Kapan
terakhir kita menikmati seni ? Menikmati music ? Menonton Film ? Menonton
konser ? Mengikuti konser ? Atau membeli kaset ? Atau menghidupkan music keras-keras
?
Kapan
terakhir kita Membaca buku sastra atau non fiksi ?. Membuat puisi atau cerpen ?
Kapan
terakhir kita menyalurkan hobi bermain music ? Main gitar atau gebuk drum ?
Atau
lihat pameran lukisan ? Menggambar ? Membangun mural didinding kota ?
Pertanyaan
itu seakan-akan mengganggu dan menjadi penyebab rasa tentang rasa seni.
Lihatlah.
Bagaimana keindahan kemudian hanya dapat dinikmati segelintir orang. Seni
kemudian ditafsirkan cuma urusan “pikiran”. Bukan rasa.
Masih
ingatkan ketika “kehebohan” Jokowi “menaiki” sepeda motor sport sesaat
menjelang Pembukaan Asian Games 2018 ?
Bukan
ide kreatif dari Wishnutama Kusubandio (NET.TV) yang ciamik mengalahkan
pembukaan Olimpiade di Jepang dan Inggeris yang menjadi kekaguman. Namun
kemudian “mempersoalkan” stuntman (peran pengganti) dari Jokowi.
“Eh,
ketipu.. Bukan Jokowi yang menaiki sepeda motor”, status di FB.
Akupun
tertawa ngakak. Apakah dia tidak pernah nonton Hollywood ? Atau film action
yang seringkali berbahaya ?
Apakah
dia tidak tahu adanya “stunt man” Tom Cruise sebagai Pete
“Maverick” Mitchell, letnan AU didalam Filmnya “Top Gun” ? Atau adanya kejar-kejaran Ethan Hunt didalam
Film “Mission Imposibble” berseri ?
Sampai sekarang tidak ada satupun
penonton Film yang kemudian menggumel dan meminta uang kembali tiket bioskop
setelah adanya “Stunt man” setelah keluar dari bioskop. Semuanya bergembira.
Atau cerita di Depok yang kemudian
memisahkan kendaraan sepeda motor Tiger dan Honda Beat ditempat parkir yang
terpisah.
Kehilangan rasa seni menyebabkan
emosi mudah meledak, uring-uringan, suka membully, kehilangan rasa empati.
Bahkan cenderung berfikir anarkhis dan mau menang sendiri dan egois.
Kehilangan rasa seni juga
menyebabkan ketertinggalan peradaban bangsa.
Seharusnya kita malu dengan
kebudayaan adiluhung bangsa Indonesia. Lihatlah Candi Borobudur, Candi
Prambanan dan berbagai Candi di Indonesia sebagai jejak leluhur bangsa
Indonesia.
Atau batik yang tersebar diseluruh
nusantara dengan hanya menggunakan Canting, berbahan lilin batik dan zat pewarna yang kebanyakan
dari tumbuh-tumbuhan yang ada disekitarnya.
Atau ukiran dan rumah Adat yang
berpanggung yang kemudian terbukti handal menghadapi gempa bumi di Indonesia.
Bagaimana mau membangun masjid ataupun
kaligrafi yang indah apabila sang pembuatnya tidak mempunyai rasa seni ?
Lihatlah Mesjid Agung Demak yang
mempunyai ciri khas gambar kura-kura yang dipengaruhi Budaya Tiongkok. Atau
Mesjid Menara Kudus (Masjid Al-Aqsa) yang memiliki Atap tajug tumpang tiga yang
mirip dengan kuil di India yang kental bernuansa Hindu.
Semuanya berangkat dari rasa seni.
Rasa seni yang diciptakan dari olah pikir, renungan mendalam, ketaatan pribadi
yang kuat sehingga menghasilkan karya adiluhung.
Dan rasa itu kemudian dikikis dan
kehilangan elan dimasa modern ini.
Seharusnya kita malu dengan Nenek
moyang kita yang telah mewariskan karya-karya adiluhung. Bukan malah mundur dan
menjadi manusia katak didalam tempurung.