Akhir-akhir ini, hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah Jambi 2020 (Pilkada Jambi 2020) mewarnai wacana publik.
Berbagai upaya kandidat untuk mendapatkan dukungan administrasi Partai Pengusung terus menjadi pemberitaan di media massa.
Semula Partai Nasdem diklaim oleh salah satu pendukung. Namun kemudian Partai Nasdem kemudian memberikan rekomendasi kepada Fasha – AJB (FA).
Begitu juga Partai Gerindra yang “digadang-gadang” oleh salah satu pendukung namun kemudian Partai Gerindra kemudian memberikan dukungan kepada Fachori Umar – Safrial (FS).
Walaupun belum resmi memberikan dukungan, kecendrungan PDIP kepada salah satu kandidat yang santer di media massa sempat juga “digadang-gadang” oleh pendukung kandidat lain.
Begitu juga Partai Demokrat yang “tarik menarik” antara kandidat. Partai Demokrat belum resmi menyatakan dukungannya.
Issu politik semakin menarik ketika Partai Berkarya yang kemudian kepengurusan DPP Partai Berkarya yang dipimpin oleh Muchdi diterima oleh Menkumham. Padahal Partai Berkarya dipimpin oleh Hutomo Mandala Putra (HMP) memberikan rekomendasi kepada Al Haris – Abdullah Sani (AA). DPP Partai Berkarya kemudian menegaskan, mencabut rekomendasi dukungan dari DPP HPM. Sehingga dukungan AA semula 11 kursi mengakibatkan hanya tinggal 10 kursi.
Sehingga dipastikan, belum ada dukungan yang lengkap terhadap 4 pasang kandidat.
Terlepas dari “siapapun” yang mencukupi dukungan partai untuk mendaftarkan ke KPU awal bulan September, tema kepemimpinan selalu menarik dan menjadi perhatian masyarakat Melayu Jambi.
Ditengah masyarakat, penghormatan terhadap pemimpin ditandai dengan berbagai seloko. “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” adalah penghormatan terhadap pemimpin. Pemimpin ditempatkan sebagai salah satu pucuk “pemutus dari setiap keputusan” terhadap persoalan yang terjadi ditengah masyarakat.
Setiap ucapan, perbuatannya, pandangan, sikap kemudian diikuti orang banyak. Lihatlah setiap bait-bait seloko yang mengikuti terhadap putusan Pemimpin. Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.
Seloko ini juga menggambarkan pemimpin didalam memutuskan sebuah persoalan mampu memberikan solusi dari kehidupan sehari-hari.
Istilah Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah’ menggambarkan pemimpin “pemutus akhir”. Sehingga putusan akhir dapat “menjernihkan aek yang keruh”.
Dalam struktur sosial sehari-hari, Pemimpin diletakkan sebagai posisi yang terhormat. Lihatlah seloko seperti “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata`. Atau dapat juga dilihat dari seloko seperti “Tempat pegi betanyo. Tempat balek becerito”.
Sebagai pemimpin, dipundaknya mempunyai tanggungjawab yang besar. Seloko seperti “memegang lantak nan dak goyang, cermin nan dak kabur, yang punya anak buah/rakyat banyak, yang memasukkan petang mengeluarkan pagi, Yang memuncak, urek nan menunggang dalam negeri” adalah cerminan tanggungjawab yang begitu besar.
Sebagai pemimpin harus bersikap adil. Seloko seperti “Sifatnya harus adil, data bak sawah selupak, licin bak lantai bemban, beranak tiri beranak kandung, tidak tumbuh di papan nak berentak, tumbuh di di duri nak senginjek, tumbuh dimatao dipicingkan, tumbun perut dikempiskan. Kalo perlu beruk dirimbo disusukan, anak pangku diletakkan”, adalah cerminan dari sikap adil.
Pemimpin tidak boleh “bilah bambu. Sekok diinjak. Sekok diangkat”. Pemimpin seperti itu hanya mementingkan keluarga saja. Untuk persoalan yang menimpa keluarga, maka pemimpin tidak bisa berlaku adil. Namun untuk masyarakat umum, memberikan hukuman yang berat.
Pemimpin yang adil akan direstui alam. Alam kemudian memberikan kabar melalui seloko seperti “Padi menjadi. Rumput hijau. Aek jernih. Ikan jinak. Ke aek cemeti keno. Didarat durian gugur”.
Atau wajah negeri ditandai dengan “seloko Elok negeri dengan yang tuo. ramai Negeri oleh yang mudo”.
Namun apabila pemimpin bersikap culas, tidak adil dan merugikan masyarakat, maka “tulah” Datuk Paduko Berhalo kemudian disampaikan melalui sumpahnya. “Tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Ditengah-tengah dimakan kumbang”.
Sumpah laknat Datuk Paduko Berhalo masih berlaku. Dan itu diwariskan dan menjadi ingatan kolektif (memorial collective) masyarakat Melayu Jambi.
Baca : MENCARI PEMIMPIN JAMBI
Advokat. Tinggal di Jambi