Suatu Pengantar[2]
Musri Nauli[3]
Membicarakan
Jambi tidak dapat dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai Batang Hari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai
(DAS) Batanghari, yang terdiri atas beberapa sub DAS seperti Sub DAS Batang Tembesi,
Sub DAS Jujuhan, Sub DAS Batang Tebo , Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air
Hitam, Sub DAS Airdikit,
Sub DAS Banyulincir. Namun ada
juga menyebutkan Batang Asai,
Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay,
Batang Bungo, dan Batang Suliti.
Aliran Sungai Batanghari dan
anak-anak sungainya dapat dilayari sepanjang 3.224 km dengan lebar 50-65 meter.
Kedalaman alur pelayaran antara 1-10 meter. Sekitar 95 % ekspor Jambi setiap
tahunnya diangkut melalui Sungai Batanghari. Disamping itu, bahan bakar minyak.
Disamping itu, bahan bakar minyak, bahan kebutuhan dan muatan umum lainnya
diangkut dan didatangkan ke Jambi melalui Sungai Batanghari.
Daerah
Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia,
mencakup luas areal tangkapan (catchment
area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi
Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat.
DAS
Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit
Tigapuluh (TNBT). Di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay, Marga IX Koto, Marga
VII Koto dan Marga Tungkal Ulu.
Hulu
Sungai Batanghari juga berasal dari TNKS. Bermuara ke Batang Tembesi, ke Batang
Merangin, ke Batang Bungo bahkan juga mengairi batang tebo.
Muara
Sungai dari TNKS terdapat Margo Batin Pengambang, Marga Batang Asai, Datuk Nan
Tigo, Marga Bukit Bulan (Sarolangun) dan Seluruh Marga di Bangko. Termasuk juga
mengairi sungai di Marga Batin III Ulu, Marga Pelepat (Bungo).
Hulu
Sungai Batanghari juga berasal dari di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Marga
Air Hitam dan Kawasan Orang Rimba di Makekal merupakan kehidupan masyarakat
yang hulu sungai berasal dari Taman Nasional Bukit 12.
Sungai
Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak
Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang
Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.
Ada juga menyebutkan 9 hulu anak
Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang
Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat.
Sungai
kemudian dikenal dengna dialek “batang’. Sehingga Sungai Batanghari kemudian
dikenal dengan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay,
Batang Tabir, Batang Pelepat. Dan itu terpatri di “terpahat di tiang panjang
yang terlukis di bendul jati” yang bernamakan ”Sepucuk Jambi sembilan lurah”.
Keberadaan
masyarakat dengan sungai baik dilihat dari pendekatan ekonomi, politik, hukum
dan social budaya.
Sungai
adalah penanda, batas dan identitas sebagai keberadaan masyarakat di Jambi.
Dengan sungai kemudian menghubungkan antara kampong, dusun bahkan antara satu
dusun dengna dusun yang lain.
Sebagai identitas, Sungai
Batanghari telah dicatat oleh F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar[4],
didalam bukunya De Jambi, menulis “Masyarakat
hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo,
Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. Belum lagi berbagai
laporan Pemerintahan Belanda.
Berdasarkan peta Pemerintah
Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga's) schaal 1 : 750.000, Wilayah Jambi kemudian dibagi menjadi Marga[5],
Batin dan Mendapo.
Di
Jambi sendiri, penetapan Marga berdasarkan Inlandshce Gemeente Ordonatie vor
Buitengewestten (I.G.O.B) tahun 1937[6].
Ada juga menyebutkan berdasarkan
Ordonasi Desa 1906.
Didalam
dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Residentie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de
Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie
Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000,
Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke ,
Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of
The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000,
Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala
1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende
de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914,
Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi.
Berdasarkan
peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910,
maka daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo.
Marga terletak
di hulu Sungai Batanghari. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar dalam karya
klasiknya “De Djambi” menuliskannya ““di
daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan
terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai
Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian
menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu
adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir
penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar,
tukang memberi pengumuman).
Seperti Margo Batin Pengambang, Margo Batang Asai, Cerminan Nan
Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan di Merangin dikenal Luak XVI yang terdiri
dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang
Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Sanggrahan. Sedangkan Di Tebo dikenal
dengan Margo Sumay. Batanghari Margo Petajin Ulu, Margo Petajin Ilir, Margo
Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di Muara Jambi dikenal Margo Koempeh Ilir
dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal dengan Margo Toengkal ilir,
Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim dikenal Margo Berbak, Margo Dendang Sabak.
