Banyak yang
belum paham dengan gaya kepemimpinan Jokowi. Entah memang melihat gaya Jokowi
diluar pakem atau belum memahami latar belakang Jokowi didalam memimpin sebuah
Pemerintahan.
Simbol seperti
“naik pesawat pakai sarung”, “latihan memanah”, “gaya cengar-cengir” menghadapi
issu penyadapan maupun berbagai symbol-simbol yang susah dimengerti.
Tentu saja
banyak teori yang bisa menjelaskan gaya kepempinan. Didalam teori didalam buku
klasik kepempinan yang biasanya bertebaran di berbagai organisasi maupun hasil
dari diskusi para pemberi materi. Maupun dari berbagai literature yang mudah
didapatkan di berbagai kampus, toko buku dan toko loakan.
Gaya
kepemimpinan Otoriter
(Authoritarian), Demokratis, Laissez Faire atau kepemimpinan dilihat
dari kepribadian seperti Karismatik,
Diplomatis, Otoriter, Moralis dapat
ditemukan berbagai literature.
Namun berbeda
dengan berbagai Negara lain yang cukup tertib mengikuti mashab kepemimpinan dan
cukup ketat dengan mashab. Di Indonesia, berbagai literature barat sulit
mencari padanan dengna gaya kepemimpinan. Gaya Soekarno, gaya Soeharto, gaya
Gusdur, Gaya Megawati bisa dilacak dari pola relasi para pemimpin dengan
rakyat. Sedangkan Gaya Habibie dan gaya SBY lebih mudah dilacak dari literature
yang berkaitan dengan “public speaking”.
Belum lagi
apabila kita memotret bagaimana cukup berpengaruhnya tokoh masyarakat, tokoh
agama didalam struktur informal di tengah masyarakat. Pola relasi ini lebih
rumit, tersirat dan sepi dari pengamatan.
Saya kemudian
mencari relasi antara yang dilakukan dengan para pemimpin dengan tindakannya.
Dari tindakannya kemudian saya akan mengkalkulasikan alam pikiran, rekam
jejaknya hingga tindakan yang dilakukan.
Tentu saja
catatan ini cuma sekedar catatan ringan. Masih diperlukan analisis yang
mendalam sehingga dapat digunakan sebagai “pisau bedah” sehingga dapat menjawab
dan memperkaya pola kepemimpinan di Indonesia.
Rekam jejak
Untuk memahami
alam pikiran pemimpin, salah satu pisau analisis yang sering saya gunakan
adalah rekam jejak dari sang pemimpin.
Latar belakang
kehidupan, masa kecil, pengalaman pahit, kehidupan social, bacaan, pengaruh
dominan didalam mengambil keputusan, orientasi agama maupun orientasi politik
hingga pandangan-pandangan kosmologi yang mempengaruhi pemimpin mengambil
keputusan.
Caranya cukup
mudah. Setiap perkataan dari pemimpin adalah symbol dari pola pemikiran. Baik
disampaikan dari pidato-pidato, melalui visi misi sang calon, cara
menyelesaikan persoalan. Ditambah dengan kemajuan zaman, setiap kalimat baik di
media social maupun tulisan dari berbagai tokoh yang pernah berdekatan dengan
sang pemimpin.
Penggunaan
kalimat dari pemimpin adalah orientasi dari pola kepemimpinan yang sudah diramu
dari rekam jejak. Dengan kalimat itulah, maka kemudian kita bisa menggali latar
belakang sebelum diambil keputusan sehingga dapat mengambil kesimpulan dari
pemikiran pemimpin.
Karakter gaya
kepemimpinan Jokowi, Ahok, Gusdur, SBY, Megawati hingga tokoh-tokoh masyarakat
di daerah dapat menjawab berbagai ramuan dari rekam jejak sang pemimpin.
Untuk memotret
catatan itulah kemudian saya mencoba melihat dengan berbagai peristiwa hingga
menempatkan pemimpin dari pola relasi.
Soeharto
sering menggunakan symbol dalam cerita
di pewayangan. Istilah “lengser keprabon. Madeg pandito ratu” lebih
melambangkan sikap seorang Raja Mataram dalam prosesi suksesi yang turun tahta
dan kemudian pilihan menyepi menjadi pertapa.
Lengser artinya mundur, menyingkir, pindah. Sedangkan keprabon dari kata prabu, yang artinya pemimpin, Namun dalam konsep
lain, Keprabon lebih sering diartikan dengan kebijaksanaan, kejujuran,
keluhuran yang biasanya ditempatkan dalam tubuh resi (Brahmana).
Sedangkan “madeg
pandito ratu” adalah symbol resi yang memberikan nasehat bijaksana kepada
penghuni kerajaan apabila adanya kisruh yang terjadi. Dengan demikian maka
“lengser keprabon” menempatkan Raja yang mengambil pilihan untuk mundur dari
hiruk pikuk dunia dan menyepi.
Simbol ini
kemudian disampaikan oleh Seoeharto ketika didesak mundur paska huru-hara
social menjelang kejatuhannya.
