Ketika Gubernur Sulsel ditangkap KPK, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bak seakan-akan tidak percaya, Gubernur yang pernah mendapatkan “Bung Hatta Award” ketika menjadi Bupati Bantaeng (Sulse) kemudian menghentak public. Memberikan kekagetan sekaligus ketidakpercayaan.
Teringat suatu hari pembicaraan dengan tokoh nasional. Membicarakan prestasi dan kinerjanya sebelum mengikuti pilkada Sulsel.
Dengan kinerja yang mumpuni, prestasinya membuat Kabupaten Bantaeng meraih prestasi yang luarbiasa. Termasuk liputan khusus berbagai media nasional.
Namun yang unik adalah ketika kasus ini kemudian meledak. Publik yang dihentak seakan-akan tidak percaya dengan peristiwa yang terjadi.
Entah ditengah ketidakpercayaan sekaligus keraguan public, lagi-lagi KPK menunjukkan taringnya. Sekaligus menepis kekhawatiran nasib KPK paska amandemen UU KPK.
KPK sekali lagi menunjukkan kinerja KPK tanpa hirau dengan “cemoohan” ataupun keraguan public. KPK menunjukkan sebagai Lembaga yang independent yang mampu menuntaskan kerja-kerjanya.
KPK mampu membangkitkan kesadaran baru ditengah masyarakat. Dugaan UU KPK yang akan memberangus nasib KPK terbantahkan. Justru KPK tetap menunjukkan Lembaga yang peduli dengan urusan berantas korupsi.
Teringat beberapa waktu yang lalu. Desakan untuk mencabut RUU KPK begitu kuat. Berbagai komponen mendesak agar dihentikan RUU KPK. Baik dengan alasan logis seperti “khawatir” KPK akan lemah maupun alasan-alasan lain.
Bahkan sebagian kalangan justru akan miris nasib KPK setelah disahkan KPK.
Desakkan dari public tidak main-main. Bahkan ancaman akan mundur dari para pengurus KPK diinternal begitu kuat.
Namun ditengah ketidakpercayaan public, saya memilih mengambil pandangan dan posisi yang berbeda.
Dengan sistem yang sudah tertata rapi, integritas para pemimpin yang tidak boleh diragukan, saya percaya KPK tetap menjadi Lembaga yang dirindukan masyarakat. Mampu menuntaskan pemberantasan korupsi. Dan tidak perlu yel-yel merayakannya.
Selain itu, berbagai pengalaman sudah menunjukkan prestasi ditengah awal-awal pemilihan para komisioner pimpinan KPK.
Entah dimulai dari periode Antasari Azhar, Abraham Samad dkk hingga periode Agus Rahardjo. Dipastikan setiap awal terpilih, berbagai tuduhan miring sempat mengemuka.
Namun hampir dipastikan setiap periode akhir kepemimpinan, mereka disambut bak pahlawan. Menutupi kegalauan public diawal-awal periodenya.
Cerita yang terus berulang mengingat gurauan teman saya. “Sudah basi cerita tentang itu”.
Dan ketika KPK kemudian menyasar 2 menteri aktif, bibir kelu para pemrotes tidak berdaya. Tertelan air liur suara protesnya.
Dan ketika KPK mulai menunjukkan taringnya sebagai Lembaga pemberantasan korupsi menyasar beberapa kepala daerah, lagi-lagi pihak yang semula protes tidak bersuara.
Bukan membantu KPK “menjernihkan” agar kasus menjadi terang benderang. Menjelaskan bagaimana rangkaian korupsi yang tengah terjadi. Cara yang mereka lakukan pada para pimpinan KPK periode sebelumnya.
Namun mereka lebih sibuk membahas agar Bung Hatta award yang diberikan Perkumpulan Bung Hatta anti corruption award (BHACA) yang telah diberikan kepada Gubernur Sulsel segera dicabut.
Sayapun tertawa. Cara kampungan. Yang lebih menampakkan bungkus daripada isi.