Marga (margo) menjadi
identitas yang khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun berbeda
dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor geneologis.
Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan hukum
territorial[7]
Selain Margo juga dikenal Batin[8]. Seperti Batin II Ulu, III
Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan
Batin XIV.
Batin kemudian terletak di
daerah perlindatasan jalur perdagangan. Sehingga tidak salah kemudian, batin
merupakan suku penghulu atau pendatang.
Selain
Marga dan Batin, di Kerinci dikenal Mendapo. Ulu Rozok “Kitab Tanjung Tanah”
menyebutkan “Konfederasi kampong yang disebut mendapo yang pada umumnya
terdiri atas sejumlah kampung yang berasal dari satu kampung induk masih tetap
menjadi kesatuan pemerintahan yang terbesar di Kerinci.
Setelah
kita mengenal sedikit mengenai Marga, Batin dan Mendapo, maka terhadap
masing-masing persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap) maka kemudian mengenal nama-nama sungai.
Di Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Narso,
Sungai Keradak dan Sungai Tangkui dikenal masyarakat. Sedangkan penghubung
antara Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Keradak dan Sungai Tangkui. Baik
Sungai Tangkui kecil dan Sungai Tangkui[9].
Di Marga Sungai Tenang
dikenal “anak Batang Tembesi” seperti Sungai Kandis, Sungai Lembatang, Sungai Matang
Duo[10].
Keduanya kemudian bertemu di
Batang Tembesi yang kemudian bermuara di Muara Tembesi dan menjadi Batang Hari.
Di Marga Sumay dikenal “anak
Batang Sumay” seperti Sungai Rambutan, Sungai Karang[11]
atau Sungai Menggatal di Simarantihan Talang Mamak[12].
Di Marga Pelepat selain
dikenal Batang Pelepat juga dikenal Batang Senamat[13].
Sedangkan Batang Jujuhan dikenal di
Marga Jujuhan[14]
Begitu juga di Suku
anak Dalam menyebutkan “Dari
Sungai Bulian bernama Lubuk Talang, Belukar Pinang, ke Rimbo Bulian, Penantian
Sago, Sungai Rengas, Payo rotan duduk, Pulau Selaman, meniti pematang Bayas,
Pematang Salak, Sungai Kuro Betino, Pematang Gambir, Ulu Sungai Rengas, Sungai
Pematung Bedarah, Bukit Tembesu, Jebak dan Sungai Rengas Ii, Muara Pelajo
Bujang, Hutan Sago, Tanggeris Jangga, Sungai Pandan, Bakal Ruyung, Ibul
Genting, Tayas Bungkuk, Serdan, Patal, Mengala, Sei Badak, Sei Lalan Lubuk
Udang, Lubuk Tadau, Merkandang, Bayas Gantung, Kendi, Danau Masuli, Mendak,
Penukal, Sei Hantu dan Lubuk Belang, Kesemuanya ini di sebut tanah watas Suku
Anak Dalam dari cucu Raden Nagasari.
Sehingga bertempat tinggal di
Sungai Bahar, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Bulian / Semak, Sungai
Sekisak (Si Lisak), Sungai Sekamis, Sungai Burung Hantu (Sungai Pemayung),
Sungai Penerokan dan Sungai Merkanding.
Begitu juga dengan Kelompok
Pengendum yang tidak dapat dilepaskan dari Sungai Kejasung (baik Kejasung Besar
maupun Kejasung Kecil), Sungai Makekal (Makekal Ulu dan Makelal Hilir)[15].
Pengendum tidak dapat dilepaskan dari kisah heroic dan kemudian difilmkan
dengan judul “Butet”. Film yang mengisahkan guru pendamping SAD di Bukit 12.
Butet juga meraih Penghargaan Roman Magsaysay Award 2014
Penghormatan terhadap sungai
ditandai dengan menjaga yang ditandai dengan istilah “Kepala sauk”. “Kepala
sauk” tidak boleh dibuka yang dikenal sebagai “pantang larang”. Sehingga yang
dilanggar mendapatkan sanksi “sanksi Guling Batang berupa Kambing sekok,
beras 20 gantang, kelapa, selemak semanis[16].
