Mendapatkan kabar 3 orang yang kukenal baik Aristan (calon Walikota Palu, Sulteng), Berry Nahdian Furqon (Calon Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalsel) dan Yohannes Rumpak (Calon Bupati Sintang, Kalbar) merupakan kegembiraan tersendiri melihat pilkada serentak 9 Desember 2020.
Teringat memori 20 tahun yang bertemu dengan Ketua Aristan. Anggota Dewan Nasional Walhi. Sebagai sesama Dewan (saya Dewan Daerah), kami bergumul dengan pertarungan pemikiran melihat persoalan lingkungan di Indonesia.
Teringat bait-bait yang dilontarkan “menampakkan” kekuatan diksi kalimat yang membumi. Tajam, menusuk bahkan tanpa tedeng aling-aling.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam “gerakan”, Ketua Aristan “tuntas” bacaan kirinya. Tidak dapat dipungkiri, melihat persoalan rakyat harus menggunakan “pisau bedah” ansos (analisis sosial), “ketimpangan kelas”, “ketimpangan struktur penguasaan tanah”.
Kami lebih banyak diskusi “dengan suara meninggi”, “keras”, bahkan sambil tunjuk-tunjuk dan pukul meja.
Entah berapa banyak teori, idiom magis, kalimat sakti, bersilewaran mengisi perdebatan. Entah berapa gelas kopi untuk menuntaskan cuma “sebait kata’ merumuskan berbagai issu strategis nasional.
Berbagai Pernik-pernik yang dipaparkan membuat Walhi “dituduh merah”. Idiom melekat yang kemudian mengejawantah didalam statuta yang memuat magis penting “Sosialisme Indonesia”.
Pengaruh Aristan di Sulteng masih signifikan. Hampir dipastikan berbagai teman-teman nasional ke Sulteng, agenda bertemu dengan Ketua Aristan tidak pernah ditinggalkan.
Paska periode Ketua Aristan, disambung Ketua Berry yang mampu “mencuri suara” menjadi pemimpin nasional Walhi.
Hingga menjelang pemilihan, sedikit sekali “orang yang yakin”, Ketua Berry mampu menjadi Direktur Eksekutif Nasional. “rasa solidaritas” daerah yang kuat mendukung Ketua Berry, membuat Ketua Berry unggul sedikit dari runner up.
Pemilihan Direktur Eksekutif Nasional Walhi merupakan “ujian terberat” di kawah candradimuka berhasil dilewati. Modal sosial ini merupakan “kekayaan” yang tidak bisa diremehkan.
Di masa Periodenya, issu Hutan Desa sempat memantik polemik dan menjadi wacana nasional. Walhi Jambi Bersama-sama dengan berbagai komponen NGO di Jambi yang mengusung Hutan Desa “sempat disidangkan” di nasional.
Tuduhan Walhi Jambi yang mendukung program nasional memancing perdebatan. Berbagai organisasi nasional sempat “mempersoalkannya”.
Sebagai Dewan Daerah, saya Bersama dengan Alm Arif Munandar (Direktur Walhi Jambi) kemudian ke Jakarta. Bertemu dengan Ketua Berry. Selain mengabarkan pilihan “taktis’ menggunakan konsep negara ditengah “kejumudan” berbagai regulasi yang belum memungkinkan menyelesaikan konflik di areal kehutanan, juga membutuhkan dukungan dari nasional.
Dalam pertemuan “informal’, Ketua Berry menunjukkan “jati diri” sebagai pemimpin nasional. Setelah melihat berbagai resolusi dan berbagai sikap Walhi, maka Eknas Walhi kemudian memberikan dukungan.
Paradigma “system hutan kerakyataan” adalah nilai yang dipegang Walhi. Namun berbagai strategi tetap diserahkan dengan kekuataan advokasi didaerah.
“Apapun yang kalian putuskan, Eknas Walhi Bersama kalian”. Demikian “titah” maupun dukungan yang diberikan.
Ditengah “hujatan”, mendapatkan dukungan dari Eknas Walhi merupakan sebuah “kekuatan moril”. Tidak tergantikan dengan apapun.
Tema Hutan Desa kemudian menjadi mainstream dalam Pemerintahan Jokowi. Berbagai pertemuan, praktis tidak pernah meninggalkan tema ini.
Sedangkan Yohannes kukenal sebagai Direktur Walhi Kalbar. Tipikal sebagai “Advokat” begitu kentara. Dengan tetap berpakaian rapi, bersepatu bersemir “Ditengah-tengah” komunitas Walhi yang berpakaian ala pencinta alam membuat sosok Yohannes begitu menonjol.
Berbagai pertemuan-pertemuan lebih menampakkan diri sebagai “advokat”. Kalimatnya bertutur dan rapi. Jauh dari kesan “urakan”.
Namun aku begitu kaget. Ketika 2019 mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Kalbar, suara yang diraihnya mengagetkan.
Sebagai “pendatang baru” memasuki gelanggang politik praktis, suara diraih tembus 56 ribu. Dengan modal suara yang diraih, Yohannes “melenggang” memasuki DPRD Provinsi Kalbar.
Ketiganya kukagumi rela turun terjun politik praktis. Ditengah “umpatan” para senior yang mampu berteriak di medsos namun “takut turun politik praktis”, ketiganya menunjukkan “petarung sejati”. Bertarung di lapangan. Bukan di medsos.
Dengan jam terbang yang panjang (Aristan sempat menjadi Ketua DPW Nasdem Sulteng), Ketua Berry (Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah) dan Yohannes (Anggota DPRD Provinsi Kalbar), modal politik dan sosial yang kuat ditambah “Gemblengan” kawah candradimuka di Walhi, membuat saya berkeyakinan. Mereka akan “kuat bertarung”. Sekaligus menguji naluri politik praktis di Kepala Daerah.
Selamat bertarung, para ketua. Kutunggu kabar baiknya.