27 September 2020

opini musri nauli : Tokoh Agama menjadi Pemimpin

 


Menurut Plato, negara ideal harus dipimpin oleh seorang Filosof. Seorang Filosof memiliki jiwa untuk mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. 


Pribadi yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan pasti memiliki sifat seperti jujur, amanah, tanggungjawab. Seorang filosof terdapat karakter yang kuat, tahan godaan dan mampu memimpin. 


Makna Filosof juga terdapat dalam diri pemimpin agama dan pemimpin spiritual. Sejarah mengajarkan bagaimana seorang tokoh agama sekaligus juga seorang pemimpin negara. 


Muhammad SAW mampu menjadi pemimpin umat Islam sedunia. Sekaligus menjadi pemimpin negara yang sering disebut sebagai negara madani. Meletakkan prinsip-prinsip bernegara, berlaku adil dengan siapapun, meletakkan hukum diatas kepentingan golongan. Berbagai prinsip seperti membayar pajak termasuk manusia paling taat sekalipun, menghargai hak milik, bersatupadu menghadapi musuh dari luar (nasionalisme), tidak boleh membunuh, tidak ada pembedaan hukuman antara satu dengan yang lain. 


Berbagai prinsip ini kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah. Prinsip-prinsip umum yang termaktub jauh sebelum lahirnya Magna Charta yang berisikan “menghormati kemerdekaan, hak dan kebebasan, melindungi hak milik, menghargai proses hukum dengan menuntut harus disertai bukti dan saksi. 


Magna Charta menjadi landasan yang kemudian dikenal dengan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Prinsip yang kemudian ditetapkan sebagai “Declaration of Human Right” tanggal 10 Desember 1948. Hari yang kemudian dikenal sebagai Hari HAM sedunia. 


Di literatur Islam, berbagai sifat dari Filosof sering ditempatkan sebagai kaum Sufi. Umar bin Abdul Aziz adalah “tokoh inspiratif” didalam melihat relasi antara pemikiran Sufi didalam bernegara. 


Negara “mengurusi kemiskinan”. Orang kaya harus bertanggungjawab terhadap tetangga sekitarnya. Berbagai pajak digunakan untuk melindungi kaum papa. Bahkan rakyat langsung bisa mengadu kepada Sulthan untuk menyelesaikan masalah hidupnya. 


Berbagai negara juga menempatkan tokoh spiritual sekaligus sebagai kepala Negara. Paus sebagai pemimpin Umat Katolik sedunia kemudian menjadi kepala Negara Vatikan. 


Dengan luas Cuma 44 ha dan populasi Cuma 842 jiwa, Negara Vatikan kemudian disebut sebagai negara terkecil diunia. 


Sebagai sebuah negara, maka Vatikan kemudian diakui secara internasional. 


Atau Dalai Lama yang diakui sebagai tokoh Budha masyarakat Tibet kemudian “dikudeta” oleh RRC dan kemudian dicaplok sebagai bagian Provinsi. 


Keteladanan pemimpin agama sekaligus kepala negara dapat dilihat berbagai peristiwa. 


Muhammad SAW sendiri pernah menyatakan “akan memotong sendiri tangan anaknya apabila kedapatan mencuri”. 


Atau kisah “lampu lilin” Umar bin Abdul Aziz yang “mematikan lilin negara” ketika menerima “keluarganya”. 


Bahkan Umar Bin Khatab setiap malam memikul gandum dan mengantarkan sendiri kerumah penduduk sambil bercucuran airmata setelah mengetahui ada penduduknya yang tidak makan. 


Pemimpin agama atau pemimpin spiritual sekaligus kepala negara tidak semata-mata “cuma urusan agama”. Dan menyibukkan diri dalam urusan agama. Dan meninggalkan ragawi urusan dunia. 


Namun “cakap” memimpin sistem pemerintahan, mengurusi ekonomi rakyatnya, tidak rakus mengambil “pundi-pundi” negara, melarang “cawe-cawe” keluarga mengurusi negara. 


Bukan menggunakan “kedok” atau “cover” agama untuk menutupi ketidakmampuan mengurusi negara. 


Bukankah sering diungkapkan “apabila urusan diserahkan bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancuran negara’. Atau dengan istilah lain “right man. Right place”. 


Menempatkan kaum Filsuf atau kaum Sufi atau pemimpin agama dan pemimpin spiritual sekaligus kepala negara dilekatkan sifat-sifat yang mampu memayungi umatnya. Sekaligus rakyat (Memayu Hayung Bawana). 


Mampu menjadi “pohon beringin”. Pohonnya rindang dapat berteduh. Akar kuat tempat duduk besilo”. 


Menempatkan kaum “filsuf” atau kaum sufi atau pemimpin agama dan pemimpin spiritual sebagai kepala negara membuat rakyat menjadi aman, Makmur dan Sentosa. 


Sebagaimana sering diungkapkan dalam Filosofi Jawa “gemah ripah Loh Jinawi. Toto-tenteram. Kerto Rahardjo”. 


Atau seloko Jambi “negeri aman. Padi Menjadi. Rumput Hijau. Kerbo Gepok. Aek tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”. 


Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi, 


Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com