Didalam peta Pemerintah
Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga's) schaal 1 : 750.000, dikenal Marga Sumay. Marga Sumay, Marga VII
Koto, Marga IX Koto, Marga Petajin Hulu, Marga Petajin Ilir dan Marga Tabir Ilir
termasuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Tebo. Didalam bukunya F. J
Tideman dan P. L. F, Sigar “De Jambi”
kemudian disebut “onderafdeeling Tebo[1]’.
Marga Sumay langsung berbatasan dengan Residentie Riouw en
Onderhoorigheden[2],
Marga IX Koto, Margo Petajin Ulu. Pusat Margo Sumay di Teluk Singkawang.
Sedangkan Margo IX Koto di Teluk Kuali. Dan Margo Petajin Ulu di Maro Tebo.
Didalam
Tembo disebutkan, Margo Sumay berbatasan dengan sekitarnya ditandai dengan
Tambo. Margo Sumay dengan Petajin Ulu adalah Cendio Kanan. Margo Sumay dengan Margo Tujuh Koto adalah Rimbo Bulian. Margo Sumay dengan Batas Propinsi Riau adalah
Kerbau bekuak terus ke Dataran bukit Daun
Salo[3]
di Bukit Seling. Margo Sumay dengan
Lubuk Kambing (di Tungkal Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Barat) yaitu Sungai Tebat Talang ke dekai. Margo Sumay
dengan Kabupaten Bungo adalah Sungai Ala
ilir.
Margo
Sumay adalah penduduk yang bermukim di sepanjang Sungai Sumay[4].
Sumay berasal dari kata “su” dan “May” artinya Malayu[5].
Dengan demikian, maka Sumay artinya Se melayu. Kaum melayu[6].
Elizabeth menyebutkan sebagai Jambi dengan stereotip negara Melayu Klasik.[7]
Namun
dari versi yang lain[8],
sebenarnya Batang Sumay bernama adalah Cempako
rame. Cempako adalah nama
pohon. Cerita tentang Sumay adalah ketika
seseorang yang datang ke Muara Batang Sumay. Dia bertanya kepada seorang nenek
yang berpenyakitan. Sakitnya adalah mulutnya tidak bisa berbicara. Ketika terus
bertanya, namun nenek tidak menjawab dan mulutnya penyakit lumai. Ketika kesal,
maka pendatang tersebut mengatakan. Ya. Sudah. Nama sungai ini adalah Sungai
Lumai. Ketika terus menerus disebutkan, maka menjadi Sungai limai. Dilakukan terus menerus sehingga kedengaran seperti
Sumay (padahal menyebutkan Sungai Limai).
Kedatangan
penduduk Batang sumay terdiri dari berbagai versi. Versi pertama adalah Rajo
Patih Penyiang rantau[9]. Dimulai turunnya Datuk Patih Penyiang Rantau
dicari tukang yang berempat. Keempatnya kemudian dinamakan Jutai Jati Bilangan
Pandai untuk membuat Belancang kulit betimpo lekar untuk turun ke batang
rantau. Seluruh rantau itu ada depatinyo.
Datuk
Patih Penyiang Rantau kemudian berjalan dengan 4 orang. Mengilir dari Tuturan
Padang.
Sampai di Muara Sungai Kecil, Rajo Datuk
Temenggung Penyiang menemukan sebuah tikar yang terbuat dari dari daun rumbai.
Maka dinamakan Sungai tikar-tikar.
Kemudian Datuk Patih berjalan dan bertemu
puntung api. Namonya Dusun Tuo Muaro Sumay. Datuk itu kemudian berjalan ke mudik meretas
batang Sumay, pada saat melihat ke betandang belakang rumbut yang diretas
bertaut. Datuk Patih mengambil keras dari Jawa dan berjalan kembali ke mudik
Sumay, tidak bertaut lagi menempuh Muaro Sekalo
Karena berbentuk sekalo atau disebut juga seperti Sekalo
kemudian mudik lagi ke Teluk Sepuntung. Ditemukanlah puntung api berarti ada
manusia.
Dan
diteruskan ada sungai disebelah kanan. Dan bernama batang andelang. Dari batang
andelang mudiklah ke sungai sekelat yang bernama “Muara Dusun Setelak”.
Kemudian
terus meretas batang ikat-ikat, ada anyaman tikar. Tiap-tiap ada tikar pasti
ada manusia. Kemudian mudik lagi ke sampai ke pekundangan. Kemudian lagi mudik
lagi sampai ketemu Gabus berambut api.
Datuk
Patih kemudian berunding di Muara Kundangan. Datuk Patih berunding bagaimana
cara bertemu Manusia. Diambil air laut di bawah dan dipasang untuk memanggil
orang atau makhluk lainnya. Satu sampai 3 hari dilihat. Dan garam berkurang.
Dan lama kelamaan, bertemu dengan manusia. Dan adanya bau asap. Bau asap inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah Semambu
Sedangkan
versi kedua disebutkan[10].
Dahulu ada seorang sakti yang berasal dari Pagaruyung yang bernama Datuk Intan Jayo, Raja kuasa. Dia datang dari
ulu Sumay. Ketika dia datang, dusun yang pertama didatangi adalah di Dusun
Muko-muko. Disebutkan “muko-muko” karena memang dusun ini yang dimuko (didepan). Dengan demikian, maka Dusun “muko-muko”
ditetapkan sebagai Dusun Tuo dari Sumay. Dan sekarang disebutkan sebagai Dusun
“tuo sumay”.
Menurut
tutur di Marga Sumay, Margo Sumay terdiri dari Dusun yaitu : Dusun Tuo Sumay, Dusun
Teluk, Dusun Langkap, Dusun Napal Putih, Dusun Muara Sekalo, Dusun Sungai Arang,
Dusun Semambu, Dusun Suo-suo, Dusun Pemayungan, Dusun Semerantihan, Dusun Batu
Cuguk, Dusun Koto Tinggi.
