11 Juni 2021

opini musri nauli : Cacak dan takuk

Secara sekilas, definisi antara cacak dan takuk sering keliru. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “cacak” diartikan sebagai “vertikal” atau “tegal lurus. Biasa menggambarkan tonggak. Atau besi beton yang dipancangkan di Tanah. 


“Mencacak” diartikan membuat tegak lurus. Atau mendirikan tegak lurus. “Mencacakkan” diartikan memancangkan dengan cara tegak lurus diatas Tanah. 

Istilah “hilang celak. Jambu Klekok” atau “cacak tanam. Jambu Kleko” dapat diartikan sebagai penanda Tanah. Penanda Tanah “hilang celak. Jambu Klekok” atau “cacak tanam. Jambu Kleko” juga sering dipadankan seperti  “Lambas”,   “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” dengan cara menanam pohon sebagai tanda. 


Selain itu kata “cacak” juga dapat ditemukan didalam seloko seperti “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano tamilang dicacak disitu tanaman tumbuh. Atau lebih lengkapnya “Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo dipakai dan lembago diisi”. 


Kata “cacak” juga dapat diartikan sebagai pengatur untuk membuka Tanah (membuka rimbo). Lihatlah Prosesi dimulai dari “Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin”, dibuka berkelompok, Setiap Kepala Keluarga hanya boleh membuka 1 ha dan harus ditanami selama 2 tahun. Apabila tidak ditanami, maka kembali kepada Penghulu, Tanah yang dibuka tidak boleh dijual kepada orang luar, Dalam waktu 5 tahun hanya boleh dibuka 2 hektar, Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi, Cacak Tanam, Jambu Kleko.


Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah takuk adalah “takik yg agak dalam (pd pohon nyiur dsb). Takuk dapat ditempatkan sebagai tempat tumpuan kaki ketika memanjat. 


Sedangkan “takuk rajo” adalah sang Rajo yang kemudian “menakuk” pohon sebagai batas tanda antara wilayah Jambi, wilayah Sumatera Barat dan wilayah Sumatera Selatan. 


Istilah “durian takuk Rajo” yaitu penanda pohon dengan cara memotong sedikit (Takuk). Takuk yang dilakukan para Raja kemudian dikenal sebagai “takuk Rajo”. Tanda ikrar batas yang masih dihormati. Istilah “durian takuk rajo” bisa ditemui di VII Koto, IX Koto dan Sumay yang berbatasan langsung dengan Sumbar. 


Jadi kesamaan antara “cacak” dan “takuk” adalah sebagai tanda. Bukti kepemilikan yang kemudian dijadikan dasar untuk menentukan batas Tanah. 


Namun “cacak” dilakukan dengna cara “membuat tiang pancang yang lurus”. Diletakkan kedalam Tanah. Berbeda dengan “takuk” yang dilakukan terhadap tanaman (kayu) yang sudah ada. Dengan cara “memotong” sedikit pohon/kayu sebagai tanda. Batas kepemilikan. 


Atau dengan kata lain, apabila “cacak” dilakukan dengan menggunakan Kayu terhadap Tanah yang telah ditandai. Sedangkan takuk dilakukan terhadap kayu yang Sudah ada. 


Cacak dan “takuk” sudah lama dikenal ditengah masyarakat Melayu Jambi. Dan praktek ini masih terus dilakukan. Sebagai batas Tanah sebagaimana sering disampaikan didalam seloko seperti “Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo dipakai dan lembago diisi”. 


Atau seloko “Durian takuk Rajo” sebagai batas tanda Provinsi Jambi dengan Provinsi Sumbar yang dikenal di Marga Jujuhan, Marga VII Koto, Marga IX Koto. Seloko “takuk rajo” juga dikenal didalam Tembo Jambi dan Tembo Minangkabau.