Ketika
mendapatkan kabar Dr Helmi menjadi Dekan Fakultas Hukum UNJA maka teringat
kenangan 13 tahun yang lalu. Seorang mahasiswa angkatan 90-an Fakultas Hukum
UNJA yang baru selesai ujian skripsi.
Suasana
heboh pada saat itu bukan karena adanya mahasiswa Fakultas Hukum yang “teng”
selesai kuliah sesuai waktunya, tapi suasana “kisruh” adanya pergantian
kurikulum dan mengakibatkan mahasiswa yang telat kemudian harus menyesuaikan
beberapa matakuliah. Sehingga terdapat “mahasiswa” yang mengalami keterlambatan
menyelesaikan mata kuliah karena harus mengambil matakuliah. Saya kemudian
masuk dari barisannya.
Di
saat bersamaan, saya kemudian mulai aktif
di jalanan. Suasana “heroic” menjelang kejatuhan Soeharto lebih “menggembirakan”
daripada mengikuti kuliah. Apalagi bacaan kiri yang menginspirasi, teori-teori
social yang menarik perhatian hingga “suasana jalanan” yang membuat saya larut
dan tenggelam dalam hiruk-pikuk aksi-aksi di berbagai kota di Jawa. Belum lagi “hipnotis” buku “Sekolah itu
Candu” yang membuat ada semangat untuk membakar ijazah dan belajar dari
lapangan. Praktis, pergumulan saya di kampus mengikuti kuliah tanpa mengikuti
perkembangan di kampus. Hampir 3 tahun suasana heroic itu saya rasakan dan
sedikit melupakan untuk menyelesaikan kuliah.
Menjelang
akhir “batas waktu” kuliah, saya dan beberapa orang dikumpulkan oleh Dekan
Fakultas Hukum, Prof. Rozali Abdullah. Kami diperingatkan dengan “tenggang
waktu” untuk menyelesaikan skripsi. Selain itu sebagai “Bapak”, Prof Rozali
mempertanyakan, apa kesulitan sehingga belum dapat menyelesaikan studi.
Atas
anjuran dari orang tua saya dan ditambah sikap “ngemong” Prof Rozali, saya
kemudian menyiapkan waktu 3 bulan untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan
skripsi. 2 minggu menjelang tenggat waktu, skripsi kemudian diselesaikan dan
dipertahankan di ujian skripsi.
Setelah
itu Praktis kemudian saya lebih banyak terlibat kegiatan diluar kampus. TIdak
ada lagi halangan waktu mengurusi kampus membuat saya kemudian membenamkan di
tengah masyarakat.
Di
berbagai komunitas, saya bertemu dengan Fauzi Syam yang membidani PSHK-ODA,
sebuah LSM yang konsentrasi kajian terhadap otonomi daerah. Tema yang cukup
hangat dan dikuasai oleh teman-teman kampus. Interaksi dengan Fauzi Syam,
Sudirman dan Helmi kemudian membuat saya lebih nyaman. Selain langsung bertemu
“Mentor’ Fauzi Syam dan Sudirman sebagai Dosen yang mengasuh saya waktu kuliah,
paska Fauzi Syam dan Sudirman yang kemudian memilih masuk birokrat kemudian
digantikan Helmi membuat interaksi semakin sering didalam berbagai pertemuan.
Dalam
interaksi baik sesame mahasiswa maupun diluar kampus, pemikiran Dr. Helmi
sangat runut, sistematis dan jernih. Khas akademisi yang ketat berpihak kepada
dalil-dalil hukum.
Berseberangan
dengan saya yang memilih berada di lapisan masyarakat dan kritis memandang
hukum. Dari ranah ini tidak menghilangkan sikap seorang teman baik dalam
interaksi menghargai pemikiran maupun sebagai teman kuliah.
Pertarungan
pemikiran saya dengan Dr. Helmi pernah dimuat media massa local Jambi Ekspress tanggal 4 Mei
2006 memuat opini ‘PENANGANAN PELAKU KAYU ILLEGAL. Waktu itu saya
mengkritik pemikiran Dr. Helmi yang masih menempatkan “barang bukti” dalam
kasus illegal logging harus dirampas oleh Negara.
