Bid’ah,
kafir, haram. Itu teriakan dari penghuni bumi datar ketika saya “mempersoalkan”
hari perempuan internasional.
Saya
kemudian tertawa ngakak. Penghuni bumi datar kok mempersoalkan agenda penghuni
bumi bulat. Hayo. Kok usil banget mengurusi cerita dari bumi bulat. Bukankah
bumi datar cuma dihuni 7 juta orang. Lha, kami penghuni bumi bulat mencapai 7
milyar. Hayo. Udah, ah. Cerita lain.
Hari
ini, seluruh perempuan dunia sedang merayakan agendanya. Mereka berbaris, mengorganisir
demo bahkan mempersiapkan tuntutannya. Lha. Itu agenda perempuan kok.
Tentu
saja setiap komunitas menghadirkan perempuan tangguh melewati pertempuan
merebut sumber daya alam. 9 Perempuan Rembang yang selalu membuat bulu kuduk
saya merinding. Atau “konsistensi” Mama Aleta yang suaranya sampai ke Barack
Obama. Atau cerita dari perempuan Seluma yang mengepung masjid untuk melindung
pejuang Seluma ketika “penyerbuan” aparat keamanan hendak menangkapnya.
Tentu
saja banyak perempuan-perempuan yang sering “menjewer” pemimpin perlawanan
ketika para lelaki “hendak bermain mata’ dengan penguasa. Bahkan dengan
kepalaku sendiri, ketika aparat hendak memuntahkan pelurunya, ibu-ibu kemudian
memasang pagar betis dan menyediakan badannya untuk melindungi mahasiswa yang
hendak ditembak.
Di
tangan perempuan, aku kemudian tersadar dan kemudian tetap memilih mengurusi
“orang kecil”, ketika sempat tarik menarik hendak memasuki partai politik paska
reformasi. Sebuah ujaran yang masih tetap kukenang dan kemudian tetap memilih
tinggal di kota kecil dan enggan berada di kota besar.
Dalam
interaksi berbagai kalangan, aku kemudian menemukan akar persoalan terhadap
urusan perempuan. Pola pikir yang masih menempatkan perempuan sebagai
subkoordinat dari lelaki yang kemudian sering mengeluarkan perumpamaan
“perempuan cuma urusan di kasur, di dapur dan disumur”. Sebuah fakta yang masih
terjadi di alam modern ini.
Namun
akhir-akhir ini entah mengapa urusan perempuan kemudian ditempatkan sebagai “penyebab”
dari kejahatan sexual. Dengan alasan “perempuan sebagai penggoda” kemudian
dimaklumi sebagai alasan pelaku sebagai penyebab terjadinya kejahatan sexual.
Bahkan empati dalam proses hukum sulit diraih.
Pertanyaan
demi pertanyaan yang hendak digali perempuan sebagai korban menjadi “luka” yang
terus menerus ditoreh air garam ketika sang perempuan harus menceritakan cerita
yang sama berulang-ulang. Dan empati itu hingga sekarang menjadi banyolan dari
setiap peristiwa yang menimpa perempuan.
Bahkan
anggota yang terhormat DPRD Jambi pernah mengusulkan “tes keperawanan” sebelum
masuk sekolah. Sebuah pemikiran yang sungguh “ajaib” di tengah zaman modern.
Di
kalangan kelas menengah, perempuan kemudian ditempatkan sebagai “obyek” dari
urusan pakaian. Paradigma lelaki kemudian menempatkan “perempuan” harus
berpakaian dan kemudian sibuk mengurusi urusan tubuh perempuan.
Dan
disaat hari perempuan internasional inilah perlawanan terhadap pemikiran lelaki
harus disudahi. Perlawanan terus menerus kita lakukan agar perempuan
ditempatkan sebagai makhluk mulia. Ciptaan sang Kuasa yang keindahannya
kemudian membuat dunia menjadi bermakna.
Selamat
Hari Perempuan Internasional. Hayo kita lawan para lelaki yang masih berfikir
kolot memandang perempuan.