18 Mei 2021

opini musri nauli : Narasi

Ditengah serbuan arus informasi begitu cepat, berhimpitan berbagai informasi yang terserak didunia maya, keinginan untuk membuat masyarakat Indonesia membaca justru terpinggirkan. Kalah dengan arus informasi yang hanya menyediakan judul tanpa harus bergelut memahami konteks. 

Berbeda dengan pesimis sebagian kalangan, justru internet yang menyediakan berbagai kebutuhan akan informasi masih terpenggal dengan kekuatan industri buku yang menyediakan pengetahuan. 


Sebagai contoh, di bidang hukum, buku-buku klasik dunia hukum sama sekali tidak tersedia di dunia internet. Berbagai perpustakaan baik kampus maupun lembaga-lembaga ilmiah sedikit sekali menyampaikan perkembangan ilmu pengetahuan. Tergolek diruang perpustakaan. Berdebu. Nyaris tidak tersentuh. 


Berbeda dengan perpustakaan dunia baik kampus maupun lembaga-lembaga ilmiah, mereka menyediakan data-data yang diperlukan yang kemudian dibuatkan didalam situs berupa e-library. 


Berbagai jurnal, laporan petualang dunia justru tersedia berbagai perpustakaan. Entah perpustakaan Belanda, Jerman, Spanyol, Inggeris dan Portugis. 


Entah itu Catatan Marco Polo, Vasdo de Gama maupun petualang dunia lainnya. 


Bahkan buku-buku klasik entah “Sejarah Indonesia” M.C Ricklefs dan Antony Redd berserakan didunia maya. Tersebar di website berbagai perpustakaan kampus ternama dunia. 


Padahal kampus dan lembaga-lembaga ilmiah berkewajiban mengabarkan perkembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat diluar kampus. Sekaligus bentuk apresiasi terhadap karya-karya ilmiah yang sudah dihasilkan. 


Prinsip “ilmu untuk semua manusia” tersendat dengan keinginan sebagian kalangan yang membuat ilmu itu harus mahal. Dan tidak Mudah diakses. 


Disisi lain, berbagai lembaga Pemerintah dan lembaga negara sedikit sekali mengabarkan perkembangannya. Selain aktivitas aparat negara. 


Padahal sebagai lembaga publik, berbagai perkembangan dibutuhkan masyarakat. Masyarakat Harus mendapatkan berbagai informasi dari lembaga-lembaga resmi. 


Kampanye mengajak masyarakat agar memperbanyak membaca buku dan membangun literasi “seakan-akan” terbentur tembok. 


Bagaimana mau Membangun literasi sementara berbagai pusat informasi malah tidak menyiapkan berbagai informasi yang dibutuhkan. 


Apakah literasi yang hendak dibangun kemudian “membayar” yang mahal untuk mendapatkan bukunya ? 


Bukankah sebaiknya untuk menumbuhkan minat membaca dan Membangun literasi dan mendorong membaca buku juga diimbangi dengan berbagai fasilitas yang harus disediakan oleh negara. 


Entah Membangun perpustakaan online (e-library), menyediakan informasi yang dibutuhkan di berbagai website resmi lembaga Pemerintah hingga menyiapkan informasi yang dibutuhkan dengan mudah dan murah. 


Bukan kemudian mengajak masyarakat membaca buku didalam rangka hari Buku Nasional namun kemudian buku yang disediakan justru tergolong mahal dan sulit didapatkan. 


Baca : Menulis (5)