Bahkan Sultan Thaha Saifuddin
berhasil menyerbu markas Belanda di Muaro Kumpeh. Pasukan Belanda dan
dibawah pimpinan Mayor Van Langen kemudian dikalahkan. Walaupun Belanda
didukung oleh 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25
September 1858[17].
Sungai
Kumpeh juga merupakan Sungai yang menghubungkan antara Marga Kumpeh Hilir,
Marga Kumpeh Ulu dan Marga Jebus[18].
Belanda juga menggunakan Sungai Batanghari
kemudian mengejar Sultan Thaha dan kemudian mengepung sehingga Sultan Thaha
Saifuddin tertembak tahun 1904[19].
Sungai adalah identitas dan penanda. Didalam
penyebutan nama-nama tempat dan kewilayahan (tata ruang) yang biasa disebut
“Tembo[20]”
sering diungkapkan seperti “dari ulu
sungai..”. Atau “Melayang sungai.. “.
Kata-kata “dari” sungai..” adalah
penanda batas wilayah. Sedangkan “melayang”
diartikan sebagai “menyeberang”
sungai. Sehingga nama sungai disebutkan maka sungai yang disebutkan termasuk
kedalam wilayah dusun yang disebutkan didalam tembo.
Sungai sebagai identitas dan penunjuk arah, Arah
matahari hidup ditandai
dengan istilah “matahari hidup” dan “matahari mati”. Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan
ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan
toman”[21].
Sedangkan Muara air sungai ke “arah
matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[22].
Sebagai identitas, jalur sungai merupakan
jalur migrasi masyarakat yang kemudian melintasi berbagai lintasan Propinsi.
Misalnya Orang
Sungai Ipuh mengaku sebagai “keturunan Serampas”. Puyang mereka berasal dari
Serampas dan kemudian mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh[23].
Sedangkan Serampas sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak[24]’.
Dalam hubungan kekerabatan,
Orang Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan dalam Marga 5 Koto. Marga
5 Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo, Tras
Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi
tempat dan bernama Penarik.
Sebagai pendatang, Orang
Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[25].
Raja di Muko-muko kemudian memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan
Sungai Ipuh didalam Marga 5 Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam
Sungai Ipuh kemudian 3 kaum yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam
Dan Suka Rajo.
Cerita rakyat (Tembo) yang
terdapat di Marga Sumay yang mengaku berasal dari keturunan “Datuk Perpatih
Penyiang Rantau”. Berakit kulim
bertimbo lokar[26]
menuju batang sumay, dan selama satu bulan mengarungi sungai bulan hingga ke
lubuk sungai bulan,dan dinamakanlah daerah lubuk yang disinggahi tersebut
dengan dusun muaro bulan dan sungai tersebut dengan sungai bulan karena datuk
patih menyusuri sungai tersebut selama 1 bulan untuk menuju ke desa
pemayungan(sekarang)[27]
Sebagai identitas, Penamaan Sungai juga
ditandai dengan nama tempat Desa. Seperti Sungai Pinang, SUngai Arang, Sungai
Kerjan, Sungai Mengkuang, Sungai Binjai (Bungo), Sungai Keruh, Sungai Rambai,
Sungai Jernih (Tebo), Sungai Rengas, Sungai Terap, Sungai Aur, Sungai Bungur, Sungai Bahar, Sungai Gelam, Sungai Bertam
(Muara Jambi), Sungai Manau, Sungai Lisai[28],
Sungai Putih (Bangko)
Sungai
merupakan “urat nadi” perekonomian. Merupakan jalur perdagangan yang digunakan
hingga akhir tahun 1990-an sebelum illegal logging marak dengan kemudian
menyebabkan pendangkalan Sungai Batanghari.
Selain
itu pergeseran kebijakan orde baru yang memindahkan jalur sungai ke jalan raya
dalam distribusi ekonomi menyebabkan pergeseran pola perpindahan penduduk dari
Sungai menjadi bermukim di pinggir Jalan.
“Jejak”
Sungai masih dilihat dengan menyusuri perjalanan sungai Batanghari. Setiap desa
yang berada di pinggir sungai terdapat dusun-dusun tua yang ditandai dengan
rumah-rumah panggung.
Melihat
rangkaian yang telah diuraikan maka terbukti sungai merupakan “identitas” dan
“jalur ekonomi” dan menghubungkan antara desa satu dengan desa lain maupun
antara satu marga dengan marga yang lain.
