Masa pandemik Corona belum juga berakhir. Tidak ada satupun para pihak yang berani meramalkan kapan pandemik ini akan berakhir.
Dimasa kegamangan dan belum berakhir pandemik corona, dunia Pendidikan juga merasakan getahnya. Pendidikan formal yang dilakukan secara terbuka, tatap muka mengalami pergeseran. Dunia Pendidikan kemudian harus menyesuaikan dengan perkembangan. Memindahkan dunia nyata ke dunia maya.
Namun pelan-pelan kemudian menimbulkan persoalan. Selain angka yang terus menanjak naik, Pendidikan formal yang selama ini dilakukan tidak cukup dengan cara protokol kesehatan.
Maka ide Pendidikan cara biasa kemudian dibuka walaupun dengan menggunakan protokol kesehatan.
Namun baru memulai Pendidikan dengan cara biasa, berbagai seruan kembali terjadi. Entah berapa kali kemudian Pendidikan harus “dihentikan’ dan kemudian dipindahkan dengan cara pertemuan dunia maya.
Memindahkan Pendidikan dengan cara biasa kemudian menggunakan media daring menimbulkan persoalan. Terutama di tingkat Pendidikan dasar.
Sebagaimana diketahui, Pendidikan di tingkat dasar terutama di sekolah umum adalah “kewajiban negara” menyiapkan fasilitas Pendidikan dasar kepada seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban yang termaktub didalam konstitusi yang tegas menyatakan “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Kewajiban ini kemudian “memerintahkan” kepada negara untuk “menyelenggarakan Pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. UU No. 20 tahun 2003 kemudian memerintahkan kepada Pemerintah untuk melaksanakannya.
Lalu bagaimana negara kemudian melaksanakan “kewajiban konstitusi” ditengah pandemik ?
Problema pertama muncul. Apakah kemampuan orang tua untuk “membelikan” HP kepada anaknya ?
Pilihan pertama menyekolahkan anak di sekolah negeri adalah pilihan pragmatis untuk “solusi” pembiayaan. Masih banyak orang tua yang kondisi ekonomi yang terancam. Bahkan ditambah masa pandemik yang membuat “pembelian” HP terutama untuk anak sekolah menjadi persoalan serius.
Lihatlah. Bagaimana Dimas Ibnu Alias, siswa Kelas VII SMP Negeri I Rembang, Jawa Tengah yang Cuma sendirian datang ke sekolah diakibatkan tidak mempunyai HP. Atau Rivaldi R Yampata, Kelas IV SD 016 Tanjung Redeb, Berau. Atau Rusli, SMPN 27 Makassar.
Tentu saja masih banyak berbagai kisah murid yang kemudian tetap ke sekolah disebabkan semata-mata tidak memiliki HP.
Sehingga problema pertama kemudian menjadi problema terbesar yang masih menjadi persoalan.
Di berbagai tempat, signal jaringan menjadi persoalan tersendiri. Berbagai pemberitaan justru menampakkan persoalan sebenarnya.
Lihatlah. Bagaimana SD Desa Tlogoharjo, Kecamatan Giritontro, Wonogiri yang harus menempuh perjalanan yang terjal di bukit Jambul hanya sekedar mencari signal.
Saat belajar di bukit, mereka menggunakan alas tikar. Memanfaatkan terpal yang diikatkan antara empat pohon. Tikar Cuma berukuran 2 x 2 meter. Memuat 5 orang.
Di tingkat perguruan tinggi, SPP mahasiswa tidak mengalami penurunan. Beban orang tua menjadi bertambah besar. Selain “biaya komunikasi” yang membengkak, berbagai kesulitan mulai muncul. Entah “pertemuan’ daring yang justru “menghilangkan” makna Pendidikan itu sendiri, dapat mengurangi kualitas dari lulusan juga menghilangkan esensi dari mata kuliah itu sendiri.
Disisi lain, aplikasi dan biaya komunikasi yang cukup besar bisa menghabiskan “uang belanja” mingguan dari keluarga.
Menyederhanakan Pendidikan daring dengan “memerintahkan” murid sekolah untuk mengikuti Pendidikan via daring adalah melepaskan kewajiban negara. Kewajiban negara untuk menyiapkan infrastruktur dan fasilitas lain sama sekali diabaikan negara.
Negara kemudian memutuskan persoalan yang menyentuh masyarakat banyak justru sibuk “memindahkan” persoalan satu dengan solusi yang lain. Tanpa memikirkan kemampuan orang tua dan kondisi berbagai tempat.
Para perumus kebijakan “hanya mengambil” keputusan dari “ruang ber-AC”, dari Gedung Menara tinggi. Tanpa menyentuh persoalan di lapangan.
Padahal Negara dapat “memerintahkan” kepada infrastruktur telekomunikasi untuk menyiapkan aplikasi dan biaya komunikasi gratis kepada BUMN. Terutama berkaitan dengan Pendidikan. Sehingga problema “aplikasi” dan biaya komunikasi dapat diselesaikan dan tetap menjadi tanggungjawab negara.
Selain itu Negara dapat “mempercepat” membangun infrastruktur komunikasi sehingga dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Masa pandemik tidak dapat dihindarkan. Namun “solusi’ jitu dari pengambil keputusan tetap menggunakan kreasi yang dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Pencarian terkait : Opini musri nauli, musri nauli, jambi, sejarah jambi, politik jambi, hukum adat jambi,
opini lain dapat dilihat di www.musri-nauli.blogspot.com