Karena
mbak Emmy memulai dengna kata “mantan”, maka sesama mantan Direktur, saya ingin
menjawab kegundahan Mbak Emmy.
O,
ya. Saya harus panggil Mbak. Selain memang panggilan yang saya kenal di Walhi
sejak tahun 1998. Panggilan Mbak adalah panggilan hormat kepada yang lebih tua.
Hampir
setiap orang memanggil Emmy Hafid di Walhi biasa dikenal Mbak. Saya kurang
ingat mulai kapan istilah itu digunakan. Tapi yang pasti saya masih memanggil Mbak
Jul (Julia Kalmirah), Mbak Ovi (Farah Sofa), Mbak Bimbi (Arimbi HP) atau Mbak Yaya (Nur Hidayati).
Begitu
juga Bang Imam (Imam Masfardi), Bang Chalid (Chalid Muhammad), Bang Dana
(Ramadhana Lubis), Bang Fendi (Effendi Panjaitan), Bang Dickson (Dickson
Aritonang). Atau Mas Joko, Mas Jamet, Mas Winoto. Cuma Nurkholish kami biasa
memanggil Cak Choli. Atau Cak Chairil. Keseluruhan nama-nama itulah yang saya
kenal ketika saya memasuki Walhi tahun 1998. Tentu saja tidak mungkin saya
uraikan daftar yang kemudian saya tuliskan.
Sekarang
panggilan Mbak, mas, Abang relative kurang dipakai. Setiap orang kemudian
dipanggil “Ketua”. Mau Perempuan atau lelaki. Saya juga kurang ingat istilah
“Ketua” mulai digunakan.
Mengapa
saya menyapa Mbak Emmy dengan teman-temannya. Itu sekedar cerita bagaimana saya
mengikuti proses Walhi sejak tahun 1998 hingga sekarang.
Apabila
menilik tahun 1998, artinya Mbak Emmy masih periode pertama sebagai Direktur
Walhi (1996-1999). Dan Mbak Emmy kemudian terpilih di Banjarmasin tahun 1999.
Hingga digantikan Longgena Ginting tahun 2002.
Dengan
demikian, maka saya mengikuti proses di Walhi dari periode Mbak Emmy hingga
kini. Baik memegang jabatan di orgnisasi, atau cuma tukang catat hingga 3 bulan yang lalu, Saya masih berada di
barisan Abetnego Tarigan dan 6 bulan masih di barisan Yaya (Nur Hidayati).
Sedangkan periode sebelumnya baik dipimpin Chalid Muhammad, Longgena Ginting
saya berkesempatan menjadi Dewan Daerah (lembaga parlemen di Walhi).
Saya
termasuk orang yang beruntung mengikuti proses demokrasi di Walhi. Dan rasa
itulah kemudian ingin memberikan tanggapan terhadap kegundahan Mbak Emmy.
Waduh.
Kok romantic begini, Ya.. Semoga tidak ada yang mengkritik saya, baper karena
mantan..
Mbak
Emmy. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jam terbang Mbak Emmy. Saya
lahir di Jambi, sekolah, kerja di Jambi. Hampir praktis cuma Jambi yang saya
ketahui.
Tapi
di Walhi, saya berkesempatan mengikuti proses politik yang demokratis. Tidak
ada kekuasaan absolut. Berbeda dengan organisasi lain, Eksekutif Nasional tidak
dapat mengintervensi daerah. Baik strategi advokasi, desain kerja, management
dan organisasi.
Begitu
otonomnya daerah, maka Eksekutif Nasional cuma sekedar “Chief administrasi’.
Bahkan dalam guyonan di internal Walhi, Eksekutif Nasional “cuma” sekedar
mengumpulkan peserta untuk mendesain kampanye dan strategi advokasi. Kalo
bahasa di Jambi lebih tepat sebagai “dubalang”. Memegang gong kecil untuk
mengumpulkan rapat di tengah dusun. Setelah rakyat kumpul, maka forum rapat
kemudian diserahkan kepada orang kampong itu sendiri.
Begitu
juga berdaulatnya anggota. Lihatlah. Didalam statute, Eksekutif baik eksekutif
Nasional maupun Eksekutif Daerah tidak mempunyai suara sedikitpun didalam
pemilihan. Baik pemilihan Direktur Eksekutif Nasional Walhi maupun Direktur
Eksekutif daerah. Sampai sekarang egaliter di Walhi tetap terjaga. Dan kupikir
pasti Mbak Emmy mengetahuinya.