[1] Disampaikan pada Diskusi “Sungai dan Sejarah Sumatera
– Perspektif Sejarah, Arkeologi dan Lingkungan”, Jambi , 20 Februari 2017
[2] Saya hanya punya background Ilmu hukum. Tetapi
tematik sungai menarik perhatian saya ketika saya menggali sejarah keberadaan
masyarakat yang selalu menyebutkan kewilayahan (tata ruang) dengan sungai. Dan
itu membuat saya kemudian menggali dan melihat kontur dari kehidupan
masyarakat. Namun belum dilakukan lebih
dalam penggalian terhadap hubungan sungai dengna keberadaan masyarakat. Oleh
karena itu saya hanya berani memberikan subjudul dengan kata “Suatu Pengantar”
[3] Advokat, tinggal di Jambi
[4] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938
[5] Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang
pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi
ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas
yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah
hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi
di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan
beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas
Indonesia yang kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S.
Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[6] Budihardjo,
Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi, 2001
[7] Sebagai factor pertumbuhan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) sebagai faktor territorial, maka masyarakat Melayu
Jambi terbuka dengan kedatangan penduduk. Ujaran sepertinya Tanjung Paku batang
belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang
lain dipatenggangkan, melambangkan
mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka dengan pendatang.
Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa”
[8] Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig
Genootschap” disebutkan in het batin gebied staan de woningen in de doesoen. Dengan demikian, maka Batin terdiri dari beberapa
Dusun. Sedangkan Cerita di masyarakat,
arti kata “batin”
berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar untuk pembagian
Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay. Dengan menggunakan kata “Batin”, maka ada
12 dusun asal (dusun Tua) sebagai bagian dari Marga Sumay. Sehingga Dusun
didalam Marga Sumay terdiri dari Pemayungan, Semambu, Muara Sekalo, Suo-suo,
Semerantihan, Tua Sumay, Teluk Singkawang, Teliti, Punti Kalo, Teluk Langkap,
Tambon Arang dan Bedaro Rampak. Begitu juga Batin III Ulu yang terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo. Muara
Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
[9] Pertemuan di Desa Muara Air Duo, Sarolangun, 23 Maret
2013
[10] Pertemuan di Desa Tanjung Alam, Merangin, 19 Juni2
1011
[11] Pertemuan di Desa Pemayungan, Tebo, 26 Desember 2012
[12] Pertemuan di Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, Tebo,
1 Oktober 2016
[13] Pertemuan di Desa Senamat, 19 Agustus 2016
[14] Pertemuan di Desa Rantau Panjang, 26 Agustus 2016
[15] JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA
- Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak Atas Sumber Daya Hutan
Di Bukit 12 Jambi – Laporan Orang Rimba – KOPER HAM, 2006. Laporan ini telah
disampaikan ke KOMNAS HAM dan KOMNAS HAM kemudian telah memuat 12 Pelanggaran
HAM di Bukit 12.
[16] Peraturan Desa di Marga Batin Pengambang, 28 Juli
2013
[17] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya
Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
[18] Marga Jebus kemudian tertinggal menjadi Desa Jebus
dan termasuk kedalam Kecamatan Kumpeh Hiilir
[19] Elsbeth Locher-Scholten,
Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907),
hlm.135
[20] Tambo berasal dari
bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam
tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun
yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga
bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo
Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”,
penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan
batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo
maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan
kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan
sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan
masih terlihat sampai sekarang.
[21] Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei
2015
[22] Sungai Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
[23] Ibid.
[24] Saya menafsirkan orang lembak sebagai padanan kata “Lembah’.
Atau orang yang berada di lembah. Atau orang yang tinggal di daerah bawah.
[25] “MenghadapTuanku Rajo” adalah perumpamaan penghormatan
terhadap Raja di Muko-muko. Istilah ini sering ditemukan di berbagai desa
didalam Marga Sungai Tenang.
[26] “Berakit” artinya naik rakit
[27] Wawancara Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan
Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
[28]Khusus Sungai Lisai adalah dusun yang terletak di
Pungguk 9 Marga Sungai Tenang, Bangko. Namun karena akses yang cukup jauh
dengna Muara Madras maka kemudian dimasukkan ke Kecamatan Pinang Belapis,
Lebong, Bengkulu.