19 Februari 2017

opini musri nauli : Marga Sumay




Didalam peta Pemerintah Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga's) schaal 1 : 750.000, dikenal Marga Sumay. Marga Sumay, Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga Petajin Hulu, Marga Petajin Ilir dan Marga Tabir Ilir termasuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Tebo. Didalam bukunya F. J Tideman dan P. L. F, Sigar “De Jambi” kemudian disebut “onderafdeeling Tebo[1]’. Marga Sumay langsung berbatasan dengan Residentie Riouw en Onderhoorigheden[2], Marga IX Koto, Margo Petajin Ulu. Pusat Margo Sumay di Teluk Singkawang. Sedangkan Margo IX Koto di Teluk Kuali. Dan Margo Petajin Ulu di Maro Tebo.


Didalam Tembo disebutkan, Margo Sumay berbatasan dengan sekitarnya ditandai dengan Tambo. Margo Sumay dengan Petajin Ulu adalah Cendio Kanan. Margo Sumay dengan Margo Tujuh Koto adalah Rimbo Bulian.  Margo Sumay dengan Batas Propinsi Riau adalah Kerbau bekuak terus ke Dataran bukit Daun Salo[3] di Bukit Seling.  Margo Sumay dengan Lubuk Kambing (di Tungkal Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Barat) yaitu Sungai Tebat Talang ke dekai. Margo Sumay dengan Kabupaten Bungo adalah Sungai Ala ilir.

Margo Sumay adalah penduduk yang bermukim di sepanjang Sungai Sumay[4]. Sumay berasal dari kata “su” dan “May” artinya Malayu[5]. Dengan demikian, maka Sumay artinya Se melayu. Kaum melayu[6]. Elizabeth menyebutkan sebagai Jambi dengan stereotip negara Melayu Klasik.[7]

Namun dari versi yang lain[8], sebenarnya Batang Sumay bernama adalah Cempako rame. Cempako adalah nama pohon.  Cerita tentang Sumay adalah ketika seseorang yang datang ke Muara Batang Sumay. Dia bertanya kepada seorang nenek yang berpenyakitan. Sakitnya adalah mulutnya tidak bisa berbicara. Ketika terus bertanya, namun nenek tidak menjawab dan mulutnya penyakit lumai. Ketika kesal, maka pendatang tersebut mengatakan. Ya. Sudah. Nama sungai ini adalah Sungai Lumai. Ketika terus menerus disebutkan, maka menjadi Sungai limai. Dilakukan terus menerus sehingga kedengaran seperti Sumay (padahal menyebutkan Sungai Limai).

Kedatangan penduduk Batang sumay terdiri dari berbagai versi. Versi pertama adalah Rajo Patih Penyiang rantau[9].  Dimulai turunnya Datuk Patih Penyiang Rantau dicari tukang yang berempat. Keempatnya kemudian dinamakan Jutai Jati Bilangan Pandai untuk membuat Belancang kulit betimpo lekar untuk turun ke batang rantau. Seluruh rantau itu ada depatinyo.

Datuk Patih Penyiang Rantau kemudian berjalan dengan 4 orang. Mengilir dari Tuturan Padang.

Sampai di Muara Sungai Kecil, Rajo Datuk Temenggung Penyiang menemukan sebuah tikar yang terbuat dari dari daun rumbai. Maka dinamakan Sungai tikar-tikar.

Kemudian Datuk Patih berjalan dan bertemu puntung api. Namonya Dusun Tuo Muaro Sumay.  Datuk itu kemudian berjalan ke mudik meretas batang Sumay, pada saat melihat ke betandang belakang rumbut yang diretas bertaut. Datuk Patih mengambil keras dari Jawa dan berjalan kembali ke mudik Sumay, tidak bertaut lagi menempuh Muaro Sekalo

Karena berbentuk sekalo atau disebut juga seperti Sekalo kemudian mudik lagi ke Teluk Sepuntung. Ditemukanlah puntung api berarti ada manusia.

Dan diteruskan ada sungai disebelah kanan. Dan bernama batang andelang. Dari batang andelang mudiklah ke sungai sekelat yang bernama “Muara Dusun Setelak”.

Kemudian terus meretas batang ikat-ikat, ada anyaman tikar. Tiap-tiap ada tikar pasti ada manusia. Kemudian mudik lagi ke sampai ke pekundangan. Kemudian lagi mudik lagi sampai ketemu Gabus berambut api.

Datuk Patih kemudian berunding di Muara Kundangan. Datuk Patih berunding bagaimana cara bertemu Manusia. Diambil air laut di bawah dan dipasang untuk memanggil orang atau makhluk lainnya. Satu sampai 3 hari dilihat. Dan garam berkurang. Dan lama kelamaan, bertemu dengan manusia. Dan adanya bau asap. Bau asap inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Semambu

Sedangkan versi kedua disebutkan[10]. Dahulu ada seorang sakti yang berasal dari Pagaruyung yang bernama  Datuk Intan Jayo, Raja kuasa. Dia datang dari ulu Sumay. Ketika dia datang, dusun yang pertama didatangi adalah di Dusun Muko-muko. Disebutkan “muko-muko” karena memang dusun ini yang dimuko (didepan). Dengan demikian, maka Dusun “muko-muko” ditetapkan sebagai Dusun Tuo dari Sumay. Dan sekarang disebutkan sebagai Dusun “tuo sumay”.

