Kisah dimalam hari bercerita di sebuah sekretariat organisasi kepemudaan membuat saya tercenung. Cerita dari mereka membuat saya merenung.
Kata-kata “dusun”, “anak dusun”, “orang dusun” atau orang kita terus mewarnai pembicaraan.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
Kisah dimalam hari bercerita di sebuah sekretariat organisasi kepemudaan membuat saya tercenung. Cerita dari mereka membuat saya merenung.
Kata-kata “dusun”, “anak dusun”, “orang dusun” atau orang kita terus mewarnai pembicaraan.
Didalam berorganisasi, tidak dapat disangkal, cita-cita, harapan, keinginan yang disampaikan para kandidat ditunggu para anggota. Dalam istilah keren disebut “mimpi” dari pemimpin untuk mengurusi organisasi.
Ada yang berapi-api bermimpi “punya sekretariat”. Ada yang berambisi “punya kantor”. Ada yang mengajak orang memilih dengan “kebersamaan”. Ada yang mengajak “memilih dengan hati Nurani”.
Sebagai slogan sih, ok-ok saja. Dan itu sah untuk meraih dukungan dari anggota.
Namun ketika kandidat yang diusungnya cuma “berpolesan” wajah, isi otak yang tidak muncer, naik kendaraan mewah ditengah anggota sudah beberapa kali terbukti.
Belum beranjak dari tempat tidur di pagi hari, saya kemudian membuka internet. Browsing internet. Sekaligus membaca status teman-teman didunia maya.
Alangkah kagetnya ketika saya membaca status beberapa teman jurnalis yang saya kenal. Keluhan tentang “media yang diatur”. Demikian kesan beberapa status FB.
Tersentak. Sayapun kemudian menghubungi tim internal, memastikan beberapa sumber yang kredibel, menghubungi beberapa narasumber yang terpercaya.
Pelan kemudian saya telusuri. Satu persatu. Persis menguraikan benang kusut. Kemudian menyusunnya kembali. Seperti menyusun puzzle.
Syukurlah. Dari tim internal Media publikasi dan Opini Al Haris – Sani tidak melakukan perbuatan yang “tercela”.
Akhir-akhir ini tidak dapat dipungkiri, gegap gempita politik saling bersilewaran didunia maya. Berbagai pemikiran terus lahir untuk melihat berbagai peristiwa politik dari berbagai sudut.
Sebagai Pendidikan politik kepada rakyat, opini merupakan ranah yang mewarnai dinamika pemikiran. Opini diharapkan dapat menggambarkan para penulis opini untuk menyampaikan gagasan.
Namun kegelisahan penulis melihat fenomena ini harus dilihat dan ditempatkan sebagaiman mestinya. Sehingga public mendapatkan kesempatan utuh melihat berbagai peristiwa lebih jernih.
Berbagai catatan kecil akan membantu untuk melihat persoalan ini lebih obyektif.
Tanpa dinyana, tiba-tiba masjid yang sedang dibangun kedatangan “tamu agung”. Konon kabar terdengar sang pembesar.
Mengaku tinggal di perumahan ditengah kota, kedatangannya ditunggu warga. Kedatangannya dirindukan. Setelah lama merantau.
Sebelumnya tersiar kabar. Menjelang hajatan penting di negeri ini, dia kembali. Ingin bercengkrama dengan warga.
Menurut Plato, negara ideal harus dipimpin oleh seorang Filosof. Seorang Filosof memiliki jiwa untuk mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.
Pribadi yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan pasti memiliki sifat seperti jujur, amanah, tanggungjawab. Seorang filosof terdapat karakter yang kuat, tahan godaan dan mampu memimpin.
Makna Filosof juga terdapat dalam diri pemimpin agama dan pemimpin spiritual. Sejarah mengajarkan bagaimana seorang tokoh agama sekaligus juga seorang pemimpin negara.
Di sebuah pertemuan di pagi hari, bertemu politisi senior saya sempat bertanya.
“Bang. Ngapo dak maju menjadi Kepala Daerah. Pasti banyak yang mendukung abang”, kata saya penasaran. Pertanyaan yang menjadi orang banyak.
“Tidak dindo. “Presiden kito orang Mudo. Pasti sering menemani Presiden. Nah, kalo orang tuo, kagek saro mengikuti langkah Presiden”, katanya. Sayapun tersenyum.
