Ketika
membaca berita media online tentang seorang perempuan yang mengajar Mengaji
disekitar rumahnya 30 tahun lebih dan tidak menerima pembayaran, ingatan saya
melayang tayangan Metrotv beberapa tahun yang lalu.
Seorang
perempuan kelas menengah bersuamikan seorang DIrektur BUMN ternama yang
hidupnya sudah mapan. Hidup berkecukupan dan mapan. Tinggal di perumahan elite
di Jakarta.
Setelah
seluruh anaknya kemudian berhasil dan bekerja diluarnegeri, tinggallah dia dan
suaminya.
Entah
mengapa, keinginan untuk mengajar murid SD semakin kuat. Dengan latarbelakang
pendidikan Guru yang kemudian tidak dilanjutkan mengikuti tugas suami yang
berpindah satu kota kekota yang lain, keinginan mengajar begitu kuat.
Semula
hanya mengisi waktu kosong setelah mengantarkan suaminya kerja. Waktu senggang
yang kemudian tidak mau dihabiskan percuma.
Dia
buka ijazah yang mulai menguning. Dia kumpulkan bahan ajar. Dia kumpulkan
materi-materi hingga kemudian dia menetapkan untuk mengajar.
Pelan-pelan
dia kemudian mengumpulkan anak-anak kolong yang tinggal dibawah jembatan layang.
Hidup digaris kemiskinan. Rata-rata anak-anak terlantar. Jauh dari akses
kesehatan. Apalagi pendidikan.
Dibuatlah
ruangan kertas dari triplek dan karton-karton bekas. Mulai dari 2-3 murid.
Akhirnya satu kelas. Setahun kemudian hingga kelas 2.
10
tahun kemudian mencapai kelas 6. Dibayar honor para relawan yang rela
membantunya. Bahkan baju sekolah, sepatu dan buku ajar dia sendiri membelikan.
TIdak
cukup hanya itu. Bahkan untuk mengikuti ujian standar nasional, dia keluarkan
biaya pendaftaran Sekolah Negeri hingga lulus SD.
Semuanya
biaya yang dikocek dari kantong sendiri.
Saya
terbengong-bengong menyaksikan tayangan metrotv. Sambil mengucek-ngucek mata,
saya tidak percaya.
Bagaimana
mungkin. Seorang perempuan dari kalangan elite rela menyusuri jalan kumuh, becek
dibawah jembatan layang. Rela mengajar tanpa pamrih. Bahkan rela mengeluarkan
uangnya sendiri. Apakah tidak mau menikmati kekayaan dari suaminya yang
terpandang ?
Saya
kemudian menyebutkan sebagai “orang gila’. Orang gila yang tidak mau memikirkan
perkataan orang lain. Dan lebih mementingkan nuraninya. Untuk mengajar apa yang
bisa dilakukan.
Kisah
yang lain. Seorang bapak tua. Yang rela setiap hari menanam pohon disekitar
Desanya yang tandus. Sendirian. Selama 30 tahun lebih.
Tidak
perlu banyak teori mengapa dia melakukannya. Hanya sederhana. Agar hutan disekitar
desanya kembali rimbun.
Kisah-kisah
tentang anak muda yang rela membuat perpustakaan didesa. Atau seorang pedagang
kecil yang membangun sekolah untuk anak-anak disekitarnya adalah kisah-kisah “orang
gila’. Orang gila yang kemudian kita sadar. Mengapa Indonesia begitu kaya
mempunyai “orang gila”.
Di
Jambi sendiri saya juga menemukan banyak orang yang melakukan yang tidak
terpikirkan oleh kita sendiri.
Lihatlah.
Aura anak muda yang masih berkutat dikampus, masih memikirkan ujian semester,
di saat usia mereka yang masih hobby hidup didunia gadget kemudian meninggalkan
semuanya.
Ada
seorang anak muda yang “gila”. Dengan papan kecil di kostnya. Dia menerangkan
tentang Epistemologi, alam filsafat, nilai-nilai kehidupan. Muridnya mahasiswa
yang silih berganti.
Ada
juga komunitas yang Menggelar lapak. Menjajakan buku setiap malam minggu.
Bayangkan.
Saat
saya berusia seperti mereka, hidup saya masih hura-hura. Sibuk memikirkan
bagaimana “mencuri” waktu, mengakali matakuliah agar tetap mendaki gunung.
Atau
touring ramai-ramai nonton cross hingga ke Lubuk Linggau atau ke Solok. Dunia
yang masih ramai-ramai nongkrong sembari bergadang kumpul dengan kawan-kawan
seusianya.
Malam
minggu merupakan malam istimewa bagi muda-mudi, malam bersuka cita, hura-hura
bahkan menikmati pesta malam minggu yang istimewa.
Mereka
adalah orang gila. Yang berfikir melampau zaman. Yang membangun jalan sendiri.
Sepi. Sendiri. Tanpa harus menerima puja-puji.
Setiap
malam minggu. Disaat muda-mudi menikmati gemerlap lampu ibukota, mereka
menggelar buku. Berjejer-jejer. Persis pedagang asongan.
Entah
apa yang menjadi motivasi yang kuat hingga mereka melakukannya. Namun yang
kutahu pasti. Mereka hanya berkeinginan agar buku yang dibaca membuka tentang
dunia. Cakrawala berfikir untuk mengetahui peradaban
Kisah
tentang orang gila di Indonesia memang begitu banyak. Dia hidup disekitar kita.
Dan
berbahagialah kita yang dapat menikmati kegilaan anak muda.