Akhir-akhir ini, istilah gambut menjadi perhatian nasional. Perhatian nasional akibat kebakaran tahun 2015 dan tahun 2019.
Menurut BNPB, tanggal 22 Oktober 2019, Luas Lahan terbakar seluruh Indonesia mencapai 857 Ribu Ha. Sedangkan di Jambi luas terbakar mencapai 39.638 ha (September 2019).
Sementara itu KLHK menyebutkan Kebakaran hutan dan lahan di Jambi seluas 115.634,34 hektare pada 2015, tahun 2016 terbakar seluas 8.281,25 hektare. Tahun
2017 kembali membara seluas 109,17 hektare. Tahun 2018 terbakar 1.577,75 hektare. Dan semakin massif tahun 2019 seluas 56.593 hektare, Dan seluas 950 hektare pada tahun 2020 (Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Didalam Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut (Perpres No. 1 Tahun 2016), Target restorasi seluas sekitar 2 (dua) juta hektar di 7 (tujuh) provinsi prioritas dengan masa kerja 5 (lima) tahun terhitung mulai awal tahun 2016. Ketujuh Provinsi adalah Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua.
Didalam Modul Bimbingan Terknis Pelaksanaan Restorasi Gambut Di Lahan Konsesi, BRG-RI 2019, disebutkan kata Gambut merupakan kosa kata bahasa Suku Melayu Banjar yang tinggal di Kecamatan Gambut Kalimantan Selatan yang berarti tanah lunak dan berwarna hitam. Daerah ini memiliki lahan gambut yang cukup luas sejak dibuka tahun 1920 dan berhasil dibuka menjadi wilayah sentra produksi padi sampai sekarang. Di Pulau Jawa, tanah gambut disebut tanah hitam, di Riau disebut tanah rawang dan di Kalimantan Barat disebut sepok.
Dalam istilah internasional, lahan rawa gambut sering disebut Peat, Bog, Fen dan Mire. Di Eropa, gambut juga disebut Moor, dan Turf, serta di Amerika Serikat disebut Peatland (Mitsch & Gosselink, 2007). Dalam taksonomi tanah (USDA, 2014), tanah gambut termasuk tanah organik, dikategorikan dalam ordo Histosols. Tanah organik tersebut dicirikan oleh kondisi jenuh air (water saturated) secara kumulatif selama 30 hari atau lebih pada tahun-tahun normal, dengan ketebalan bahan organik minimal 40 cm - 60 cm atau lebih,tergantung dari tingkat dekomposisi dan bobot volume bahan organik.
Sebenarnya sebelum kebakaran masif tahun 2013, tahun 2015 dan tahun 2019, istilah gambut hanya dikenal di Kalimantan Selatan. Istilah Melayu Banjar.
Di Riau, wilayah gambut disebutkan sebagai tanah redang (gambut) biasanya sering tumbuh tanaman sagu. Fungsinya adalah konservasi. Sehingga tidak dibenarkan untuk dikonversikan (alih fungsi).
Di Sumatera Selatan terbagi tiga. Lebak Dangkal, Lebak Tengah dan Lebak Lebung.
Lebak Lebung juga sering dikenal sebagai wilayah Rawang hidup. Biasanya masyarakat menangkap ikan disini, dan kadang- kadang berburu. Sebutan “Rawang”, kata ini bermakna langsung pada aktivitas masyarakat di rawa gambut.
Peran dan fungsi gambut di Perigi juga memiliki fungsi pengendalian dan perlindungan hidup. Nilai-nilai ini masih bertahan melalui cerita-cerita rakyat (mitos) yang masih diyakini, salah satunya adalah ruang kelola.
Terdapat beberapa wilayah yang tidak bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia, masyarakat menyebut tempat tersebut dengan “Keramat Peldes”. Sebuah tempat yang dikeramatkan. Aktivitas yang dilarang antara lain, dilarang bicara sembarangan (tidak sopan), mengambil kayu, ikan, batu, dan semua jenis material yang ada di Lokasi tersebut. Kepercayaan ini dikuatkan dengan banyaknya cerita dimana jika ada seseorang yang mengindahkan larangan tersebut langsung sakit dan mendapat teguran dari mimpi. Di fase ini rawa dan gambut masih murni, bahkan air gambut pernah dijadikan sebagai sumber obat-obatan tertentu dengan cara meminumnya.