“Ah. Abang ado-ado be. Bukankah kalo sudah tua, pasti bijaksana. Dan sudah banyak makan asam garam”, kata saya semakin penasaran.
“idak, Dindo. Ini serius. Kagek saro kito nak ngikuti Presiden. Tengoklah kepala daerah di Jawo tuh mudo-mudo”, meyakinkan saya. Jawaban yang tidak penting bagi saya.
Ketika Nurul Fahmi (Fahmi) menuliskan pemikiran “Feodalisme Gaya Baru Kandidat Nomor Dua” yang kemudian menjadi viral di media massa dan media sosial, ibarat “koor” semua kemudian berteriak. Gaduh. Ramai. Persis kayak Cheefleader (pasukan sorak-sorai).
Namun hingga kini, sama sekali tidak ada penjelasan utuh dari berbagai pandangan tentang pemikiran Fahmi. Terlepas dari isi yang dituliskan oleh Fahmi dan beberapa pemikiran yang belum tentu saya juga sepakat, namun ketika tulisan Fahmi sama sekali tidak mendapatkan penjelasan utuh dari “Cheefleader” seketika saya menjadi “terhenyak”.
Mengapa “tuduhan” tulisan yang disampaikan oleh Fahmi kemudian “diplesetkan” apakah Fahmi menjadi timses atau berpihak.
Setelah turun pesawat Lion Air dari Jakarta, saya kemudian mencoba menggunakan aplikasi “untuk memesan mobil (”go-jek online). Memesan kendaraan untuk menuju ke Telanaipura. Menghadiri rapat yang sudah lama diagendakan.
Setelah menunggu seperempat jam, mobil yang dipesan datang. Dengan ramah, sang petugas “mempersilahkan” saya untuk menaiki kendaraan.
Ketika beberapa teman-teman menyodorkan nama Al Haris dan Abdullah Sani sebagai tokoh masyarakat didalam keanggotan Dewan Kehormatan DPC Peradi Jambi, saya hanya “tersenyum”. Selain yang menyodorkan adalah teman-teman yang mempunyai relasi yang baik dengan tokoh masyarakat, nama-nama yang disodorkan relatif tidak menimbukan resistensi. Bahkan kemudian “diterima dengan plong”.
Al Haris sering kami panggil panggilan akrab “Pak Bupati”. Kadang juga “Pak Bup”. Sedangkan “Abdullah Sani” malah sering dipanggil “yai”. Kadang “Yai sani”.
Keduanya lebih “menampakkan” seperti “kakak-adik.
Dalam interaksi sehari-hari, keduanya kemudian dikenal lebih tepat sebagai “teman bercanda”. Entah “siapa yang memulai”, tapi berbagai joke sering mengalir.
Tidak dapat dipungkiri, ketika seseorang mendukung klub sepakbola (supporter) disebabkan “kesukaan (ketertarikan)”.
Saya dari dulu suka Real Madrid “semata-mata” kagum dengan berbagai prestasi. Begitu juga putra keduaku yang kagum dengan Ronaldo.
Sebagai “pemain sepakbola”, pernah mengikuti “Akademi Sepakbola” hingga sekarang masih main sepakbola, Kekaguman dengan Ronaldo adalah “skil-nya” yang lengkap.
Entah dengan “gocekan”, aksi-aksi individual, “tandukkan”, driving-nya yang bersih atau “tendangan sudut-nya” yang melengkung.
Berbagai skill yang dimiliki seperti Becham, Lionel Messi ataupun “menjadi palang pintu” seperti Gattuso dan Maldini menjadikan Ronaldo menjadi decak kagumnya.
Innalilahi Wa inalilahi Raji’un.
Duka mendalam yang dirasakan rakyat Jambi. Berturut-turut kabar duka menyelimuti hati dan suasana Rakyat Jambi.
Belum usai menarik “menerima kenyataan” setelah Walikota Jambi yang kemudian dinyatakan Covid 19, disusul oleh keluarganya, tiba-tiba kabar datang melanda.
Dalam perjalanan panjang (roadshow) ke Barat Jambi, tiba-tiba informasi bersilewaran di media massa.
“Meninggalnya Putra Bungsu Walikota Jambi. Muhammad Fabriansyah Putra” sekitar jam 13.15 wib. Di Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta.