Pada
dasarnya, Masyarakat Margo Sumay banyak toleransi. Seloko “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak
dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan adalah perumpaan keterbukaan masyarakat dengan
pendatang.
Sebagai
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap), maka Masyarakat Margo Sumay
mempunyai hak ulayat. Menghormati tempat yang dilarang untuk dibuka
yang ditandai dengan “rimbo
simpanan atau rimbo larangan” seperti
hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih, Pasir
Embun, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung, Tunggul pemarasan,
Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak
Pendanauan, Beduangan. atau Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan
dan Gulun.
Masyarakat
juga mengenal pohon yang tidak boleh ditebang seperti pohon durian, duku,
bedaro, manggis, petai dan pohon sialang. Hanya kayu bulian dibenarkan untuk
diambil kayu membangun rumah. Sedangkan rimbo bulian tidak boleh dibuka.
Hutan
yang dibuka kemudian diberi tanda seperti Lambas yaitu sebelum membuka tanah
diadakan upacara memohon izin mambang jori[11]
atau menyiapkan ayam dan bubur kuning dan bubur putih[12].
Atau dapat berupa sak sangkut yaitu takuk
pohon[13]
atau lambas berbanjar[14]
berupa tanaman pohon seperti durian.
Istilah
“Lambas” tidak seragam artinya. Lambas di Desa Muara Sekalo dilakukan
dengan upacara bertujuan untuk memohon izin mambang jori. Sedangkan di Desa
Pemayungan dan Desa Semambu, lambas adalah tanah yang dibuka harus diberi tanda
berupa tanaman seperti durian. Atau istilah ”Tanah sesap”[15]
Namun
terhadap hutan yang telah dibuka namun tidak dikelola dikenal “sesap jerami,
tunggul pemarasan”, atau “Sesap
jerami, belukar tunggul” atau “sesap
jerami tunggul pemarasan”. Apabila tidak ditanami, maka hak untuk menggarap
menjadi hilang. Setiap tanah yang telah dibuka harus diberi tanda yang berupa
tanaman seperti durian dan sebagainya. Atau dengan kata lain maka hak untuk
menggarap tanah menjadi hilang.
Dengan
melihat berbagai pengetahuan dan nilai yang masih dianut masyarakat Margo Sumay
membuktikan, tata cara dan nilai masyarakat terbukti berangkat dari nilai
“ruang kelola” dan nilai keberlanjutan”. Dengan nilai-nilai inilah, masyarakat
dan hutan bagian yang tidak terpisahkan. Dengan mengagung-agungkan nilai dan
masih menghormati nilai-nilai, hutan yang memang tidak terpisahkan tetap
berhasil dijaga dan dipertahankan.
Terlepas
dari ancaman terus menerus dari berbagai industri yang menghancurkan hutan,
cara adaptasi masyarakat menjaga dan dipertahankan. Model ini dapat menjadi salah
satu alternatif dengan konsepsi negara memandang hutan dan konsep negara yang
mengusung berbagai model mengelola hutan namun ternyata terbukti tidak mampu
menjaga dan mempertahankan hutan sebagai sebuah sistem yang penting bagi
kehidupan.
Baca : istilah marga di Jambi
[1] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938
[2] Resident Riau. Sekarang Propinsi Riau
[3] Istilah Salo bisa ditemukan dalam Tambo Dusun
Pemayungan dan Dusun Semambu yaitu Salo Belarik
[4] Sungai Sumay adalah salah satu anak sungai yang
bermuara ke Sungai Batanghari.
[5] Istilah Malayu
pertama kali muncul pada tahun 671 M oleh seorang biksu Tiongkok bernama
I-Tsing yang pada saat itu bermukim di kerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di
lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan mengenai filsafat agama Budha.
Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah sungai
Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan naskah-naskah
Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di tahun 689 bahwa Malayu telah
kehilangan kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua utusan yang
dikirim ke negeri Tiong- kok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun lagi
dikirim dari Malayu. Selama berabad- abad Sriwijaya tetap berjaya sebagai
kerajaan yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang
sebagai tempatnya kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang abad. ULI KOZOK, PH.D, KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH
MELAYU YANG TERTUA, Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
[6] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa Teluk Singkawan, 16
Maret 2013. Terhadap kata “su dan may”
juga didukung oleh Imam Usman Gen, wawancara mendalam tanggal 21 Maret 2013.
[7] Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan
Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya
imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal.52. Bahkan dengan uraian lebih
panjang disebutkan, Jambi menyimpang dari pola umum Melayu. Sulthan Berkuasa,
bukan atas populasi homogen Melayu dengan asal usul Melayu yang sama, tetapi
atas banyak kelompok Etnis yang berbeda-beda (bathin, Melayu, penghulu,
suku-pindah dan kubu). Istana bercorak Jawa ketimbang Melayu sebagaimana
gelar-gelar Jawa yang dipakai. Elizabeth, Hal. 54. Mengenai istilah “Bathin” dan istilah “Pengulu” akan diuraikan lebih lanjut.
[8] Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo,
22 Maret 2013
[9]Ahmad Intan, Kepala Dusun Semambu, tanggal 18 Maret
2013
[10] Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay,
Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
[11] Desa Muara Sekalo
[12] Desa Semambu
[13] Ditandai di pohon dengan cara memotong sedikit batang
pohon dan mudah dikenali.
[14] Lambas berbanjar artinya tanda yang berbaris
memanjang. Dalam prakteknya ditandai dengan menanam pohon berbaris memanjang
sehingga mudah dikenali batas-batas tanah.
[15] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938.