Tidak
henti-hentinya riuh gemuruh Pilkada Jakarta. Hampir praktis 6 bulan terakhir
ini, degup jantung public “dipaksa” untuk mengikuti perkembangan. Mulai dari
jalanan, ruang sidang, tempat-tempat keagamaan, pasar, kerumunan massa, ruang
kopi bahkan istana. Saya bisa pastikan, Pilkada Jakarta adalah peristiwa paling
heboh di nusantara. Bahkan mengalahkan “pilres” yang ketika sidang di MK,
sedang berlangsung grand Film Akademi dangdut di sebuah televisi.
Pilkada
Jakarta juga mengumpulkan orang. Dari organisasi “abal-abal, sponsor,
organisasi keagamaan, barisan para mantan hingga para pemain lama yang sudah
waktunya mengemong cucu. Semuanya ingin bersuara dan menumpang popular dengan
blitz lampu yang terus menyala.
Pelan
tapi pasti. Ruang sidang pengadilan yang seharusnya menjadi arena
memperlihatkan bukti kemudian “dipindahkan” ke luar pengadilan. Kembali gemuruh
suara terjadi.
Tidak
cukup di ruang pengadilan, Gemuruh suara kemudian berpindah ke istana. Ketika
istana mengeluarkan keputusan, perdebatan berpindah. Di ruang akademisi yang
saling bersilang pendapat.
Dari
berbagai pendapat yang telah mengemuka, berbagai tafsiran terhadap peristiwa
pengangkatan kembali Ahok menimbulkan polemic. Menggunakan pasal yang sama namun
menimbulkan perbedaan makna. Dan akhirnya saya juga harus menuliskannya. Selain
membantu “memperkeruh” juga melihat dari sudut pandang yang lain.
Pertama.
Para ahli menggunakan penafsiran gramatikal. Sebagaimana yang telah disampaikan
oleh Zainal Arifin Mochtar, keseluruhan pakar yang memberikan tanggapannya baik
Denny Indrayana, Mahfud bahkan Refly Harunpun tidak begitu “ketat-ketat amat”.
Dalam berbagai pandangannya, mereka melompat-lompat antara penafsiran gramatika
melompat-lompat ke penafsiran historis, penafsiran sistematis. Pokoknya seru.
Kedua.
Para ahli melihat dari sudut pandang yang berbeda. Antara yang “bertahan”
dengan penafsiran gramatikal” ataupun dari penafsiran yang lain.
Ketiga.
Keinginan untuk tetap mempertahankan kursi Gubernur atau harus
“memberhentikan”.
Dari
berbagai wacana, saya tertarik yang disampaikan dari standing (posisi) yang
disampaikan oleh Erdianto Effendi (EE)
yang dimuat di Riau Pos dan kemudian dipublish di FB.
Entah
beberapa kali saya harus membolak-balik membaca tulisan agar standing dan
argumentasi yang disampaikan tidak keliru kemudian saya tanggapi. Dan ketika
saya menemukan ruang yang dilewatkan oleh (EE), maka saya kemudian ingin urun
rembug sehingga dapat memperkaya untuk membaca tulisan dari EE.
Pertama.
Dari berbagai analisa yang dipaparkan, titik tekan yang disampaikan oleh EE
tentang kategori tindak pidana berat atau ringan.
Saya harus sampaikan apresiasi kepada EE yang tetap konsisten
meletakkan tindak pidana pasal 156 A KUHP tidak dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana berat sehingga argumentasi EE kemudian mendukung pendapat dari
Refli Harun.
Kedua.
Terhadap makna “paling singkat 5 tahun” sebenarnya makna gramatikal yang sudah
tuntas baik diulas berbagai pakar maupun dari EE sendiri.
Dalam
kesempatan ini, saya tidak mempunyai preferensi untuk memaknai makna pasal 83
UU Pemda.
Namun
terhadap argumentasi yang menolak menafsirkan “paling singkat 5 tahun” sehingga
kursi Gubernur Jakarta tidak diberikan kepada Ahok yang menggelitik saya untuk
menimbrunginya.
Dari
berbagai argumentasi yang disampaikan oleh EE, ada beberapa persoalan yang
menggelitik bagi saya. Persoalan itu didasarkan kepada makna “paling singkat 5
tahun”.
