Usai
PDLH VI Walhi Jambi dengan terpilihnya Hardi Yudha, Oscar dan Joy sebagai Dewan
Daerah dan Rudiansyah (Rudi) Sebagai Direktur Walhi Jambi 2017-2021. Sebuah
proses panjang setelah PDLH yang semula diadakan akhir November namun baru bisa
dilaksanakan akhir Februari 2017.
Terpilihnya
Rudi mengingatkan kenangan kecil saya ketika bertemu Rudi di Tebing Tinggi.
Waktu itu saya mengajak Rudi agar mau meninggalkan kampong dan membantu Walhi
Jambi pada masa periode ke 2 Masa Feri Irawan.
Sebagai
sesame anggota Wanala Elang Gunung (Kelompok Pecinta Alam), saya mengenal rudi
sebagai orang yang kalem, gesit namun menghindarkan konflik secara terbuka.
Menghormati senior namun kukuh memegang prinsip. Prinsip yang disampaikan
dengan gaya kalem, lembut bahkan dengan suara yang mengajak memahami
prinsipnya.
Setelah
memasuki Walhi Jambi tahun 2015, kemampuan Rudi kemudian diuji ketika membawa
rombongan Walhi Jambi menghadiri pertemuan Nasional Walhi tahun 2007 dengan
membawa rombongan 7 bis. Kemampuannya mengorganisir dan bersama rombongan
menghadiri acara membawa kesan mendalam bagi saya. Saya meyakini Rudi akan
memegang tanggungjawab besar untuk agenda selanjutnya.
Setelah
terpilihnya Arif Munandar tahun 2008, Advokasi menolak izin HTI di Bangko
semakin intensif. Hampir praktis selama 3 tahun lebih “tenggelam” di lapangan
untuk memperkuat masyarakat. Bersama-sama dengan berbagai jaringan, izin HTI
kemudian ditolak.
Namun
kenangan di lapangan justru memberikan pelajaran baru. Rudi kemudian praktis
mempersiapkan masyarakat untuk mengusung model hutan Desa seluas 49.508 ha.
Bersama-sama dengan PMKM (Poros Masyarakat Kehutanan Merangin) kemudian
mendapatkan 17 Hutan Desa.
Ketika
wacana hutan desa kemudian menjadi polemic, dari suara Rudi saya kemudian
meneguhkan pendirian. Dengan kalem dia berujar “Kita yang paling tahu kondisi
di lapangan dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Mimpi masyarakat sederhana.
Wilayah kelola mereka jangan diganggu’. Sebuah ujaran yang kemudian
menginspirasi saya untuk melihat keadaan dari lapangan.
Pelan
tapi pasti, ketika PDLH Walhi V tahun 2011, berbagai teman-teman kemudian
mendesak Rudi untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Selain mempertimbangkan
keluarga Arif Munandar yang akan menetap di Kalimantan, jam terbang dan
kemampuan managerial Rudi memenuhi persyaratan untuk menakhodai Walhi Jambi.
Namun dengan halus kemudian Rudi menolak dengna alasan “belum siap’. Sebuah
ujaran yang kemudian disambar Arif
“Tidak ada kata siap untuk di Walhi”. Rudi hanya tersenyum dan kemudian
mengeloyor tanpa beban.
Ketika
Tahun 2012, Arif kemudian mengundurkan diri dengan urusan Keluarga, Rudi
kemudian ditunjuk sebagai Pjs Walhi sembari menunggu pelaksanaan PDLH
Luarbiasa. Dengan dibantu Dewan Daerah mengawal Walhi Jambi, proses
melaksanakan PDLH Luarbiasa kemudian dipersiapkan.
Waktu
itu, sekali lagi teman-teman meminta Rudi untuk maju menjadi Direktur Walhi
Jambi. Namun dengan alasan berbeda, “baru berkeluarga”, Rudi enggan untuk
melaksanakannya.
Suasana
politik kemudian berubah. Didalam pertemuan di Bandara Jakarta, saya, Arif dan
Bucek (Ketua Dewan Daerah) merumuskan “siapa yang akan menjadi Direktur Walhi
Jambi”. Mengingat Arif yang sudah mengundurkan diri, saya kemudian meminta
kepada Bucek untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Namun waktu itu Bucek
tidak bersedia. Selain baru mengembangkan lembaga Baru G-Cinde, Bucek kemudian
memilih menetap untuk bersedia di lapangan. Keenganan Bucek kemudian menjadi
rumit. Arif sudah mundur. Rudi dan Bucek tidak bersedia. Waduh. Kok malah
“gendang” malah berbalik ke saya.