Namun
pesan yang hendak saya sampaikan bukan berkaitan dengan issu reklamasi. Tapi
sikap egaliter yang saya rasakan 4 tahun terakhir. Tanpa mengenyampingkan
periode Mbak Emmy, Ginting, Bang Chalid atau Ketua Berry yang kebetulan saya
tidak terlibat day to day, tapi di periode Abetnego, Suasana egaliter dan
menghormati daerah begitu kentara. Saya masih ingat persis, ketua Nego selalu
mengatakan “apapun keputusan daerah, kami
di Nasional akan mengikuti. Karena teman2 daerah yang paling tahu kondisi
sebenarnya. Saya tidak akan ke daerah apabila pintu tidak kalian buka”. Dan
konsistensi ini terus dilanjutkan oleh Ketua Yaya.
Dalam
persoalan kebakaran tahun 2013, 2014 dan 2015, Ketua Nego menyerahkan bagaimana
desain advokasi yang dilakukan daerah. Kalau mbak Emmy mau membaca berita
tentang kebakaran tahun 2015, berita-berita yang kemudian dimuat headline media
massa terkemuka justru menampilkan berbagai Walhi daerah. Dan itu sampaik
sekarang tradisi ini masih dirawat.
Nah.
Dengan demikian mengenai reklamasi, maka didalam debat internal baik di WA,
diskusi rutin maupun forum-forum keorganisasian, kami bersepakat terhadap
langkah yang hendak diambil Walhi Jakarta. Baik terhadap materi mengenai
reklamasi, upaya hukum maupun berbagai pernik mengenai reklamasi di Jakarta.
Dan
sebagai organisasi yang disiplin, kami kemudian satu barisan untuk mendukung
Walhi Jakarta. Dengan demikian, maka saya bisa memastikan hanya Walhi Jakarta
yang paling mengetahui mengenai reklamasi. Support akan diberikan untuk Walhi
Jakarta.
Saya
kok masih mikir, bagaimana alam yang berdekatan dengan rakyat, kita kemudian
mengeluarkan teori-teori yang “sok jago”. Apabila Mbak Emmy mau sejenak melihat
dasar pemikiran yang dilakukan rakyat memperjuangkan kepentingannya, maka unsur
essensial yang tetap tidak saya terima adalah KLHS. Bagaimana mungkin, proses
AMDAL ataupun izin lingkungan yang dibuat didalam reklamasi kemudian menabrak berbagai peraturan. Tentu saja
Pemerintah Jakarta akan berkilah dengan berbagai argumentasinya. Yang saya tahu
melalui youtube atau pemberitaan resmi.
Tapi
persoalan lingkungan hidup tidak serta merta dengan pendekatan scientic biasa.
Dibutuhkan upaya alam mengembalikan fungsinya (didalam UU Lingkungan Hidup
disebutkan sebagai daya dukung dan daya tampung). Makna ini sering disebut
ditengah masyarakat, “Beri waktu alam untuk bernafas”.
Dalam
periode Longgena Ginting, slogan “moratorium logging” adalah bentuk perpaduan
antara scientic dengan pengetahuan local. Dan itu kemudian menjadi inspirasi
baik didalam program pemerintah maupun kampanye di sector hutan.
Mengapa
saya tegaskan demikian. Beranjak dari cara-cara yang saya lakukan, maka saya mempercaya,
kekuatan Walhi di barisan rakyat. Kita boleh berbeda pengetahuan mengenai alam.
Mengenai hutan. Mengenai konservasi. Mengenai hutan lindung, Mengenai gambut
ataupun mengenai air dan laut.
Tapi
saya kemudian memilih dibarisan rakyat. Karena saya percaya. Rakyatlah yang
paling mengetahui tentang alamnya. Termasuk gejala-gejala, upaya yang akan
dilakukan atau apapun mengenai alam itu sendiri.
Dan
saya kemudian teringat perkataan Anwar Sadat (Direktur Walhi Sumsel). “Mandat
Walhi adalah mandate rakyat. Organisasi tidak boleh melawan mandate itu”
Masih
ingat ketika issu REDD. Issu seksi yang hampir semua pihak bersikukuh dan
bertahan itulah konsep yang paling baik. Namun saya termasuk orang yang
percaya. Alam telah diatur didalam sistem itu sendiri. Maka rakyatlah pemegang
kedaulatan terhadap issu itu sendiri.
