Tidak dapat dipungkiri, ketika seseorang mendukung klub sepakbola (supporter) disebabkan “kesukaan (ketertarikan)”.
Saya dari dulu suka Real Madrid “semata-mata” kagum dengan berbagai prestasi. Begitu juga putra keduaku yang kagum dengan Ronaldo.
Sebagai “pemain sepakbola”, pernah mengikuti “Akademi Sepakbola” hingga sekarang masih main sepakbola, Kekaguman dengan Ronaldo adalah “skil-nya” yang lengkap.
Entah dengan “gocekan”, aksi-aksi individual, “tandukkan”, driving-nya yang bersih atau “tendangan sudut-nya” yang melengkung.
Berbagai skill yang dimiliki seperti Becham, Lionel Messi ataupun “menjadi palang pintu” seperti Gattuso dan Maldini menjadikan Ronaldo menjadi decak kagumnya.
Entah berapa banyak “youtube” yang ditontonnya. Bahkan dia rela “menyisihkan” sedikit “uang jajannya” untuk membeli buku komik tentang Ronaldo. Saat bersamaan saya mencari buku tentang “filsafat”, “kaum Sufi” dan “tasawuf”.
“Cara Ronald” mencetak gol dengan “kedua tangan dari atas kemudian kebawah” diiringi dengan teriakkan sering dipraktekkan ketika main bola dan mencetak gol.
Berbeda dengan putra bungsuku yang suka “Barcelona” dengan skill Lionel Messi. Kekaguman semata-mata dengan ukuran badan mungil untuk ukuran orang Eropa, mampu meliuk-liuk “melewati” pemain untuk mencetak gol.
Belum lagi “tabungannya” yang disumbangkan ke berbagai kegiatan sosial.
Terlepas kekaguman saya kepada Ronaldo, justru saya lebih suka “memperhatikan” Jose Morinho. Seorang manusia yang mengikrarkan sebagai “special man”.
Dengan membidani “FC Porto”, klub dari Portugal mampu menjuarai Champion. Liga Eropa yang paling ditunggu penonton sepakbola dunia.
Atau dengan “jeli” mengandangkan 9-10 pemain didepan kotak pinalti menyebabkan pemain Barca yang terkenal taktik “tiki-taka” tidak berdaya. Bengong dan tidak mampu menjebol Inter Milan.
Taktik memarkir pemain didepan kotak pinalti kemudian menyebabkan Jose Morinho kemudian “dibully” sebagai strategi “memarkir bis”.
Dengan “parkir bis”, Morinho justru mengandalkan serangan balik. Strategi ini berhasil. Sehingga Inter Milan memaksa pemain Barca mengangkat koper di semi final Champion. Inter Milan kemudian berhasil menjadi juara Champion.
Dalam sepakbola modern, yang ditunggu publik bukanlah semata-mata pemain bintang. Tapi juga “siapa yang menjadi “gelandang serang”, strategi yang diracik manager hingga “kelihaian” dari pemain yang mengemas strategi.
Tidak salah kemudian, sepakbola adalah “organisasi modern”, “managemen organisasi yang paling modern.
Atau kekaguman saya kepada Zidane. Seorang pemain paling lengkap. Menjadi pemain yang meraih tropi Piala Dunia dan Piala Champion.
Bahkan dengan menukangi “Real Madrid”, Zidane mampu menjuarai Champion sehingga dihormati berbagai kalangan.
Namun di Liga Inggeris, saya hanya melihat Manchester United. Terlepas dari “prestasi” yang terus melorot sejak ditinggalkan manager selevel Sir Alex Ferguson, “hati ini” tidak pernah pindah.
Walaupun saya suka ciri khas Liverpool yang tetap setia mengusung permainan Inggris “hit and run”, Liverpool adalah menampakkan permainan khas sepakbola.
“tidak ada pemain” yang terguling-guling kemudian “meraung-raung”. Persis actor drama yang kemudian berteriak meminta kartu kuning kepada wasit. Seperti yang kita saksikan di Liga Italia.
Namun mengamati peristiwa “pemilihan” organisasi kemasyarakatan, berbagai teriakkan “seakan-akan” menutupi “kelemahan kandidat” atau pemimpin yang diusung.
Atau kadangkala sekedar mengukur “militansi” dari pendukung untuk melihat dinamika forum.
Begitu juga berbagai hajatan politik di negeri ini, supporter sepakbola lebih suka teriakkan untuk “menutupi” kegagalan berdialog.
Padahal dengan berbagai rangkaian panjang Pemilu maupun pilkada, sudah memasuki 20 tahun reformasi, Pendidikan politik cuma dikemas dengan “propaganda” tanpa substansi. Tanpa makna.
Rakyat sama sekali tidak dididik untuk melihat “gagasan” ataupun mimpi dari sang pemimpin.
Bahkan sang penggagas malah “menjebak” supporter dengan mimpi-mimpi palsu. Mimpi yang tidak mampu diwujudkan sama sekali.
Sudah saatnya, para supporter menjelaskan “pilihan” untuk mendukung para pemimpin dengan alasan rasional. Alasan yang menjadi “pilihan” dari sang supporter ketika memilih. Sehingga pihak lain menjadi paham. Alasan untuk memilih sang pemimpin.
Padahal uasana yang kami rasakan dalam debat keluarga ketika sang bungsu untuk menjadi supporter Barca. Atau abangnya kemudian mengagumi Ronaldo.
Ataupun alasan saya menjadi suka “Morinho” atau Zidane. Terlepas berbagai prestasi ataupun tidak berprestasi tim yang didukung.
Apabila kita gagal untuk menjelaskan gagasan atau mimpi memilih pemimpin, maka kita harus malu kepada generasi kita.
Bahkan kita harus malu kepada putra-putraku yang selalu “membawa data” untuk menjelaskan “pilihan rasional” memilih klub sepakbola.
Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com