Sengaja saya menuliskan judul dengan menggunakan kata-kata “Catatan Kecil” sekedar memberikan gambaran. Bagaimana catatan yang dituliskan merupakan catatan kecil yang didapatkan dari cerita-cerita dari kampung-kampung tentang pengetahuan masyarakat tentang mangrove.
Mangrove di Sumatera Utara terletak di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Barat Sumatera. Menurut Bappeda Sumatera Utara, dari 175 ribu ha mangrove di Sumut, hampir 60 ribu ha (33 %) dinyatakan kondisi rusak. Sedangkan 89 ribu ha (51 %) kondisi sedang. Hanya 26 ribu ha (15 %) yang dinyatakan kondisinya cukup baik.
Menurut berbagai Sumber, kerusakan mangrove dilalui dengan tiga periode. Periode pertama kerusakan disebabkan untuk mengambil kayu mangrove (deforestasi). Kemudian dilanjutkan pembukaan mangrove untuk budidaya udang. Barulah periode terakhir masuknya tanaman sawit.
Kabupaten yang mengalami kerusakan mangrove yang rusak terdapat di Kabupaten Langkat (13 ribu ha), Kabupaten Labuhan Batu Utara (11 ribu ha). Sedangkan kondisi yang sedang terdapat di Kabupaten Langkat (23 ribu ha), Kabupaten Labura (10 ribu ha).
Atau dengan kata lain, Kabupaten Labura hanya menyisakan hanya 2 ribu ha yang mangrovenya kondisi baik dari 24 ribu ha. Begitu juga di kabupaten Deli-Serdang. Hanya menyisakan lima ratus ha dari 12 ribu ha.
Namun tidak dapat dipungkiri, masyarakat yang tinggal di pantai Timur Sumatera mempunyai peradaban yang tersendiri. Pengetahuan yang disampaikan masyarakat adalah pengetahuan yang memang tinggal di sekitar mangrove. Baik cara pandang, cara adaptasi, pengaturan, model pengelolaan.
Didalam melihat tata ruang di Desanya, masyarakat lebih suka dengan menggunakan batas alam. Seperti tanah, selat, pematang. Cara ini mirip dengan batas-batas Desa di Jambi. Batas antara Desa kemudian dikenal Tembo.
Didalam pengaturan dan pengelolaan dikenal mangrove luar dan mangrove dalam.
Mangrove luar berfungsi sebagai lindung atau konservasi. Areal ini tidak boleh diganggu. Namun dapat dinikmati hasilnya seperti udang, kepiting, ikan.
Sedangkan di areal “mangrove dalam” dikenal juga sebagai mangrove pemanfaatan. Dapat dikelola oleh masyarakat. Setiap orang yang memiliki areal di mangrove dalam yang kemudian ditanami maka wajib dijaga/dimanfaatkan dan dikelola.
Pemanfaatan ekosistem Mangrove dapat dilakukan untuk pengembangan ekowisata, usaha budidaya ikan, pengembangan usaha kuliner mangrove dan peningkatan ekonomi pemerintah dan masyarakat Desa.
Menurut penuturan ditengah masyarakat, apabila ternyata tidak dijaga/dimanfaatkan dan dikelola maka disebutkan sebagai tanah terlantar. Kategori atau kriteria tanah terlantar dikenal dengan “semak” dan belukar”.
Disebutkan sebagai tanah semak apabila tanah tidak dijaga/dimanfaatkan dan dikelola selama 5 tahun. Sedangkan Tanah Belukar apabila tanah tidak dijaga/dimanfaatkan dan dikelola selama 10 tahun.
Istilah “Semak” dan “belukar” juga akrab dan menjadi pengetahuan di Jambi.
Cara pandang masyarakat tentang mangrove juga dijelaskan didalam disertasinya, Dr. Farid Aulia. Antropologi USU.
Didalam disertasinya, pengetahuan masyarakat tentang mangrove ditandai dengan berbagai istilah. Seperti lanyau, memukat, menyaring, menangkui,
Lanyau adalah aktivitas menanamkan/menyucukkan bibit bakau yang tidak tertancap dengan sempurna.
Untuk menangkap ikan cerebung dilepas pantai yang dekat dengan mangrove dikenal dengan istilah memukat. Aktivitas menangkap udang disebut menyaring. Sedangkan aktivitas menangkap kepiting, kerang, lokan, dikenal dengan istilah menangkui.
Istilah “memukat” atau “menangkaui” juga dikenal di masyarakat Ulu Batanghari. Kedua istilah dilekatkan dengan proses penangkapan ikan. Bahkan di beberapa Desa Malah dikenal nama Sungai Tangkui.
Selain itu, masyarakat juga mengenal kalender musim. Seperti Angin Barat-pancaroba-angin timur-pancaroba-angin tenggara-peralihan.
Lebih lanjut didalam Disertasinya, Dr. Farid Aulia menguraikan. Angin barat ditandai dengan angin dan cuara kurang bersahabat. Biasanya terjadi bulan Muharam, Safat dan Rabiul Awal.
Musim Peralihan biasanya terjadi di Rabiul Akhir. Para nelayan menggunakan sebagai waktu untuk memperbaiki pukat atau alat tangkap ikan lainnya. Begitu seterusnya.
Cara pandang terhadap alam sekitarnya juga dikenal didalam masyarakat agraris di Jawa. Menurut berbagai Sumber, cara pandang masyarakat agraris di Jawa dikenal istilah “Pranata Mangsa”. Pranata Wangsa membagi setahun dalam 12 mangsa. Seperti Kasa, Karo, Katelu, Kapat, Kalima, Kapitu, kawolu, kasangsa, kasapuluh, dhesta dan Saddha.
Di Bengkulu dikenal “sri bumi”. Di Jambi dikenal “dukun padi” dalam prosesi seperti “setawar sedingin, “beras merah, beras putih (Desa Sogo, Muara Jambi, Jambi)”. Merekalah yang “menentukan” kapan memulai untuk beumo.
Menurut pemaparan dari Zenzi Suhadi (Direktur Walhi), Cara memandang bintang dikenal juga sebagai tanda “prosesi”. Istilah seperti “puncak rebung”, “Sepenggala”, “jatuh tengkuluk”, Singsing ari”, “berkijab” adalah “penanda “letak bintang 3”. Bintang 3 adalah “penanda letak” bintang tiga dalam pandangan mata.
Didalam buku “Ekonomi Nusantara”, Walhi cukup mendetail tentang kalender masyarakat nusantara. Kalender musim di Tanjung Aur berlaku satu tahun (Januari- Desember). Pada bulan Januari-Maret biasanya masuk musim penghujan. Kemudian penanaman. Bulan Maret-April, ditandai dengan musim panen raya kopi. Bahkan hingga April-September. Periode akhir tahun di bulan November-Desember ditandai dengan musim paceklik.
Sebagai catatan kecil, tentu saja belum menggambarkan keunikan mangrove di Sumatera Utara. Namun sebagai catatan kecil, pengetahuan ditengah masyarakat terlalu sayang untuk dilewati.
Tentu saja sebagai bahan untuk awal memotret (overview). Sekaligus menjadi pembuka tirai melihat kawasan mangrove dan masyarakat yang tinggal di sekitar mangrove di Pantai Timur Sumatera.
Masih diperlukan waktu yang panjang, melihat secara detail dan mendalam serta melihat dari berbagai pendekatan (multi disiplin).