11 Juni 2021

opini musri nauli : Ingkar

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata “ingkar” diartikan sebagai “menyangkal”. Atau “tidak membenarkan” atau “tidak mengakui”. 


Ditengah masyarakat Melayu Jambi, kata ingkar dilekatkan kepada orang yang telah dijatuhi denda adat. Maka setelah diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan. Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko “alam berajo, negeri bebatin”.


Tidak dapat dipungkiri, terhadap sanksi adat yang telah dijatuhkan, maka adanya pihak yang tidak mau mematuhinya untuk membayar Denda adat. 


Proses ini kemudian dikenal “diserahkan kepada Rajo atau pemangku batin sebagaimana disebutkan didalam seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.

Berbagai seloko kemudian menempatkan sebagai “ingkar” sebagai hukuman yang paling berat (Terberat). Lihatlah seloko seperti “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau.


Ada juga menyebutkan “digantung tinggi, dibuang jauh” atau “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung” atau ““tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang”. 


Hukuman yang tidak melaksanakan putusan denda adat sering juga disebutkan sebagai “plali” atau “buangan”.


Seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan. 


Maka sejak saat itu yang melakukan perbuatan dikeluarkan dari tanggungjawab Kepala Adat, tidak boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟ yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya. Makna inilah yang kemudian dikenal sebagai “buangan negeri”. 


Yang kemudian ditandai dengan seloko “Humo betalang jauh. Pusako mencil”.