Padahal
waktu itu, saya praktis sudah meninggalkan dunia LSM 10 tahun lebih. Sebuah
pilihan setelah reformasi. Saya menetapkan menekuni dunia pengacara. Selain
kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beban ekonomi membuat saya tidak mungkin
lagi menetap di dunia LSM. Belum lagi tantangan dunia LSM bagi saya tidak
sebesar tantangan saya menekuni dunia hukum.
Teman-teman
“mendesak” dengan alasan saya yang pernah mendirikan Walhi Jambi maka saya
kemudian diminta tanggungjawab untuk menjaga Walhi. Waduh. Kok jadi ribet
begini. “Enak betul. Ketika ada masalah yang besar. malah saya kemudian diminta
untuk mengawalnya”. Kamipun bersepakat untuk menjaga proses ini hingga PDLH
Luarbiasa yang diadakan September 2012.
Strategi
ini tidak mungkin disampaikan secara luas. Saya kemudian memanggil Rudi untuk
meminta dia “mengurusi Walhi”. Dengan tegas saya sampaikan, “dunia hukum sudah
terlalu asyik bagi saya. Maka dunia itu tidak mungkin saya tinggalkan. Dan saya
meminta Rudi untuk mengurusi program, manager, keuangan”. Sedangkan saya
kemudian memilih untuk mengurusi advokasi dan jaringan. Pokoknya saya tegaskan.
“aku meminta ente yang mengurusi Walhi”. Dengan tegas rudi kemudian meminta
“Kalo aku diminta untuk mengurusi Walhi, aku mohon jangan diganggu kesepakatan
yang sudah kita tentukan. “OK. Klir’. Kamipun bersalaman.
Setelah
terpilih tahun 2012, maka struktur Walhi Jambi kemudian berubah. Dari
pendekatan issu menjadi pendekatan Regional. Walhi Jambi kemudian menggunakan struktur
Region Hulu, Region Tengah dan Region Hilir. Setiap region kemudian dipimpin
seorang manager. Manager bertanggungjawab terhadap program, kampanye, advokasi
dan pengorganisasian di setiap region. Di tangan manager kemudian harus
menguasai lapangan, medan tempur dan wilayahnya masing-masing. Selain itu tidak
dikenal “deputi”. Masing-masing region kemudian berkonsentrasi dengan agenda
regionnya masing-masing.
Secara
tidak langsung kemudian memacu masing-masing region untuk menunjukkan
kinerjanya. Kalo istilah di Dewan Daerah, masing-masing region kemudian
membuktikan “Championnya”.. Hee. he.. he..
Struktur
ini kemudian ramping dan mudah akselerasi dengan beban pekerjaan advokasi yang
melingkupi wilayah Jambi.
Selain
itu juga mengurangi beban yang menumpuk pada Direktur. Sehingga memudahkan saya
tetap menekuni dunia hukum sembari bisa kongkow2 disana-sini.
Hubungan
personal dan kemudian hubungan kerja dengan Rudi membuat saya tenang
menjalankan tugas sebagai Direktur Walhi. Kalo istilah teman di Jakarta sembari
seloroh berkelakar “Lu. Curang. Pekerjaan lu bagi-bagi dengan anak buah lu.
Terus lu ngapaian ?”. Ha.. ha.. Ha..
Cara
ini juga sering disampaikan oleh Ketua Abetnego. Kalo mekanisme dan sistem
sudah berjalan, tugas Direktur tuh seharian cuma terima tamu, menghadiri
undangan, kongkow-kongkow dan baca Koran.
Saya
kemudian sering geli ketika ada Direktur yang terlibat didalam keuangan, harus
mempersiapkan planning bahkan harus mempersiapkan berbagai laporan. Ah. Mungkin
karena saya yang malas atau sistem yang sudah berjalan. Namun 4 tahun di Walhi,
saya tidak pernah berurusan dengan keuangan Eknas Walhi.
Didalam
rapat-rapat internal staf Walhi Jambi, Rudi lebih banyak menjadi fasilitator
untuk memimpin agenda-agenda. Baik mengejar laporan yang sempat tertunda,
keuangna yang belum beres, mempersiapkan bahan audit untuk Dewan daerah dan
audit eksternal hingga bertemu dengna jaringan membicarakan program.
Selain
itu, kedisplinan mengatur anggaran bersama-sama dengan manager kantor membuat
pembukuan menjadi rapi, mudah dikontrol dan transparan. Sehingga saya kemudian
meyakini. Membangun organisasi yang sehat dimulai dari transparansi dan
akuntabilitas. Sebuah pencapaian yang tidak bisa dihindari untuk memasuki zaman
modern.