Padahal
terlepas dari semangat UU Kehutanan yang berkeinginan untuk merampas barang
bukti dalam kasus illegal logging, saya mengutip putusan No. 021/PUU –III/2005 tentang
Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 terhadap UUD Tahun 1945.
Didalam putusanya, MK menyatakan
bahwa berdasarkan pasal 103 KUHP, penerapan pasal 78 ayat (15) haruslah tetap
merujuk kepada ketentuan pasal 39 ayat (1). MK menyatakan bahwa perampasan hak
milik pemohon serta merta bertentangan dengan pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
perampasan hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw,
gadd faith) tetap harus dilindungi.
Dengan
demikian maka Barang bukti selain milik terdakwa atau menjadi milik ketiga,
maka terhadap barang bukti tidak dapat dilakukan perampasan. Selain bertentangan
dengan makna hak milik yang harus dilindungi hukum juga barang bukti milik
pihak ketiga tidak dapat dirampas disebabkan karena perbuatan terdakwa. Atau
dengan kata lain, tidak dibenarkan merampas barang bukti milik seseorang
terhadap kesalahan orang lain.
Tulisan
ini kemudian dimuat diharian yang sama berjudul “Barang Bukti dalam perkara Pidana Kehutanan - Tanggapan
Terhadap Helmi, SH yang dimuat beberapa waktu kemudian.
Menjelang
akhir 2008-an, saya kemudian mendapatkan kabar, Helmi kemudian meneruskan
sekolah di Unpad hingga Doktor. Disertasinya dibidang hukum administrasi
Lingkungan membuat saya dapat memahami pikiran Negara didalam melihat
Lingkungan.
Setelah
itu, jenjang demi jenjang diraih. Baik dimulai dari Ketua Jurusan Hukum
Administrasi Negara hingga menjadi Pembantu Dekan. Dan terakhir kemudian Dekan.
Sebuah pencapaian tidak hanya diraih terhadap Dr. Helmi. Tapi membuka prestasi
baru. Dipimpin pertama kali Dekan Hukum Unja seorang bergelar Doktor. Sebuah
usia yang terlalu tua untuk Fakultas Hukum UNJA yang sudah berdiri sejak tahun
1963.
Berbanding
terbalik dengan kehidupan saya yang masih “tenggelam” di kampong untuk belajar
hukum. Sehingga tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan. Dr. Helmi
adalah akademisi dari kampus. Tapi saya cuma “tukang catat” dari kampong.
Perumpamaan antara langit dan bumi. Antara David vs Goliath.
Terakhir
pertemuan saya dengan Dr. Helmi ketika saya menceritakan kasus Lippo Plaza
dalam sessi diskusi di kampus Fakultas Hukum. Waktu itu Dr. Helmi masih menjadi
PD 1 Fakultas Hukum.
Namun
berbeda dengan perdebatan-perdebatan sebelumnya. Sebagai sesame panelis, justru
Dr. Helmi memaparkan kekeliruan terhadap izin Lippo Plaza. Sebuah kekayaan
pengetahuan yang memperkaya saya membaca kasus Lippo Plaza.
Diluar
pembicaraan resmi, hingga sekarang, panggilan sesame teman waktu kuliah tidak
bisa dihilangkan. Dengan memanggil nama kecil saya, saya merasakan “suasana
waktu kuliah’. Praktis tidak ada sekat pembatas baik setelah menjadi Doktor
hingga menjadi Dekan. Semoga suasana ini tidak hilang bersamaan dengan berbagai
atribut yang akan dipakainya. Interaksi personal tidak menghilangkan sikap
kritis didalam mendiskusikan walaupun dengan perbedaan yang cukup tajam. Dari
ranah ini kemudian diakhiri dengan tawa bersama. Khas anak kuliahan yang sering
membully dosen killer yang pelit memberikan nilai.
Belum
lagi tradisi berpakaian “belel”, suka bercelana jeans dan tidak ketinggalan rokok
sampoerna.
Saya
menunggu kiprah Dr. Helmi dalam belantara hukum. Menjadi “obor” dan tempat
“bertanya ketika gelap. Menjadi “suluh” menerangi gelapnya rimba belantara.