Lebak Tengak merupakan wilayah yang memiliki gambut dengan kedalaman 1,5 meter. Dan kadang jika surut biasanya masyarakat menanam tanaman padi disini dan pembukaan lahannya dnengan cara membakar. Kami menamainya dengan sebutan Sonor (membakar lahan). karena sebagian wilayahnya tardapat sedikit gambut biasanya masyarakat menangkap ikan pada wilayah itu. Dan terakhir adalah Lebak dangkal. Biasanya sering ditanami tanaman keras.
Di Kalimantan Barat, wilayah gambut berfungsi lindung sering disebutkan tanah sapo dan Gente.Sedangkan untuk areal pertanian atau gambut tipis disebut daerah payak atau bancah.
Di Kalimantan Tengah daerah lindung gambut dikenal dengan istilah Pakung pahewa dan tanah petak. Pakung pahewa merupakan hutan lindung, dan didalamnya ada rumah keramat.
Dan setiap tahun akan dilakukan ritual keramat.
Sedangkan Tanah petak disana terdapat katam (ketam sejenis kepiting kecil), adanya pasang surut dan ini didominasi oleh hewan ketam dan ini jarang dikelola. Dan dibiarkan tumbuh alami, dan tidak dikelola. Karena wilayah ini dekat dengan sungai dan dibiarkan alami agar tidak terjadi erosi.
Lalu bagaimana di Jambi ? Walaupun ada nama Desa Gambut Jaya (Muara Jambi), namun pada prinsipnya masyarakat justru tidak mengenal istilah gambut.
Pengenalan landskap gambut dikenal dengan dua cara. Pertama dengan nama-nama tempat seperti soak, buluran, sako, danau, talang, lubuk, pematang, dengat, olak, payo, payo dalam, rawa, bento, lebak, lebak lebung, atau nama-nama tempat yang dikenal di masyarakat didalam praktek sehari-hari dikenal sebagai sebagai kawasan lindung.
Nama-nama tempat ini kemudian dikenal sebagai nama-nama Desa seperti Desa Soak Samin (Tanjabbar), Buluran (Nama tempat di Kota Jambi), Lopak Aur (Muara Jambi).
Atau bisa ditandai dengan tanda-tanda seperti, 2-3 mata cangkul (Peraturan Desa Sungai Beras, Tanjung Jabung Timur). Atau dengan tanda-tandai akar bakait, pakis dan tanaman jelutung atau kait-kait, yang dikenal di masyarakat Kumpeh (Muara Jambi).
Nama-nama tempat maupun tanda-tanda yang disebutkan kemudian ditempatkan sebagai Kawasan Lindung Gambut. Yang memang fungsinya untuk mengambil air dan ikan. Biasa dikenal sebagai tataruang pertama.
Tataruang kedua adalah areal yang hanya dikhususkan untuk padi. Dinamakan tempat seperti Peumoan, humo genah atau genah umo. Daerah ini memang dikenal sebagai lumbung padi sejak zaman kolonial Belanda.
Selanjutnya adalah tanah untuk tanaman keras seperti Kelapa, kelapa dalam dan Pinang. Biasa dikenal Petalang. Ada juga yang menyebutkan Kasang kering. Ada juga yang menyebutkan pematang.
Dengan demikian maka pada prinsipnya, masyarakat gambut mengenal tiga tata ruang. Yang tegas memisahkan antara satu tata ruang dengan tata ruang yang lain.
Pendekatan tataruang inilah yang membuat masyarakat gambut memahami sekaligus dapat menempatkan pengetahuan sehari-hari didalam mengenal wilayah (tipologi) sekaligus landskap gambut.
Advokat. Tinggal di Jambi