanah menjadi hapus.
Meletakkan kategori “pakis mencapai 1 meter” sebagai “tanah terlantar” juga sebagai pilihan tegas untuk menghilangkan “tanah terlantar” sebagai “biang” penyebab kebakaran.
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi