05 Maret 2021

opini : Seni



Kapan terakhir kita menikmati seni ? Menikmati music ? Menonton Film ? Menonton konser ? Mengikuti konser ? Atau membeli kaset ? Atau menghidupkan music keras-keras ?

Kapan terakhir kita Membaca buku sastra atau non fiksi ?. Membuat puisi atau cerpen ?

Kapan terakhir kita menyalurkan hobi bermain music ? Main gitar atau gebuk drum ?

Atau lihat pameran lukisan ? Menggambar ? Membangun mural didinding kota ?

Pertanyaan itu seakan-akan mengganggu dan menjadi penyebab rasa tentang rasa seni.

Lihatlah. Bagaimana keindahan kemudian hanya dapat dinikmati segelintir orang. Seni kemudian ditafsirkan cuma urusan “pikiran”. Bukan rasa.

Masih ingatkan ketika “kehebohan” Jokowi “menaiki” sepeda motor sport sesaat menjelang Pembukaan Asian Games 2018 ?

Bukan ide kreatif dari Wishnutama Kusubandio (NET.TV) yang ciamik mengalahkan pembukaan Olimpiade di Jepang dan Inggeris yang menjadi kekaguman. Namun kemudian “mempersoalkan” stuntman (peran pengganti) dari Jokowi.  

Eh, ketipu.. Bukan Jokowi yang menaiki sepeda motor”, status di FB.

Akupun tertawa ngakak. Apakah dia tidak pernah nonton Hollywood ? Atau film action yang seringkali berbahaya ?

Apakah dia tidak tahu adanya “stunt man” Tom Cruise sebagai Pete “Maverick” Mitchell, letnan AU didalam Filmnya “Top Gun” ?  Atau adanya kejar-kejaran Ethan Hunt didalam Film “Mission Imposibble” berseri ?

Sampai sekarang tidak ada satupun penonton Film yang kemudian menggumel dan meminta uang kembali tiket bioskop setelah adanya “Stunt man” setelah keluar dari bioskop. Semuanya bergembira.

Atau cerita di Depok yang kemudian memisahkan kendaraan sepeda motor Tiger dan Honda Beat ditempat parkir yang terpisah.

Kehilangan rasa seni menyebabkan emosi mudah meledak, uring-uringan, suka membully, kehilangan rasa empati. Bahkan cenderung berfikir anarkhis dan mau menang sendiri dan egois.

Kehilangan rasa seni juga menyebabkan ketertinggalan peradaban bangsa.

Seharusnya kita malu dengan kebudayaan adiluhung bangsa Indonesia. Lihatlah Candi Borobudur, Candi Prambanan dan berbagai Candi di Indonesia sebagai jejak leluhur bangsa Indonesia.

Atau batik yang tersebar diseluruh nusantara dengan hanya menggunakan Canting, berbahan  lilin batik dan zat pewarna yang kebanyakan dari tumbuh-tumbuhan yang ada disekitarnya.

Atau ukiran dan rumah Adat yang berpanggung yang kemudian terbukti handal menghadapi gempa bumi di Indonesia.

Bagaimana mau membangun masjid ataupun kaligrafi yang indah apabila sang pembuatnya tidak mempunyai rasa seni ?

Lihatlah Mesjid Agung Demak yang mempunyai ciri khas gambar kura-kura yang dipengaruhi Budaya Tiongkok. Atau Mesjid Menara Kudus (Masjid Al-Aqsa) yang memiliki Atap tajug tumpang tiga yang mirip dengan kuil di India yang kental bernuansa Hindu.

Semuanya berangkat dari rasa seni. Rasa seni yang diciptakan dari olah pikir, renungan mendalam, ketaatan pribadi yang kuat sehingga menghasilkan karya adiluhung.

Dan rasa itu kemudian dikikis dan kehilangan elan dimasa modern ini.

Seharusnya kita malu dengan Nenek moyang kita yang telah mewariskan karya-karya adiluhung. Bukan malah mundur dan menjadi manusia katak didalam tempurung.