Tidak dapat dipisahkan, cara panjang “memimpin” dalam tradisi Islam dipengaruhi pemikir Politik, Al Mawardi. Seorang pemikir Politik yang menuliskannya didalam Al-Ahkam Al Sultanniyah.
Berbeda dengan Machiavelli didalam bukunya “Il Principe”, Kekuasaan dengan moralitas haruslah dipisahkan, Imam Al Mawardi justru menekankan 6 sendi Pemerintahan. Dari sendi Pemerintahan maka kemudian negara dapat bertahan dengan Tetap mengusung nilai-nilai kebenaran.
Berbeda dengan pandangan sebagian kalangan, anjuran untuk “kampanye santun” tidak menghilangkan sikap kritis terhadap hal-ikwal tentang diri pemimpin.
Sebelum memilih, para pemilih harus diberikan informasi yang utuh tentang “bibit”, “rekam jejak” dari pemimpin.
“Rekam jejak” dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai “bobot”. Sebuah cara pandang alam kosmopolitan didalam menentukan pilihan
Bukankah pemilih diberikan kesempatan untuk mengenal pemimpin. Entah “apakah” pembohong, suka “ngecap”, “omongan doang (omdo)” atau cuma jago retorika.
Belum lagi berbagai sifat seperti “pendendam”, “suka menghasut”, khianat, tidak amanah dan berbagai sifat yang justru akan merugikan pilihan dari pemilih.
Tidak dapat dipungkiri, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diwarnai dengan “kepopuleran” para kandidat. Meminjam istilah Lembaga riset, keterpilihan kandidat dimulai dari “elektabilitas”, “keterimaan public” dan “kemenangan”.
Istilah “elektabilitas” dimulai dari pemasangan baliho, spanduk, umbul-umbul, temu pemilih, arak-arakan dimuka umum. Termasuk juga berbagai kegiatan yang membuat kandidat menjadi popular.
Tidak salah kemudian “mempercepat” popular kandidat kemudian diimbangi dengan berbagai acara “talk show”, iklan-iklan pendek di televisi dan berbagai acara kesenian yang menjadi perhatian masyarakat.
Memasuki Pilkada Jambi 2020, setelah para kandidat mendaftarkan KPU, maka KPU kemudian menetapkan sekaligus menentukan nomor urut. Tinggal satu tahap lagi menjelang Pilkada 2020.
Sudah saatnya, masyarakat berhak mengetahui bagaimana “cara pandang” kandidat melihat Jambi dan berbagai persoalannya. Serta bagaimana “mimpi” para kandidat menjawab persoalan Jambi.
Memasuki Pilkada Jambi 2020, setelah para kandidat mendaftarkan KPU, maka KPU kemudian menetapkan sekaligus menentukan nomor urut. Tinggal satu tahap lagi menjelang Pilkada 2020.
Sebagai bagian dari masyarakat adat Melayu Jambi, cara bertutur, bersikap sekaligus menempatkan diri adalah ciri dan budaya adiluhung.
Menempatkan pemimpin sering disampaikan didalam Seloko seperti “kayu gedang ditengah dusun. Pohonnya rimbun. Akarnyo tempat duduk besilo”.
Sedangkan para guru sering ditempat bak “obor ditengah malam. Tempat pegi betanyo. Tempat pegi bercerito”.
Menjelang pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2020 (Pilgub), konsentrasi publik mulai mengerucut kepada kandidat yang diusung di Pilgub 2020.
Sembari menunggu pengumuman penetapan dari KPU, pandangan publik mulai melihat personal, pekerjaan yang telah dilakukan dan rencana program diusung para kandidat.
Tidak dapat dipungkiri cara pandang pemilih menggambarkan realitas yang akan dipilih.
Sebelum memasuki perkawinan, ketika masa “curhat-curhatan”, dibangun kesepakatan. Saya bertugas untuk menjadi Kepala Rumah Tangga. Bertugas untuk mencari nafkah. Dan menjadi tulang punggung keluarga.
Namun sebagai orang yang dibesarkan dari tradisi demokrasi, hampir seluruh keluarga besar, para perempuan tetap bekerja.
Ibuku bekerja di pemerintahan. Saudari Ibu tetap bekerja. Ada yang bekerja menjadi guru. Ada yang bekerja di perbankan.
Sedangkan adikku sempat kuliah. Sehingga praktis, tradisi sekolah antara anak perempuan dan anak lelaki tidak pernah dibedakan.