Sehingga
tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan. Rudi adalah “the real
Direktur’. Sementara saya sering mengumpamakan sebagai “tukang teken surat”.
Perbedaan
karakter gaya kepemimpinan juga terjadi di internal Walhi. Karakter saya yang
tegas bahkan cenderung keras berbeda dengan karakter Rudi yang kalem, santai
walaupun tetap menjaga prinsip.
Entah
beberapa kali masyarakat yang datang kemudian saya usir ketika saya tidak
menemukan dasar hukum alas haknya terhadap tanah. Cara ini kemudian “ditegur”
dan diperbaiki mekanisme oleh Rudi. Kami kemudian menyepakati, sebelum
masyarakat bertemu dengna saya, teman-teman region yang mempersiapkan
bahan-bahan untuk membantu masyarakat. Hasil “olahan” dari teman-teman kemudian
didiskusikana dengan saya.. Saya kemudian menyadari “gaya kepemimpinan” saya
ternyata mempengaruhi saya didalam melihat model kepemimpinan yang tetap kalem
didalam menyampaikan gagasan.
Namun
gaya ini sering “offside” saya lakukan. Secara naluriah, karena saya memang
dilahirkan “Selalu memimpin”, baik karena sebagai anak tertua, tidak pernah
menjadi staf bahkan selalu memimpin organisasi membuat saya “kurang merasakan
diperlakukan sebagai anak buah”. Apalagi dengan gaya meledak-ledak sehingga
yang mendengar sering keliru memahami maksud yang saya sampaikan.
Dari
Rudi saya kemudian belajar dan menemukan pesan. Agar mempertimbangkan perasaan
orang lain. Dan istri saya selalu
mengingatkan agar lebih sabar dan tidak cepat naik darah. Saya tidak tahu.
Apakah pesan dari Rudi mewakili teman-teman atau pesan dari istri saya sering
dikeluhkan Rudi ketika sering menyampaikan uneg-unegnya kepada istri saya.
Ketika
hutan desa “dirambah” oleh orang yang mengaku organisasi tertentu dengan
memasang symbol-simbol di pohon, darah saya mendidih. Tanpa control kemudian
saya meminta agar perlawanan kepada organisasi ditujukan. Tapi dengan kalem,
Rudi kemudian meminta saya menemui Abetnego sebagai pimpinan tertinggi Walhi
untuk menyelesaikan di tingkat nasional. Saya kemudian menyadari bahwa cara
yang saya gunakan harus ditempatkan pada medan tertentu.
Namun
berbeda dengan kematian Indra Pelani. Dengan lantang kemudian Rudi “menggertak”
kepada jaringan internasional agar mencabut dukungan organisasi kepada
perusahaan. Saya kemudian kaget dengan sikap keras Rudi. Dan konon, berbagai
pertemuan digelar untuk memenuhi “gertakan” Rudi. Dan Rudi kemudian piawai
memainkan medan advokasi sehingga saya lebih mudah mengkonsolidasikan advokasi
menjadi keras.
Hubungan
personal dan hubungan kerja dengan Rudi tidak menghilangkan sikap Rudi yang
selalu menempatkan diri sebagai “loyalis” kepada pimpinan. Berbagai “kesalahan”
yang sering saya buat, selalu diperbaiki baik dengan menjelaskan dengan baik
kepada berbagai jaringan, kepada staf hingga memperbaiki pola komunikasi.
Ketika
bulan Februari 2016, saya kemudian memanggil Rudi. Waktu itu saya meminta Rudi
untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Pertimbangan saya, sudah cukup 4 tahun
saya “tenggelam” dengan rutinitas di dunia LSM. Selain dunia pengacara yang
sempat terganggu baik kurang focus ataupun tersitanya waktu untuk keluarga,
akselerasi dunia diluar lebih mengembangkan diri saya secara personal. Kami
tidak ada pilihan. Rudi harus menerima tantangan itu. Dan saya dengan tegas
katakana “Ente tidak boleh egois. Ente juga harus memikirkan kehidupan aku”.
Kami kemudian mengucapkan “bismillah” dengan pilihan itu.
Hingga
akhir Februari 2017 setelah berlarur-larutnya PDLH Walhi, Rudiansyah kemudian
terpilih. Dengan kematangan personal di Walhi 12 tahun lebih, berinteraksi
dengan berbagai jaringan hingga kekaleman cara memimpin, maka saya kemudian
membayangkan. Inilah Wajah Baru Walhi Jambi.
Selamat
bertugas, Rud.