Jokowi juga
menggunakan symbol-simbol Jawa. Namun berbeda dengan Soeharto menggunakan
symbol dan menempatkan diri sebagai Raja Mataram, symbol-simbol kosmologi Jawa
juga digunakan oleh Jokowi lebih dekat dengan pola kepemimpinan dalam kosmologi
kepemimpinan rakyat kebanyakan. Dengan kata lain, cara kepemimpinan Jokowi juga
diajarkan para pinisepuh dan ajaran di tengah masyarakat.
Lihatlah status
di FB Jokowi didalam menyelesaikan persoalan KPK-Polri, Simbol-simbol seperti “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening
Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa
dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar..
Makna ini dapat ujaran 10 kebijaksanaan dari
Sunan Kalijaga (Raden Said). Penyebar Islam di Jawa yang “memasukkan” unsur
wayang didalam menyebar Islam. Hingga kini 10 kebijaksanaan masih hidup didalam
mitologi Jawa.
Sedangkan untuk
memahami gaya kepemimpinan Ahok dapat dilihat didalam teori Sun Tzu. Teori
klasik yang di hidup di Tiongkok. Sun Tzu kemudian dikenal sebagai ahli perang Tiongkok kuno. Teori
klasik yang masih hidup dan sering digunakan dalam strategi militer. Dalam alam
kosmologi Tiongkok sering disebutkan “Hanya
ada 36 Strategi di bawah langit".
Lihatlah
bagaimana Ahok memancing “tokoh” terkenal didalam menyelesaikan Tanah Abang
atau Kalijodo. Sang Tokoh kemudian keluar dan kemudian dipukul oleh Ahok. Cara ini biasa dikenal strategi “Kagetkan
ular dengan memukul rumput di sekitarnya”
Sedangkan Gusdur
yang besar di tradisi pesantren mempengaruhi cara pemikirannya. Berbagai
wawancara membuktikan, Gusdur sangat patuh dengan “kiyai” dan menghormati
tradisi pesantren yang meletakkan Kiyai sebagai orang yang sangat dihormati
setelah orang tua.
Gus Dur yang
pernah mengikuti pengajian KH Fattah (Mualim Tambakberas, Jombang) dan KH CHUDLORI. Dia
pernah nyantri
di Ponpes Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, asuhan KH Ali Ma'shum. Dia juga
pernah nyantri
di Ponpes API, Tegalrejo, Magelang, asuhan KH Khudlori dan Ponpes Sarang di
Rembang asuhan KH Zubair.
Belum
lagi Gusdur dikelilingi Kiyai Chaos seperti
KH ABDULLAH ABBAS, KH
Muslim Rifa'i Imampuro (Mbah Liem), KH
ILYAS RUHIYAT, KH CHUDLORI, KH ABDULLAH FAQIH.
Ditambah pengembaraanya ke Kairo dan Eropa membuat
pemikiran dan tindakan Gusdur tidak bisa dilepaskan dengan cara pandang
“nahdiyin” sekaligus terbuka dengan gagasan modern. Sehingga Gusdur kemudian lekat dengan
kemanusiaan, toleransi dan pluralism.
Sedangkan mitologi yang hidup di tengah masyarakat
mempengaruhi cara pemimpin local memimpin.
Di alam pemikiran Melayu Jambi, pemimpin kemudian
ditempatkan sebagai symbol pohon beringin. Seloko “Pohon gedang di tengah dusun. pohonnya rindang. Akar tempat besilo.
Dihormati “didahulukan selangkah.
Dilebihkan sekato. Atau “tempat pegi
betanyo. Tempat balek becerito”. Yang berhak untuk memutih
menghitamkam, Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek.
Penghormatan kepada pemimpin
disebutkan “Alam sekato Rajo, Negeri
sekato Bathin. Atau Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato
Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Alam juga mengabarkan
pemimpin yang lalim sebagaimana ujaran “Rajo
alim, Rajo disembah, Rajo lalim, Rajo disanggah”. Jatuh
dipemanjat. Jatuh
di perenang
Dan pemimpin yang baik dapat
dilihat “negeri aman padi menjadi, airnyo
bening ikannyo jinak, rumput mudo kebaunyo gepuk, bumi senang padi menjadi,
padi masak rumpit mengupih, timun mengurak bungo tebu, menyintak ruas terung
ayun mengayun, cabe bagai bintang timur, keayek titik keno, kedarat durian
guguu.
Begitu juga
dengan alam pemikiran berbagai daerah. Hubungan batin antara pemimpin dengan
pola relasi dengan masyarakat juga menggambarkan pemikiran dan tindakan dari
pemimpin.
Tentu saja
masih banyak cerita dari berbagai daerah yang bisa kita ketengahan untuk
memotret gaya kepemimpinan. Dengan memotret berbagai ramuan dengan mudah kita
bisa memahami karakter dan gaya kepemimpinan.
Inilah yang
memperkaya pengetahuan tentang kepemimpinan di Indonesia. Sehingga tidak salah
kemudian saya lebih suka memberikan makna “rasa
Indonesia” didalam melihat gaya kepemimpinan di Indonesia.