Merujuk
kepada makna gramatikal, ketika kasus pembunuhan atau kasus berat lainnya
didalam KUHP sebagaimana dicontohkan oleh EE maka menimbulkan konsekwensi hukum. Apakah
kemudian tidak bisa dilakukan diberhentikan ?. Maka menggunakan makna
gramatikal “tidak bisa diberhentikan’.
Namun
hukum tidak saja berkaitan dengan asas kepastian hukum (Rechtmatigrecht). Tapi
juga mengedepankan kemanfaataan hukum (Doelmatigrecht)
Terhadap
pelaku yang melakukan tindak pidana berat sebagaimana diatur didalam KUHP dan
kemudian ditahan, maka roda pemerintahan kemudian tidak berjalan. Dari ranah
ini, maka terhadap pelaku dapat dilakukan “pemberhentian sementara’.
Bahkan
walaupun “ancamannya diatas 5 tahun” sebagaimana disyaratkan PP No. 72 tahun
2005, namun ketika Kepala Desapun yang diduga bahkan didakwa melakukan tindak
pidana dibawah 5 tahun, - misalnya
penggelapan - namun kemudian ditahan, maka proses “pemberhentian” juga
tetap dilakukan. Walaupun dengna argumentasi yang berbeda digunakan.
Sementara
itu kekeliruan menempatkan penggabungan pasal 156 KUHP dan pasal 156 A KUHP yang
kemudian menghitung 5 tahun dan kemudian ditambah 4 tahun adalah penempatan
yang kurang pas.
Didalam
melakukan penilaian terhadap terdakwa didalam proses apakah “diberhentikan atau tidak”, dalam praktek
yang digunakan adalah ancaman yang paling tinggi. Bukan kumulatif. Bukan
menggabungkan antara pasal 156 KUHP ditambah pasal 156 A KUHP.
Selain
itu juga dalam praktek pemidanaan, pada prinsipnya Indonesia tidak mengenal
Kumulatif. Didalam pasal 63 ayat (1) KUHP ditegaskan untuk menerapkan yang
paling berat. Uraian ini lebih jelas kemudian dijelaskan didalam pasal 63 KUHP
dan pasal 64 KUHP. Hanya didalam pasal 65 KUHP. Itupun didalam tindak pidana
yang berbeda genus kemudian ditambah sepertiga.
Menilik
dakwaan terhadap Ahok, maka dakwaan masih dalam genus yang sama. “Kejahatan terhadap Ketertiban umum”. Sehingga
kumulatif menggabungkan 4 tahun kemudian 5 tahun tidak bisa diterapkan
sebagaiman diatur didalam KUHP (Pasal 63 ayat (1) KUH)
Ketiga.
Walaupun standing yang digunakan oleh EE berangkat dari pasal 56 KUHAP
(kewajiban mendampingi tersangka) dan pasal 21 dan pasal 23 KUHAP (tentang
ditahannya), namun didalam paparannya kemudian tidak meletakkan proses
penahanan sebagai alas untuk “memberhentikan’.
Padahal
apabila kita menggunakan pasal 56 KUHAP disandingkan dengan pasal 21 dan pasal
23 KUHAP, maka ketika Ahok “tidak ditahan”, terhadap perbuatannya kemudian
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan berat. Sehingga standing ini justru
memperkuat “tidak perlu dilakukan pemberhentian kepada Ahok”.
Mengikuti
jejak yang telah saya sampaikan, maka saya kemudian meyakini, proses
pemberhentian terhadap Ahok tidak dapat dilakukan.
Terlepas
dari itu semuanya, tanpa lagi memperhitungkan terhadap paparan saya tentang
“Ahok dapat diberhentikan atau tidak”,
saya meyakini proses yang kemudian bergulir ke Mahkamah Agung.
Dengan
menempatkan “fatwa hukum” kepada MA, maka lagi-lagi “bola panas” dipindahkan
Jokowi. Dan apapun fatwa hukum yang diberikan oleh MA bukanlah keputusan
mengikat secara hukum.
Namun
saya berkeyakinan, fatwa hukum dapat membantu memahami kasus ini secara jernih.