Akhir-akhir
berita penangkapan sabu-sabu yang hendak masuk ke Jambi menarik perhatian saya.
Jumlah yang masuk dan beredarnya sabu-sabu sudah sangat memprihatinkan.
Cerita
tentang sabu-sabu mengingatkan beberapa peristiwa didalam persidangan. Baik
keterangan yang didapatkan dari saksi maupun dari tersangka sendiri, maka saya
kemudian menyadari kebutuhan sabu-sabu di Jambi sendiri cukup tinggi.
Dengan
penghitungan 1 kg, maka dari 1 kg kemudian dapat menghasilkan 10 kantong.
Istilah kantong adalah sabu-sabu yang sudah dibagi. Dengan demikian maka 1
kantong seberat 100 gram.
Bandar
besar sebagai pemasok kemudian membagikan masing-masing setiap Bandar kecil 1
kantong. Dari Bandar besar yang didapatkan 1 kantong kemudian di tangan Bandar kecil
dapat menghasilkan 100 paket sabu-sabu. 100 paket yang telah berupa paket kecil
kemudian dikenal satu gram.
Dalam
istilahnya, 1 gram adalah satu je (je
adalah istilah 1 g. G dibaca je. Sebagai bacaan dalam dialek Inggeris).
Harganya cukup mahal. Paling murah Rp 1,2 juta. Ini paket yang baik. Biasanya
digunakan didalam pesta-pesta yang sering diberitakan berbagai media ketika
artis-artis ditangkap di televisi.
Atau
Bandar apabila mau untung besar dapat membagi lagi dari 1 gram (satu je)
menjadi beberapa paket hemat. Biasanya dapat menjadi 4 paket.
Istilah
paket hemat biasa digunakan untuk digunakan masyarakat kecil. Satu paket hemat
seharga Rp 200 ribu – Rp 300 ribu. Sehingga dalam putaran 3-4 hari Bandar kecil
mampu menghabiskan 100 kantong.
Perputaran
paket hemat lebih menggiurkan, lebih cepat habis dibandingkan dengan paket 1
je. Selain mampu didistribusikan ke berbagai lapisan masyarakat, paket 1 je
sudah menjangkau ibu-ibu rumah tangga, lapisan bawah hingga pesta kecil-kecilan
di kampong. Ditangkapnya beberapa ibu rumah tangga yang sering diberitakan
media massa merupakan konfirmasi dari beredarnya paket hemat. Begitu juga
terbongkarnya tempat-tempat yang dicurigai di Jambi mengindikasikan paket hemat
lebih mudah didapatkan daripada paket 1 je.
Mengikuti
cerita Fredy Budiman yang menghadapi hukuman mati, maka harga sabu-sabu ketika
masuk ke Indonesia cukup murah. Paling banter Rp 10 ribu – Rp 15 ribu. Namun
harganya kemudian menjulang naik ketika didalam pemasaran, setiap rupiah
digunakan untuk berbagai biaya. Saya menggunakan istilah biaya resiko bagi
pengedar maupun untuk sang Bandar sendiri.
Namun
setiap kg yang sudah sudah beredar mampu menghasilkan Rp 1 milyar – Rp 1,2
milyar. Dengan meraih Rp 500 juga saja, Bandar besar cukup untung. Sedangkan
sisanya Rp Rp 500 juta – Rp 700 juta biasanya menjadi keuntungan Bandar ataupun
jaringannya.
Nah.
Tinggal dikalikan saja terhadap penangkapan 4 kg sabu-sabu akhir-akhir ini.
Namun
yang mengkhawatirkan saya adalah “upaya” memasukkan dan serbuan sabu-sabu ke
Indonesia. Dengan terbukanya dunia dan banyaknya pelabuhan-pelabuhan kecil dan
illegal di Indonesia, maka dipastikan “upaya” Negara lain memasukkan ke
Indonesia tidak boleh diabaikan.
Berbagai
pihak sudah membunyikan “alarm” terhadap bahaya dari serbuan masuknya sabu-sabu
bersama-sama dengan inek ke Indonesia.
Untuk
memudahkan saya memahami, saya kemudian teringat perang Candu yang dilakukan
Inggeris untuk menaklukan Tiongkok. Perang Candu pertama tahun 1840-1842) dan
Perang Candu II (1856-1860).
Upaya
ini selain membuat masyarakat Tiongkok lebih tergantung kepada Opium, membuat
rakyat tidak semangat dan menjadi ketergantungan kepada opium, Tujuan Inggeris menguasai
jalur perdagangan porselin, sutra, rempah-rempah dan teh.
Inggeris
kemudian menyeludupkan candu didalam ribuan peti mati yang memaksa kemudian
terjadinya kemarahan Kaisar Daonguang tahun 1799. Namun titah Sang Raja tidak
berdaya. Candu sudah merasuk kehidupan masyarakat Tiongkok, menguasai pelabuhan.
Bahkan sejak tahun 1820 mampu memasuk 900 ton pertahun.
Inggeris
kemudian menguasai jalur perdagangan dan meraup keuntungan yang besar.
Sementara Tiongkok kemudian tenggelam dan menjadi penyuplai ekspor untuk
kebutuhan Inggeris. Hasil yang tidka dinikmati oleh rakyat Tiongkok sendiri.