Tanpa sebab, tiba-tiba Kepala Daerah bergumam
“Nah. Itu dia. Mengapalah pentingnya ada dari birokrat. Biar dia paham. Supaya ngomong tidak boleh sembarangan. Kadang keinginan harus sesuai dengan peraturan”, katanya sembari mematikan microphone yang terletak didepannya.
Belum berjalan jauh dari rumah, tiba-tiba datang seorang anak muda. Sang pemuda yang “khawatir” ketinggalan magrib datang kerumahnya.
Sang pria kemudian mengurungkan niatnya ke Mesjid. Kemudian kembali kerumah dan menyambut tamu.
Setelah berbasa-basi sejenak, sang tuan rumah kemudian menyilahkan tamu untuk menjadi imam. Namun sebagai anak muda, dia menyilahkan tuan rumah untuk menjadi imam sholat.
Ada dua peristiwa penting yang menarik perhatian saya. Pertama ketika Jokowi membuat status di FB yang menyebutkan “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangestuti. Dan ketika diwawancara Najwa Shihab ketika memenangkan Pilpres di Istana yang menyebutkan "Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, dan Menang tanpa ngasorake."
Status di FB yang menyebutkan “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangestuti” berkaitan dengan kisruh KPK-Polri.
Dibawah tekanan publik dan KPK yang hendak menolak Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri dan menghadapi tekanan partai yang sudah meloloskannya. Termasuk juga dari DPR-RI yang meminta agar proses BG dilanjutkan.
Entah mengapa Jokowi membuat status di FB tahun 2015.
Ketika Jokowi sering “blusukan” ke tempat-tempat yang menjadi perhatiannya, terbayang cara-cara ini juga dikenal sebelumnya.
Sebelumnya dikenal Sidak. Sidak adalah inspeksi mendadak. Cara pemimpin mengetahui kerja anggotanya di lapangan.
Selain itu juga dengan Sidak. Namun sedikit mirip yang dikenal Turba. Turba berasal dari kata “turun kebawah”.
Turba dan sidak lebih menampakkan agenda resmi pemerintahan yang berkaitan untuk mengontrol kerjanya di lapangan. Dengan cara “Sidak”, atau “turba” atau “blusukan” dapat diketahui bagaimana “Serapan” kegiatan dilakukan. Sekaligus mengetahui bagaimana cara “control” anggota dibawah untuk memastikan di lapangan.
Dalam karya master piece-nya, Prof. Koentjaraningrat (Pak Koen), dijelaskan untuk melihat sebuah kebudayaan suku bangsa dapat dilihat dari berbagai unsur.
Menggunakan istilah “Suku bangsa” untuk melihat kebudayaan di Indonesia kurang tepat. Apabila dilihat dari berbagai unsur pembentuk kebudayaan, maka berbagai yang disebut sebagai “suku bangsa” justru menunjukkan derajat sebagai bangsa.
Menjelang akhir tahun yang lalu, saya berkesempatan datang ke Desa Tanjung Mudo, Kabupaten Merangin. Bermalam di rumah Kepala Desa Tanjung Mudo. Untuk sebuah urusan tanah.
Desa Tanjung Mudo sejak lama saya datangi. Seingat sejak 2008. Bersama-sama dengan 54 Desa kemudian menolak perusahaan untuk menghabisi hutan mereka.
Setelah penolakan, 17 Desa kemudian mengusulkan Hutan Desa. Proses lama yang kemudian disetujui oleh Kementerian Kehutanan.
Setelah pendaftaraan di KPU, para kandidat mulai mendatangi tokoh-tokoh masyarakat (informal leader). Nama-nama seperti Madel, Abdullah Hich, Lohot Hasibuan, Yusuf Majid, Hasan Ismail Ramli Thaha adalah segelintir nama-nama yang didatangi.
Sebagai “safari politik”, sah-sah saja para kandidat mendatangi para tokoh. Selain figur yang didatangi dikenal masyarakat, dukungan yang diberikan merupakan salah satu “pintu” untuk meraih dukungan politik.
Dalam teori tindakan yang disampaikan oleh Max Weber, tokoh ditempatkan dan dapat dibaca sebagai “otoritas tradisional”, “otoritas kharismatik” dan “otoritas legal rasional”.
