18 Mei 2021

opini musri nauli : Adat menurun. Syarak mendaki

Membicarakan Islam di Minangkabau tidak dapat dilepaskan dari Syekh Burhanuddin. Salah seorang ulama besar yang Hidup di ranah Minangkabau. 


Syekh Burhanuddin tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang dengan Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri dan Tarekat Syattariyah.

Setelah berguru dengan Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri selama 30 tahun, Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau. 


Didalam Skripsinya,  Agustianda yang berjudul PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN, Syekh Burhanuddin meninggalkan manuskrip. Manuskrip ditinggalkan merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf. 


Manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan. 


Syekh Burhanuddin menjadi sosok terkenal di Minangkabau berkat ketinggian ilmu, serta menjadi tokoh penting penyebaran ajaran Syattariyah di penghujung abad 17. 


Syekh Burhanuddin kemudian dikenal menyebarkan islam dari Ulakan (Padang). Berita kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas kedaerah lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kepala Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan Raja Pagaruyung sendiri. 


Langkah berikutnya adalah dengan jalan lebih mengintensifkan penyiaraan agama Islam ini kepelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah mohon restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja sudah yakin akan kebenaran ajaran Islam ini maka penduduk Minangkabau akan mudah dipengaruhinya. 


Dengan diiringi Idris Majolelo maka Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Ala kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu panglima Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alm ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung di Batu Sangkar. 


Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan ―Orang Nan Sebelas Ulakan. Berangkatlah Syekh Burhanuddin dan Idris Majolelo bersama-sama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringi oleh hulubalang seperlunya menghadap Daulat yang dipertuan Raja Pagaruyung. Peristiwa ini kemudian dikenal Bukit Marapalam. 


Keputusan musyawarah ini merupakan suatu konsep menyatakan bahwa adat tidak bertentangan dengan agama Islam. Kedua-duanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang harus dipedomani sebagai pegangan hidup bagi masyarakat Minangkabau. Intisari konsepsi Marapalam melahirkan suatu ungkapan: ―Adat basandi syarak, syarak basandi adat” 


Peristiwa sejarah di Bukit Marapalam Sungai Tarab dan menghadap kepada Yang Dipertuan Raja Pagaruyung di Batu Sangkar telah tersiar di seluruh pelosok alam Minangkabau. Kejadian ini memberi kesan yang baik kepada rakyat Minangkabau dan telah menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi.


Sebagaimana dijelaskan  Boestami didalam bukunya “Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan”, makna Peristiwa sejarah di Bukit Marapalam Sungai Tarab dan menghadap kepada Yang Dipertuan Raja Pagaruyung di Batu Sangkar dan kemudian menetapkan Islam diakui sebagai agama resmi maka dikenal “Adat dan agama telah menunggal dan saling lengkap melengkapi. 


Yang kemudian ditandai dengan seloko “adat menurun, syarak mendaki”.  artinya adat datang dari pedalaman dan agama berasal dari pesisir. 


Seloko “adat menurun. Syarak Mendaki” yang memadukan antara hukum islam dan Hukum adat juga dapat ditemukan didalam Seloko Jambi “Tali Undang Tambang Teliti”. 


Menurut penuturan ditengah masyarakat, makna “Undang berasal dari Penghulu. Peraturan yang dibawakan oleh Penghulu kemudian diteliti dari Suku Batin. 


Batin artinya asli. Istilah Batin adalah merujuk kepada “raga” atau “hati” manusia. Bisa juga merujuk kepada manusia. Sehingga batin adalah tempat berdomisili.


Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap” disebutkan Batin “in het batin gebied staan de woningen in de doesoen”. Dengan demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun.  Sedangkan Cerita di masyarakat, arti kata “batin” berasal dari kata “asal”. 


Sehingga “peraturan yang dibawa oleh penghulu kemudian “diteliti” dari suku batin. Hasil ramuan inilah kemudian dipakai menjadi hukum adat. 


Seloko “Tali Undang Tambang Teliti” kemudian dapat ditemukan di pita bertuliskan “Tali Undang Tambang Teliti” Lambang Kabupaten Merangin. 


Didalam website resmi kabupaten Merangin, makna “tali undang tambang teliti” melambangkan Daerah Kabupaten Merangin merupakan daerah pertemuan yang berbentuk peraturan yang kuat antara dua induk suku yang besar yaitu suku Batin dan suku Penghulu.


Selain itu Mencerminkan persatuan, kesatuan antara kebiasaan dan adat istiadat yang dipakai oleh induk suku Batin dan induk suku Penghulu yaitu Undang berasal dari suku Penghulu dan Teliti berasal dari suku Batin, keduanya dipakai dan merupakan intisari pada adat istiadat dan merupakan adat istiadat rakyat Kabupaten Merangin yang tak lapuk di hujan dan tak lekang di panas.


Dengan demikian maka seloko “Adat menurun. Syarak mendaki” dapat diartikan dalam seloko Jambi “Tali Undang Tambang Teliti”. 


Direktur Media dan Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani