Waduh.. Ngapo
pula jadi Direktur Walhi Jambi.. Kayak kurang gawe-an be. Rudinya mano ? ”. Itu
ujar istriku ketika membaca surat keputusan PDLH LB Walhi Jambi yang menetapkan
sebagai Direktur Walhi Jambi. Surat keputusan “tergeletak” di dashboard mobil.
Aku cuma
terdiam. Tidak perlu memberikan penjelasan mengapa kemudian mengambil pilihan
menjadi Direktur Walhi Jambi. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dielakkan tahun
2012.
Complain
istrikupun berlanjut. Waktu yang kurang didalam keluarga sering disindir “tuh
khan. Apo kubilang”.
Ya. Itulah
“pertempuran” didalam keluarga ketika saat menerima sebagai Direktur Walhi.
Apabila banyak yang menyukuri menerima anugerah memegang amanah, maka aku cuma
ucapkan ““Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun". Makna ““Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun"” teringat
dengan Kisah sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin khatab.
Makna ““Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun" tidak semata-mata ketika
mendapatkan kabar duka. Umar bin Khatab yang ditunjuk sebagai Khalifah pada
dinasti Bani Umayyah lebih memilih “seribu perang” daripada ditunjuk menjadi
pemimpin dari kejayaan Bani Umayyah. Bahkan Umar bin Khatab kemudian membacakan
Surat Yunus : 15 “Sesungguhnya aku
benar-benar takut akan adzab hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai
Tuhanku.”
Pelan tapi pasti, berbagai tantangan
“menahkodai” kapal induk Walhi (meminjam istilah teman-teman di Eknas) memulai
tantangan menuju samudra yang luas.
Persoalan managemen, keuangan, tata
organisasi “lebih diutamakan” sebelum keluar kandang. Bersama-sama dengan Dewan
daerah Walhi Jambi (semacam parlemen didalam sistem Negara) kemudian
“memastikan” Walhi menjadi organisasi transparan, akuntabilitas.
Pergumulan 3 bulan kemudian “memaksa”
saya harus berkonsentrasi didalam internal.
Dalam strategi perang, sebelum “menyerang”
pertahanan lawan, pasukan harus dipersiapkan dengan baik. Saya kemudian teringat
dengan Filsafat klasik Tiongkok. ‘Karena
kurang satu paku, tapal kuda terlepas, karena terlepas kuda tak dapat jalan,
karena kuda tak dapat jalan pesan tak sampai terkirim, karena pesan tak sampai
terkirim, maka kalah perang!’
Dalam tiga bulan pertama, lahirnya Jaringan
Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ). Sebuah ormas yang merupakan keinginan lama yang
belum tertunaikan. JMGJ kemudian mewarnai wacana gambut yang semula dikuasai
akademisi. JMGJ didalam komunitas Gambut pantai Timur Sumatera kemudian menjadi
bagian penting dari advokasi dan konsentrasi kawasan gambut. Menutupi akhir
periode saya, Gambut kemudian menjadi wacana “tanding’. Meminjam istilah Bu Dir
Yaya Nurhayati, “Guru kampus harus belajar dari guru kampung’.
Belum selesai menata internal Walhi Jambi,
saya kemudian dikabarkan “tertangkapnya” Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat
(Sadat) pada akhir Januari 2013. Rapat sebentar, gas mobil kupacu ke Palembang.
Saya harus “menyediakan” diri baik sebagai Advokat maupun dukungan moril
sebagai sesama Direktur Walhi.
Dukungan ini penting diberikan selain
“memastikan” kehadiran fisik di Palembang juga sebagai “jembatan” mendapatkan
informasi dan memberikan kabar kepada Jakarta.
Kedatangan saya jam 8 pagi kemudian
“berhasil” mengusir intel Polisi yang lalu lalang keluar masuk di Kantor Walhi
Sumsel. Sekaligus memberikan dukungan dan mempersiapkan berbagai strategi
menghadapi beban moril yang dirasakan teman-teman di Sumsel. Jam 1 siang
barulah saya kemudian menemui Sadat baik memastikan proses hukum yang
didampingi maupun menemani Ketua Abetnego yang turun langsung memberikan
dukungan organisasi. Beberapa hari kemudian teman-teman Direktur Walhi
sesumbagsel kemudian “bezuk” Sadat. 6 bulan kemudian waktu saya tersita harus
mutar-mutar Jambi – Palembang hingga vonis hakim.
Memasuki Februari 2013, APP sebagai meluncurkan
komitmentnya yang kemudian dikenal Forest Policy commitment. APP merupakan “raksasa”
pulp and paper di Jambi. Dengan luas konsensi 293 ribu hektar (10 % wilayah
kawasan hutan), meliputi 5 kabupaten dan mencakup 120 desa, menempatkan APP
sebagai salah satu korporasi penyumbang konflik di Jambi.
Sebagaimana yang
telah menjadi agenda nasional Walhi, maka posisi Walhi jelas. Pertama. Sebagai
host konsolidasi CSO's. Kedua. Media pressure di tingkat Nasional. Ketiga.
Sebagai konsolidasi data dan informasi. Dan keempat. Memberikan dukungan kerja
di lapangan.
Berangkat dari posisi
yang telah dibicarakan dan ditentukan di Nasional, maka Walhi Jambi menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Untuk membuktikan komittmen dan sikap Walhi
Jambi, maka dalam forum telah disampaikan. Walhi Jambi tidak masuk kedalam sistem
baik dalam tahap implementasi kommitment maupun dalam tahap monitoring terhadap
proses yang tengah berlangsung.
Walhi Jambi kemudian
memilih berdiri bersama-sama dengan masyarakat korban. Saya kemudian
menggunakan istilah OUTSIDERS”. Sebuah pilihan strategis di tengah keniscayaan
advokasi HTI.
Issu Restorasi Ekosistem kemudian memantik
perlawanan. Mandat dari masyarakat Pemayungan, Tebo kemudian membuat sikap saya
kemudian menjadi standing Walhi Jambi. Didalam melihat restorasi ekosistem saya
kemudian menempatkan dua nilai penting Walhi yang tidak dapat dipisahkan.
Nilai-nilai “akses ruang kelola” dan keberlanjutan menempatkan Walhi memandang
ekosistem satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dari ranah inilah yang membuat saya memandang
Walhi sebagai organisasi advokasi lingkungan hidup. Menjadi bagian dari
ekosistem yang tetap bekerja di tapak. Di tengah rakyat.
Pergumulan panjang yang kemudian meyakini
saya. Kita harus belajar di tengah dan dari masyarakat. Sebuah sikap kukuh
didalam “menari-nari” antara tarikan konsep konservasi dan advokasi. Prinsip
inilah yang kemudian menempatkan saya menjadi pisau analisis yang tajam
memandang persoalan lingkungna hidup.
Tahun 2013 kemudian “memaksa” saya langsung
berhadapan dengan advokasi kebakaran. Entah memang “pandir’, Pemerintah terlalu
“lemah” menghadapi persoalan kebakaran. Kebakaran tahun 2013 terus diperparah
tahun 2014 bahkan tahun 2015. Sehingga tidak salah kemudian, Walhi memandang
Negara telah gagal menjaga lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebuah hak
atas lingkungan yang telah diatur didalam konstitusi.
Kebakaran tahun 2013 kemudian menempatkan
Walhi Jambi dan Walhi Riau meminta tanggungjawab Negara melalui mekanisme
perbuatan melawan hukum Negara (onrecht
maatigoverdaad). Dan menggugat Presiden cs di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Di saat bersamaan, KPK “wara-wiri” untuk
menata kehutanan Indonesia melalui konsep “koordinasi dan supervise”. Dimulai
dari Penatagunaan kawasan hutan dilanjutkan “tata kelola tambang” dan kemudian
sector sawit.
Dari hasil korsup KPK kemudian saya menjadi
tercengang. Kekayaan Indonesia yang sering disebutkan didalam seloko Jambi
“Padi menjadi, Rumput hijau. Airnya jernih. Ikannya jinak. Kerbonya gepuk. Ke
aek cemeti keno. Ke durian gugu” atau didalam istilah Jawa “gemah ripah loh
jinawi. tata tentram kerto raharjo” kemudian hanya dinikmati segelintir orang.
Belum lagi kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dalam satu
generasi.
Memasuki tahun 2014, suasana pilpres tidak
dapat dihindarkan. Berbagai izin yang diberikan menjelang akhir pemerintahan
SBY membuat Indonesia kehilangan hutan 10,5 juta hektar. Belum lagi ditambah
berbagai bencana seperti longsor, kebanjiran yang melengkapi kebakaran dan
menutupi sumatera dan Kalimantan.
Berbagai polemic kemudian menempatkan saya di
pertemuan dan membawa Walhi Jambi dalam berbagai issu yang terus dikawal
berkejaran waktu menyelamatkan hutan yang tersisa. Dari kesempatan ini kemudian
saya menemukan problema penting. Indonesia terlalu “rakus” mengeruk sumber daya
alam. SDA masih ditempatkan sebagai komoditas ekonomi. Bukan asset yang
menopang ekonomi. Sekali lagi saya kemudian belajar ditengah masyarakat ketika
didalam forum evaluasi hutan Desa yang telah berjalan 4 tahun.
Pada kesempatan lain, saya bersama-sama
dengan berbagai teman-teman jaringan berhasil memetakan konflik dalam peta
Jambi. Peta konflik kemudian menjadi pijakan saya didalam melihat Jambi dari
sudut yang lain.
Tahun 2014 kemudian lahir organisasi tani.
Serikat Tani Tebo sebagai bentuk perlawanan masyarakat berhadapan dengan
perusahaan yang merampas tanahnya.
Tahun 2015 dilalui dengan tewasnya pejuang
Tani dari Serikat Tani Tebo (STT). Indra Pelani. Duka yang menghinggapi Walhi
Jambi masih dirasakan. Praktis selama setahun lebih, saya kemudian membongkar
berbagai praktek penyimpangan di lapangan oleh PT. WKS. Catatan ini kemudian
saya tuliskan didalam buku “Konflik HTI”.
Dengan beban begitu berat, tahun 2015 juga
dialami kebakaran yang paling parah sejarah Republik ini berdiri. Titik api yang
merata di berbagai izin perusahaan kemudian menghanguskan 2 juta hektar. 135
ribu di Jambi. Sebuah pelajaran pahit oleh alam didalam mengelola hutan yang
tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Indonesia kemudian “meriang’. Indonesia
kemudian menangis. Bumi pertiwi yang tidak dirawat kemudian memberikan “alarm”
akan pentingnya “bumi untuk bernafas’.
Tahun 2015, Walhi Jambi mengeluarkan Laporan Indeks
Lingkungan Hidup Jambi. Dengan menggunakan instrument hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagaimana dirumuskan didalam konstitusi, daya dukung dan
daya tampung, menggunakan scientific dan pengetahuan masyarakat, maka mutu
lingkungan hidup di Jambi mengalami penurunan. Baik disebabkan dari laju
kerusakan hutan (deforestrasi), berkurangnya tutupan hutan, beralihnya lahan
pertanian menjadi tambang, bahkan kehilangan biodiversity sebagai kekayaan
local.
Nama-nama tempat ikan seperti
Danau Sirih, Lopak Besar, Lubuk Ketapang sekarang hancur sehingga tidak bisa
dijadikan tempat sarang ikan-ikan. Bibit padi local kemudian hilang. Bahkan
periode banjir tidak lagi dapat ditentukan sehingga mengganggu tahun tanam dan
menyebabkan gagal panen (fuso).
Dengan daya rusak dan
menyebabkan mutu lingkungna hidup semakin menurun sehingga kebakaran tahun 2015
menyebabkan tinggal 27%. Kebakaran meninggalkan “warisan” bibit lumpuh yang
diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Tahun 2015 diakhiri dengan
Pilkada Gubernur Jambi yang memberikan catatan penting pengelolaan kehutanan di
Jambi.
Tahun 2016, issu gambut kemudian mewarnai
wacana tanding di Indonesia. Dengan kebakaran di areal gambut kemudian
mengajarkan, pengelolaan gambut tidak dibenarkan untuk aktivitas perkebunan
baik sawit maupun HTI. Sebuah pelajaran dari alam terhadap keangkuhan manusia
yang masih menempatkan gambut sebagai komoditas ekonomi semata.
Namun disatu sisi, keangkuhan maupun sikap
hipokrit dari Negara kemudian melupakan “actor” kebakaran namun kemudian
terjebak dengan urusan “restorasi gambut” yang ditandai dengan Badan Restorasi Gambut.
Padahal berbagai peraturan masih menempatkan gambut yang masih dikelola dengan
format “gambut budidaya’.
Tahun 2016 selain terjadinya suksesi
kepempinan nasional Walhi juga mempersiapkan diri mengakhiri periode Walhi. Perjalanan
panjang menyusuri berbagai tempat kemudian mengajarkan saya tentang tatacara
pengelolaan hutan oleh rakyat. Dan pelajaran itu kemudian membekas saya. Saya
kemudian tetap meyakini. Inisiatif-inisiatif local didalam pengelolaan
lingkungan tetap berpihak kepada rakyat.
Tentu perjalanan 4 tahun memberikan makna
tentang alam, hutan, lingkungan, gambut dari pergumulan praktis yang saya
lalui.
Sebuah “master piece” yang paling berharga
saya lalui di Walhi.
Terima kasih atas semuanya.
Baca : REFLEKSI 1 TAHUN (1) dan CATATAN TERCECER PDLH V WALHI JAMBI - Dari Simbol menjadi mainstream
Dimuat di Jambipos-online, 3 Maret 2017
http://www.jambipos-online.com/2017/03/4-tahun-belajar-lingkungan.html