Menurut tutur di Marga Sumay, Margo Sumay terdiri dari Dusun yaitu : Dusun Tuo Sumay, Dusun Teluk, Dusun Langkap, Dusun Napal Putih, Dusun Muara Sekalo, Dusun Sungai Arang, Dusun Semambu, Dusun Suo-suo, Dusun Pemayungan, Dusun Semerantihan, Dusun Batu Cuguk, Dusun Koto Tinggi.

Pada dasarnya, Masyarakat Margo Sumay banyak toleransi. Seloko “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan  adalah perumpaan keterbukaan masyarakat dengan pendatang.

Sebagai persekutuan hukum (rechtsgemeenshap), maka Masyarakat Margo Sumay mempunyai hak ulayat.  Menghormati tempat yang dilarang untuk dibuka yang ditandai dengan  rimbo simpanan atau rimbo larangan” seperti hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih, Pasir Embun, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung, Tunggul pemarasan, Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan. atau Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.

Masyarakat juga mengenal pohon yang tidak boleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon sialang. Hanya kayu bulian dibenarkan untuk diambil kayu membangun rumah. Sedangkan rimbo bulian tidak boleh dibuka. 

Hutan yang dibuka kemudian diberi tanda seperti Lambas yaitu sebelum membuka tanah diadakan upacara memohon izin mambang jori[11] atau menyiapkan ayam dan bubur kuning dan bubur putih[12]. Atau dapat berupa sak sangkut yaitu takuk pohon[13] atau lambas berbanjar[14] berupa tanaman pohon seperti durian.


Istilah “Lambas” tidak seragam artinya. Lambas di Desa Muara Sekalo dilakukan dengan upacara bertujuan untuk memohon izin mambang jori. Sedangkan di Desa Pemayungan dan Desa Semambu, lambas adalah tanah yang dibuka harus diberi tanda berupa tanaman seperti durian.  Atau istilah ”Tanah sesap”[15] 

Namun terhadap hutan yang telah dibuka namun tidak dikelola dikenal “sesap jerami, tunggul pemarasan”, atau  Sesap jerami, belukar tunggul” atau “sesap jerami tunggul pemarasan”. Apabila tidak ditanami, maka hak untuk menggarap menjadi hilang. Setiap tanah yang telah dibuka harus diberi tanda yang berupa tanaman seperti durian dan sebagainya. Atau dengan kata lain maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang.

Dengan melihat berbagai pengetahuan dan nilai yang masih dianut masyarakat Margo Sumay membuktikan, tata cara dan nilai masyarakat terbukti berangkat dari nilai “ruang kelola” dan nilai keberlanjutan”. Dengan nilai-nilai inilah, masyarakat dan hutan bagian yang tidak terpisahkan. Dengan mengagung-agungkan nilai dan masih menghormati nilai-nilai, hutan yang memang tidak terpisahkan tetap berhasil dijaga dan dipertahankan.

Terlepas dari ancaman terus menerus dari berbagai industri yang menghancurkan hutan, cara adaptasi masyarakat menjaga dan dipertahankan. Model ini dapat menjadi salah satu alternatif dengan konsepsi negara memandang hutan dan konsep negara yang mengusung berbagai model mengelola hutan namun ternyata terbukti tidak mampu menjaga dan mempertahankan hutan sebagai sebuah sistem yang penting bagi kehidupan.









[1] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[2] Resident Riau. Sekarang Propinsi Riau
[3] Istilah Salo bisa ditemukan dalam Tambo Dusun Pemayungan dan Dusun Semambu yaitu Salo Belarik
[4] Sungai Sumay adalah salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari.
[5] Istilah Malayu pertama kali muncul pada tahun 671 M oleh seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing yang pada saat itu bermukim di kerajaan Malayu (Jambi) yang terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam pengetahuan mengenai filsafat agama Budha. Kemudian ia pindah ke kerajaan Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk menyalin dan menerjemahkan naskah-naskah Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di tahun 689 bahwa Malayu telah kehilangan kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu semua utusan yang dikirim ke negeri Tiong- kok berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun lagi dikirim dari Malayu. Selama berabad- abad Sriwijaya tetap berjaya sebagai kerajaan yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa Sriwijaya patut dipandang sebagai tempatnya kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang abad. ULI KOZOK, PH.D,  KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA, Yayasan Naskah Nusantara Yayasan Obor Indonesia Jakarta 2006
[6] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa Teluk Singkawan, 16 Maret 2013. Terhadap kata “su dan may” juga didukung oleh Imam Usman Gen, wawancara mendalam tanggal 21 Maret 2013.
[7] Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal.52. Bahkan dengan uraian lebih panjang disebutkan, Jambi menyimpang dari pola umum Melayu. Sulthan Berkuasa, bukan atas populasi homogen Melayu dengan asal usul Melayu yang sama, tetapi atas banyak kelompok Etnis yang berbeda-beda (bathin, Melayu, penghulu, suku-pindah dan kubu). Istana bercorak Jawa ketimbang Melayu sebagaimana gelar-gelar Jawa yang dipakai. Elizabeth, Hal. 54. Mengenai istilah “Bathin” dan istilah “Pengulu” akan diuraikan lebih lanjut.
[8] Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
[9]Ahmad Intan, Kepala Dusun Semambu, tanggal 18 Maret 2013
[10] Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
[11] Desa Muara Sekalo
[12] Desa Semambu
[13] Ditandai di pohon dengan cara memotong sedikit batang pohon dan mudah dikenali.
[14] Lambas berbanjar artinya tanda yang berbaris memanjang. Dalam prakteknya ditandai dengan menanam pohon berbaris memanjang sehingga mudah dikenali batas-batas tanah. 
[15] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.