Mendapatkan kabar 3 orang yang kukenal baik Aristan (calon Walikota Palu, Sulteng), Berry Nahdian Furqon (Calon Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalsel) dan Yohannes Rumpak (Calon Bupati Sintang, Kalbar) merupakan kegembiraan tersendiri melihat pilkada serentak 9 Desember 2020.
Melanjutkan diskusi sebelumnya, didalam mekanisme Mediasi kemudian dilihat. Apakah para pihak bersedia menyelesaikannya didalam mekanisme mediasi atau tidak.
Secara tidak sengaja, ketika penulis menyebutkan berbagai Seloko, istilah dan nama-nama tempat, berbagai kata-kata digunakan merujuk kepada istilah yang digunakan berbagai tempat yang berasal dari istilah Jawa Kuno.
Setelah Partai Golkar memberikan dukungan kepada Cek Endra (CE), Partai Gerindra dan Partai Demokrat kepada Fachrori Umar, kemudian PAN memberikan dukungan kepada Al haris – Abdullah Sani, Akhirnya Setelah mengalami beberapa kali penundaan, PDIP di “last minute”, mengumumkan bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2020. (CE) sebagai Bakal calon Gubernur Jambi. Dan Ratu Munawarah (RM) sebagai Wakil Gubernur Jambi.
Peristiwa pengumuman tidaklah begitu mengejutkan. Beberapa waktu yang lalu, santer keduanya akan diusung PDIP untuk Pilgub 2020.
Akhir-akhir ini, keresahan dirasakan oleh masyarakat Desa Ladang Panjang, Sungai Gelam, Muara Jambi terhadap batas Jambi – Sumsel. Beberapa kali media massa telah memuat keresahan.
Akibat yang paling terasa belum diselesaikan batas Jambi – Sumsel menyebabkan pembangunan belum bisa dilaksanakan. Terutama di Dusun Sawit Mulyo Rejo.
Untuk membantu menjernihkan dan meletakkan posisi wilayah Dusun Sawit Mulyo Rejo, Desa Ladang Panjang, Sungai Gelam, Muara Jambi, penulis ingin urun rembug. Sehingga persoalan yang berlarut-larut dapat diselesaikan menggunakan berbagai perangkat yang bisa digunakan.
Pertama. Menggunakan pengetahuan yang dikenal ditengah masyarakat. Di Jambi sendiri, batas Jambi – Sumsel dikenal dengan Tembo “Sialang belantak besi”. Sialang belantak besi dikenal didalam Tembo yang terpatri didalam website Provinsi Jambi.
Setelah surat dakwaan dibacakan dan kemudian terdakwa memberikan tanggapan (Eksepsi), maka Hakim kemudian menilai. Apakah eksepsi diterima atau tidak.
Diluar dari peristiwa fenomenal, Partai Gerindra yang kemudian berlabuh di Fachori Umar – Safrial (walaupun kemudian perkembangan terbaru menyebutkan Syafril Nursal), hampir pasti dukungan partai sudah menampakkan arah dukungan kepada candidate.
HUKUM Acara pidana mengatur berkaitan dengan proses dan tahapan pelaksanaan hukum pidana dimuka pengadilan. Tahapan dan proses hukum pidana memberikan ruang kesempatan kepada berbagai pihak untuk mencari keadilan (justitelen).
Akhir-akhir ini, hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah Jambi 2020 (Pilkada Jambi 2020) mewarnai wacana publik.
Masa pandemik Corona belum juga berakhir. Tidak ada satupun para pihak yang berani meramalkan kapan pandemik ini akan berakhir.
Dimasa kegamangan dan belum berakhir pandemik corona, dunia Pendidikan juga merasakan getahnya. Pendidikan formal yang dilakukan secara terbuka, tatap muka mengalami pergeseran. Dunia Pendidikan kemudian harus menyesuaikan dengan perkembangan. Memindahkan dunia nyata ke dunia maya.
Namun pelan-pelan kemudian menimbulkan persoalan. Selain angka yang terus menanjak naik, Pendidikan formal yang selama ini dilakukan tidak cukup dengan cara protokol kesehatan.
Maka ide Pendidikan cara biasa kemudian dibuka walaupun dengan menggunakan protokol kesehatan.
Para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda. Namun pada prinsipnya Hukum Pidana adalah hukum yang berisikan norma-norma yang mengatur dan memuat sanksi.