18 Mei 2021

opini musri nauli : Datuk di Sulteng (2)


Sementara itu Datuk ri Bandang pergi dari kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, lalu dikemudian hari sang ulama itu- pun akhirnya wafat di wilayah Tallo.  

Dato Ri Tiro

Dato ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani/Abdul Jawad, dengan gelar  Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan serta Kerajaan Bima di Nusa Tenggara sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung serta Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah timur nusantara pada masa itu. 

Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro berhasil mengajak raja Karaeng Tiro (Sulawesi Selatan) serta raja Bima (Nusa Tenggara) masuk Islam. Sang pendakwah itu tidak kembali lagi ke Minangkabau sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.


Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan  agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Dia bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa itu. 


Sementara itu Datuk ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di wilayah tengah yaitu Kerajaan Gowa dan Tallo (Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng) yang masyarakatnya senang dengan perjudian, mabuk minuman keras serta menyabung ayam. Belakangan Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang juga menyiarkan Islam ke Kerajaan Bima, Nusa Tenggara. 


Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.


Dato Karama


Dato Karama atau Syekh Abdullah Raqie adalah seorang ulama Minangkabau yang pertama kali menyebarkan agama Islam ke Tanah Kaili atau Bumi Tadulako, Sulawesi Tengah pada abad ke-17. Awal kedatangan Syekh Abdullah Raqie atau Dato Karama di Tanah Kaili bermula di Karampe, Lembah Palu (Sulawesi Tengah) pada masa Raja Kabonena, pangeran Pue Nggari memerintah di wilayah Palu. Selanjutnya Dato Karama melakukan syiar Islam-nya ke wilayah- wilayah lainnya di lembah Palu yang dihuni oleh masyarakat Suku Kaili. Wilayah- wilayah tersebut meliputi Palu, Donggala, Kulawi, Parigi dan daerah Ampana. 


Setelah wafat, jasad Dato Karama dimakamkan di Kampung Lere, Palu (Kota Palu sekarang). Makam Syekh Abdullah Raqie atau Dato Karama kemudian hari menjadi Kompleks Makam Dato Karama dan berisi makam istrinya yang bernama Intje Dille dan dua orang anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan di batu nisannya. 


Datuk Mangaji


Datuk Mangaji yang juga bergelar Tori Agama adalah seorang penyebar agama Islam di Sulawesi Tengah, khususnya di daerah Parigi dan sekitarnya. Ia dipercayai masyarakat setempat berasal dari Minangkabau, Sumatera (Mattulada, 1990). Raja Parigi (bahasa Kaili: Magau) yang bergelar Tori Kota ("Orang di Kota) dan putranya Magau Janggo ("Raja Berjanggut") adalah yang pertama-tama masuk Islam dalam kerajaan tersebut, setelah menerima dakwah dari Dato Mangaji.  


Makam Dato Mangaji terletak di dekat istana Parigi di Desa Parigimp'u, Parigi Barat, Sulawesi Tengah. Parigimpuu adalah desa di kecamatan Parigi Barat, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Indonesia. Di desa ini terdapat sebuah cagar budaya berupa makam Dato Mangaji, salah seorang tokoh penyebar agama Islam pertama di Sulawesi Tengah


Menurut Adriani dan Kruijt (1912, p. 300) Dato Mangadji ini adalah sepupunya Dato Karama, yang membawa Islam ke daerah Parigi. Pada saat Dato Mangaji membaawa Islam ke Parigi, beliau di tentang dengan keras oleh penduduk setempat. Bahkan saat beliau shalat, ada seorang pemuda yang menarik buah zakar nya. Sejumlah rencana juga disusun untuk membunuh Dato Mangaji, tetapi gagal karena kesaktiannya. 


Menurut  Adriani, N., & Kruijt, A. C. Didalam dokumennya “De Bare'e-Sprekende Toradja’s”, 1912, keberadaan Dato Karama terkait dengan kedatangan Islam di Lembah Palu. Dalam kisah pengenalan Islam di Palu dan Parigi, mengatakan bahwa semua daerah di Bugis dan Makasar di Islamisasi oleh ulama Melayu yang berasal dari Manangkabo (Minangkabau) yang salah satunya adalah dikenal dengan nama Dato Karama. Ketika daerah-daerah tersebut di Islamisasi, Dato Karama kemudian juga pergi ke Boeol (Buol) yang kemudian masyarakatnya juga menerima Islam. 


Berdasarkan buku “Sejarah Datokarama (Abdullah Raqie) - Pembawa islam dari Minangkabau Ke Sulawesi Tengah”, yang dituliskan oleh Nurdin dkk dan Sejarah Datokarama (Abdullah Raqie) - Pembawa islam dari Minangkabau Ke Sulawesi Tengah”, yang dituliskan oleh Nurdin dkk, Koto Tangah dulunya adalah masuk dalam nagari Pariaman dan disitulah Islam pertama sekali bekembang di Miangkabau. 


Tokoh pertama yang menyebarkan Islam di Koto Tangah adalah Syekh Burhanuddin Ulakan. Syekh Burhanuddin memperdalam Islam bersama keempat temannya di Aceh pada Syekh Abdul Rauf Singkil. 


Syekh Burhanuddin melahirkan sejumlah murid yang menjadi khalifah dan ulama-ulama terkenal yang kemudian menyebarkan Islam keberbagai daerah sampai ke Patani, Malaysia, Philipina, Jawa dan Sulawesi. 


Karena Dato Karama berasal dari Koto Tangah dan hidup pada zaman Syekh Burhanuddin, maka dapat dipastikan bahwa Dato Karama atau Abdullah Raqie belajar Islam pada Syekh Burhanuddin sebagai satu-satunya yang mengajar Islam di Koto Tangah pada zaman tersebut. 


Kedatangan Dato Karama di Lembah Palu disambut oleh raja Besusu Pue I Nggari seperti di ceritakan oleh Andriani danKruijt (1912), bukan oleh raja Kabonena Pue Njidi. Hal ini karena raja Besusu sangat dengan pantai Talise dibandingkan dengan Pue Njidi yang letaknya di Kabonena jauh dengan pantai Talise dan juga di halangi oleh sungai Palu.


Dengan adanya  bukti pengaruh terhadap seni dan kebudayaan dan adanya sejumlah artefak yang terkait dengan Dato Karama  maka membuktikan bahwa keberadaan Datokarama. 


Mengenai Islam Kota Palu sumber artefak yang tertua adalah Masjid Jami’. 


Masjid Jami, merupakan simbol Islam terutama yang dibawa oleh Syeikh Abdullah Raqie. Awalnya masih berbentuk langgar atau surau. 


Lokasi surau terletak di Kelurahan Baru Kota Palu diatas tanah seorang dermawan, Haji Borahima atau dikenal Pue Langgai. 


Pue Langgai menyediakan lahan sebesar 9m X 9m. Tanah tersebut telah diwakafkan untuk perkembangan mesjid. Keberadaan situs Dato Karama sudah menjadi milik masyarakat, dan bahkan dalam kacamata politik sejarah, Pemerintah telah menetapkannya sebagai Cagar Budaya. Ini merupakan salah satu fakta sejarah bahwa seorang penganjur Islam pernah ada di tanah Kaili.


Baca : Datuk di Sulteng