05 Maret 2021

opini musri nauli : Belajar dari Kampung

 



Ketika gempa September 2009 menimpa Sumbar, keesokannya kemudian terjadi gempa di Jambi. Pagi hari pukul 08.00 wib. 


Pusat gempa hanya diterangkan 40 km arah tenggara dari Sungai Penuh. Tidak ada satupun data yang tersedia. 


Suasanapun heboh. Walhi yang berpengalaman didalam menghadapi bencana kemudian membuat tim. Tim Asssessment untuk memastikan korban. Kemudian turun ke lapangan. 


Terbayang bagaimana menimpa yang terjadi di Padang. Keluarga besar dari pihak istri tidak ada kabar. HP yang dihubungi satupun tidak ada yang aktif. Belum lagi berita bersilewaran yang membuat dada ini kemudian trenyuh. 


Dan hingga sore hari awal oktober 2009, terbayang derita yang akan terjadi. Membayangkan korban yang terus berjatuhan di Padang. 


Dua hari kemudian kabar dari lapangan didapatkan. Pusat gempa ternyata terletak di Desa dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Dengan luas TNKS 1,4 juta ha. Terletak di 4 Provinsi (Jambi, Sumbar, Sumsel dan Bengkulu). 


Membayangkan sebagai pusat gempa dan masih trauma gempa di Padang membuat bagaimana suasana yang terjadi desa. Dipastikan rumah hancur berkeping-keping. Sarana umum rusak. Bahkan tempat-tempat tidak ada lagi yang bisa ditempati. 


Namun alangkah kagetnya. Ternyata Desa yang menjadi pusat gempa (yang disebutkan 40 km arah tenggara Sungai Penuh), praktis rumah-rumahnya sama sekali tidak hancur. Seperti yang dibayangkan. 


Rumah-rumah panggung ternyata alas kakinya yang kemudian miring. Bahkan dengan hanya menggunakan dongkrak, urusan kelar seminggu. Selain itu tidak ada kerusakan sama sekali. Akibat pusat gempa. 


Desa yang menjadi pusat gempa dikenal sebagai Desa Renah Kemumu. Tidak ada didalam peta Jambi. Baik peta-peta yang disediakan di pasaran maupun peta-peta yang tertempel didinding. 


Desa Renah Kemumu memang terletak ditengah-tengah TNKS. Jauh dari segala akses jalan. Baik ke Ibukota kecamatan maupun ke Ibukota Kabupaten. Yang terdekat Cuma ke Lempur (Kabupaten Kerinci). Itupun masih menggunakan kuda. Melewati bukit-bukit yang terjal. Memakan waktu seharian. 


Desa Renah Kemumu yang termasuk kedalam Marga Serampas (Perda Kabupaten Merangin Nomor 8 Tahun 2016). 


Saya kemudian memperhatikan. Bagaimana cara masyarakat “menyesuaikan” dengan alam sekitarnya. 


Sebagai desa yang dekat dengan Gunung Kerinci (3805 mdpl), Gunung Aktif yang “rajin” mengeluarkan batuk, tentu saja Desa Renah Kemumu “bersinggungan langsung” dengan gempa vulkanik. Gempa yang terus menerus terjadi. 


Namun bukan “berhadapan dengan alam”, namun masyarakat mampu “menyesuaikan” dengan alam. 


Makna “berhadapan dengan alam” mempunyai cara pandang dengan makna “penyesuaian”. Makna filosofi yang membedakan cara pandang “orang barat” dan “orang timur”. 


Rumah panggung yang sama sekali tidak menggunakan paku namun pasak mampu menjadi “ayunan”. Sehingga Rumah panggung justru “menjadi ayunan”. Meliuk-liuk mengikuti arah gempa. 


Saya hanya melihat tanah yang terbelah di Desa Renah Kemumu. 


Namun rumah-rumah setelah selesai “didongkrak” sama sekali tidak terlihat sebagai pusat gempa. Kembali ke aktivitas sehari-hari. 


Daya lentur rumah panggung sudah terbukti dibeberapa gempa. Terakhir di Lombok 2019. 


Bukankah sudah jamak diketahui Indonesia merupakan jalur gempa. Baik gempa vulkanik maupun gempa tektonik. Menurut BMKG, Indonesia merupakan daerah rawan gempabumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.


Sehingga saya kemudian menjadi paham. Mengapa rumah-rumah adat di Indonesia berupa panggung. Selain untuk mencegah dari binatang buas ternyata juga mampu menjadi “daya lentur” dari gempa. 


Tidak salah kemudian pengetahuan masyarakat yang belajar dari alam, “menyesuaikan” dari alam adalah pengetahuan empirik. Pengetahuan yang tidak terbantahkan. 


Lalu apakah salah saya kemudian meninggalkan pengetahuan yang saya dapatkan dari kampus. Dan belajar tentang alam dari kampung ?