Nah.
kalo ini pasti panjang. Tapi saya sampaikan, Konsep ini gagal. Berbagai tempat
yang dijadikan project REDD kemudian tidak jelas ceritanya. Dan saya bisa
memahami kemudian, program REDD kemudian tidak dilanjutkan lagi oleh Jokowi.
Dan
yang paling memalukan adalah berbagai pihak kemudian tidak malu mengakuinya kegagalan
dengan konsep ini. Bahkan sekarang ramai-ramai malah menawarkan issu baru yang justru asing di
tengah masyarakat.
Dan
sejak itu, saya kemudian mulai tidak percaya lagi dengan teori bualan dari
akademisi yang sok tahu. Saya kemudian menggunakan akal saya yang sederhana
untuk memotret dari sudut pengetahuan rakyat. Hampir setiap fenomena yang
terjadi, rakyat bisa menjelaskan dengan runut.
Dan
ketika Mbak Emmy menyampaikan pandangannya tentang Reklamasi, maka saya
membutuhkan beberapa kali bolak-balik untuk memahami alur pikiran Mbak Emmy. Dan
saya kemudian melihat dari sudut pandang sederhana. Posisi (standing) mempengaruhi
cara berfikir dan pilihan taktis. Saya menghormati berbagai teman-teman
mengambil pilihan paska dari Walhi. Karena kita sudah terlatih dewasa untuk
berbeda pandangan.
Namun
standing Walhi yang tetap berpihak kepada masyarakat terpinggirkan, merebut keadilan
ekologi, melawan ketimpangan adalah sedikit mandate dari dokumen resmi dan
pandangan politik Walhi.
Dan
mbak Emmy bisa lihat. Bagaimana tetap kritisnya Walhi dengan Pemerintahan
Jokowi. Baik standing yang kemudian berpihak dalam issu seperti reklamasi,
gambut, karst ataupun issu lain yang tetap mengedepankan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan pengambil keputusan.
Oya,
Mbak Emmy. Ada teman saya bilang. “Setiap masa ada orangnya. Setiap orang ada
masanya”. Tantangan Walhi berbeda dengan periode-periode sebelumnya.
Pintu-pintu birokrasi sudah terbuka. Dan itu kesempatan merupakan tarung
gagasan. Dan Walhi periode Nego dan Yaya harus mempunyai konsep untuk mengikuti
tarung gagasan.
Konsep
“bentang alam”, kawasan ekologi genting, keadilan iklim (climate justice),
restorasi Indonesia, Pulihkan Indonesia atau wilayah kelola rakyat bukanlah
kreasi Walhi. Tapi didapatkan, digali dari pergumulan di lapangan bersama
rakyat. Dan sampai sekarang saya masih percaya, hanya rakyat yang mampu
menjawab persoalan alam itu sendiri. Termasuk bagaimana rakyat yang terkena
dampak akibat reklamasi yang paling mengetahuinya, melakukan pilihan dan tentu
saja upaya apapun yang bisa dilakukan untuk memulihkan ekosistem disana.
Dan
pilihan Walhi berada di barisan rakyat telah membuktikan. Konsep yang diusung
rakyat merupakan konsep yang paling sesuai dengan alam Indonesia.
Kalo
mbak Emmy mau jalan2 lagi turun ke lapangan, Maka saya akan menunjukkan rasa malunya saya bagaimana melihat alam. Bagaimana mereka menandai alam. Baik memasuki
musim tanam, musim hujan ataupun memasuki musim kemarau.
Atau ketika bicara gempa bumi dan cara mereka melewati bencana. Istilah Walhi “Berkawan dengan bencana.
Oya,
Tentu saja ke lapangan sambil minum kopi. Kopi giling bukan kopi gunting,
Mbak
Emmy., saya tersentak dengan kalimat Iwan Fals “Negara kepulauan kok membangun
Pulau”. Kalimat itu menyentak saya. Dan mengingatkan saya agar selalu berada di
lapangan. Karena dari sana suara mereka mempunyai makna.
Sebelum
menutup cerita saya, Kalo ada waktu mampirlah ke Tegal Parang Utara. Disana
banyak anak muda menunggu cerita Mbak Emmy.
Oya.
Ada Salam dari Ketua Yaya. Katanya “Semoga
Mbak Emmy tetap kritis. Sekritis yang kukenal”.