Pihak yang kemudian ditarik menjadi pihak oleh penggugat dapat mengajukan perlawanan. Terhadap gugatan maka perlawanan gugatan kemudian dikenal sebagai eksepsi (tangkisan).
Materi perlawanan dapat berupa formal maupun materiil. Berupa formal, pihak lawan dapat saja menyebutkan pihak penggugat tidak mempunyai kapasitas sebagai penggugat. Dengan memaparkan fakta-fakta hukum.
Termasuk juga dia dapat menerangkan, pihak penggugat keliru menempatkan sebagai tergugat.
Pihak tergugat dapat juga menyatakan adanya pihak tergugat lain yang harus juga ditarik menjadi tergugat. Kelemahan dari penggugat yang tidak menarik pihak lawan maka menyebabkan perkara menjadi kabur. Sehingga putusan harus memuat dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Selain itu, diluar daripada kepentingan hukum penggugat dan tergugat yang menjadi para pihak didalam perkara, maka pihak lain dapat mengajukan diri untuk mengajukan sebagai pihak.
Dalam praktek biasa dikenal sebagai pihak ketiga (bantahan).
Sedangkan terhadap putusan pengadilan yang kemudian berdampak kepada pihak ketiga, maka pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan. Biasa dikenal dengan istilah derden verzet
Didalam putusan Mahkamah Agung No 3404 K/Pdt/1999 dijelaskan “Pihak Ketiga yang beritikad baik yang berkeberatan atas Putusan Hakim Pidana yang merampas untuk negara barang bukti berupa tanah yang menurutnya adalah miliknya dan bukan milik terdakwa dalam kasus korupsi, maka “pihak ketiga” ini dapat mengajukan gugatan, bukan dalam bentuk Bantahan atau perlawanan (derden verzet), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pengumuman Putusan Hakim Pidana tersebut (vide pasal 35 ayat (1) (2) (3) UU No. 3 Tahun 1971.
UU No. 3 Tahun 1971 sudah dicabut berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 dan diperbarui UU No. 20 Tahun 2001