Semalam saya kedatangan teman-teman Jurnalis, Sahabat dan handai taulan. Merayakan Idul Fitri.
Tidak ada keistimewaan menyambut Idul Fitri. Ditengah pandemi yang mulai mengerikan menimpa Negeri Jambi.
Teman-teman yang selama ini kukenal aktif bekerja di Lapangan, fisik prima mulai menderita covid 19. Walaupun sudah sembuh namun cerita yang mereka tuturkan membuat saya menjadi ngeri. Mengapa virus corona mulai menyerang Jambi. Apakah kekebalan tubuh belum mampu ditumbuhkan ? Atau memang virus corona sudah mulai menyesuaikan dengan alam sekitarnya (Para Ahli sering menyebutkan sebagai mutasi lokal).
Ah. Entahlah. Tapi yang pasti, kewaspadaan harus selalu ditingkatkan. Sembari memperkaya bacaan tentang pengetahuan masyarakat mengenai adaptasi terhadap wabah (Ta’un).
Tidak lama kemudian saya juga didatangi oleh mas Wiwin (Dosen sejarah) dan Bang Didi (Arkeologi Unja).
Kamipun mengobrol kesana-kemari. Sembari mencocokkan pengetahuan saint dari arkeolog dan tutur ditengah masyarakat.
Berbagai ide gila kemudian lahir. Termasuk “memperdebatkan” Melayu Jambi, pusat Melayu, mempersoalkan Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu).
Belum lagi membahas “pantai barat Sumatera”, “pantai Timur Sumatera”, jalur perdagangan rempah-rempah hingga kemudian mulai mengerucut Usia Jambi (sebagai Provinsi dan sebagai Kotamadya Jambi).
Bang Didi kemudian mulai menajamkan pemikiran pertanyaan. Mengapa Kotamadya Jambi mengikrarkan “Tanah Pilih Pusako Betuah” kemudian menetapkan Ulang tahun ke 74. Dan Hari Jadi ke 619 Tahun.
Ketika penyebutan ulang tahun ke 74, kita akan mudah menjawabnya. Sebagai wilayah otonom, Jambi kemudian ditetapkan sebagai Kotamadya memang tanggal 17 Mei 1946. Waktu itu masih bagian dari Provinsi Sumatera Tengah
Kemudian ketika Jambi menjadi Provinsi tahun 1957 berdasarkan UU No. 56 Tahun 1956. Dan kemudian menetapkan Kotamadya Jambi ditetapkan sebagai Ibukota Provinsi Jambi tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan UU No. 61 Tahun 1958.
Namun menjadi perhatian saya adalah ketika Kotamadya Jambi kemudian berikrar merayakan hari Jadi ke 619 Tahun.
Apabila dihitung ulang tahun 619 M maka dapat kita telusuri pada tahun 1402 m. Meminjam teori yang disampaikan oleh Uli Kozok didalam Kitabnya yang kemudian dikenal “Kitab Tanjung Tanah”, Maka naskah Tanjung Tanah ditulis selama abad ke-14 atau pada awal abad ke-15.
Berasal dari Dharmasraya yang terletak di tepi Batang Hari di perbatasan antara Jambi dan Sumatra Barat. Ditulis oleh Dipati Kuja Ali atas perintah sang maharaja, naskah ini merupakan kitab undang-undang yang dikeluarkan oleh kerajaan Dharmasraya untuk menetapkan hukum di Kerinci.
Menurut Bang Didi, masa itu, Pusat kerajaan kemudian dipindahkan dari Candi Muara Jambi ke kerajaan Malayu-Minangkabau yang berpusat di Suruaso (Dharmasraya)
Apabila kita merujuk Kitab Tanjung Tanah yang memulai dengan kata-kata “Di Waseban paduka Sri Maharaja”, menilik kata “Paduka Sri Maharaja” dan menutup kata berbahasa Sansekerta menunjukkan sebagai simbol Raja Melayu.
Pada periode itu kemudian menunjukkan ke Kerajaan Malayu-Minangkabau yang berpusat di Suruaso (Dharmasraya).
Berbeda dengan kelaziman yang teks yang berasal dari masa Islam. Sehingga menurut Uli Kozok pada periode agama Hindu.
Sehingga menilik 619 tahun lebih tepat merujuk kepada kitab Tanjung Tanah yang kemudian “Merajo” kepada “Paduko Sri Maharaja” Kerajaan Malayu-Minangkabau yang berpusat di Suruaso (Dharmasraya).
Sehingga angka 619 tahun menjadi kurang tepat untuk membicarakan kerajaan Jambi Darussalam.