Menjelang akhir tahun yang lalu, saya berkesempatan datang ke Desa Tanjung Mudo, Kabupaten Merangin. Bermalam di rumah Kepala Desa Tanjung Mudo. Untuk sebuah urusan tanah.
Desa Tanjung Mudo sejak lama saya datangi. Seingat sejak 2008. Bersama-sama dengan 54 Desa kemudian menolak perusahaan untuk menghabisi hutan mereka.
Setelah penolakan, 17 Desa kemudian mengusulkan Hutan Desa. Proses lama yang kemudian disetujui oleh Kementerian Kehutanan.
Kedatangan kesana tidak memungkinkan menggunakan mobil umumnya. Paling banter menggunakan motor yang dilingkari bannya harus rantai sepeda motor. Mengingat rute “mautnya”.
Sempat menggunakan naik mobil Hiline, namun para “navigator” harus berteriak untuk memandu driver memilih jalan. Selain tanjakkan yang maut, suara mesin hiline double garden terdengar meraung-raung. Dan itu masih terjadi hingga 2018.
Betapa kagetnya saya kemudian ketika sampai disana. Serasa bermimpi, jalan sudah bisa ditempuh menggunakan mobil saya. Apalagi mobil Avanza, Innova. Bahkan angkutan umum sudah lalu Lalang dan menjadi pemandangan sehari-hari.
Kekaguman saya bukan karena jalan yang sudah dilalui. Namun ketika Kepala Desa menceritakan dengan sedikit haru.
“Padahal KK kami Cuma seratusan kk, bang”, katanya sembari pelan.
“Kalopun untuk hitungan pilkada, tidak berarti apa-apa. Namun keteguhan bapak Bupati yang mau mendengarkan usulan warga, membuat saya senang menjadi kepala Desa. Ada jejak peninggalan di masa pemerintahan saya”, katanya lembut.
Saya Cuma mengangguk kepala. Namun keheranan juga saya rasakan. Perhatian dan perjuangan dari kepala Desa untuk memperjuangkan Jalan di Desanya membuat desa kemudian berhasil mengejar ketertinggalan.
Dengan dibukanya akses jalan untuk angkutan umum, berbagai hasil pertanian seperti sayur-sayuran akan mudah sampai di Jambi. Bahkan untuk hanya kejar pasokan di Bangko, sore ini dipanen, besok pagi, barang hasil pertanian sudah bisa turun untuk dijual ke bangko.
Sebagai “pelancong”, akses terhadap jalannya adalah perhatian penuh saya. Terlepas kita tidak suka dengan polemik di Sumbar, hampir disetiap sudut kampung bahkan kota-kota di Sumbar mudah diakses menggunakan kendaraan roda empat.
Berbagai pembangunan jalan terus dikerjakan. Mudik adalah salah satu contoh, bagaimana kita bisa menyusuri dari Gunung Merapi, Gunung Singgalang, mendatangi Bukittinggi, Padang Panjang, Batusangkar, Payakumbuh kemudian sedikit “turun” ke Danau Singkarak, Danau Maninjau. Kemudian menyusuri pantai barat dari Pariaman dan Painan. Kesemunya bisa kita tempuh dengan waktu yang bisa disusun dengan rapi.
Di Jambi sendiri, waktu tempuh Tembesi – Sarolangun mencapai 102 km bisa ditempuh 2 jam kurang. Atau Bangko -Sungai Penuh yang dahulu bisa mencapai semalaman namun sekarang hanya bisa ditempuh 4-5 jam.
Kesemuanya adalah akses jalan tanpa hambatan. Aspal mulus dan tetap dirawat adalah bukti bagaimana kepala Daerah bekerja untuk rakyatnya.
Tentu saja kita masih bersyukur, Jalan ke Bukit Bulan yang November tahun kemarin masih ketinggalan namun sekarang sudah mulai dikerjakan. Atau jalan ke Air Hitam yang sudah mulai diperbaiki.
Kesemuanya adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Lalu salah saya kemudian hanya memilih kepada orang yang mau memperjuangkan jalan dalam program pembangunan ?
Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, hukum adat jambi, jambi