30 September 2020

opini musri nauli : Sesendok Semen

 


Tanpa dinyana, tiba-tiba masjid yang sedang dibangun kedatangan “tamu agung”. Konon kabar terdengar sang pembesar. 


Mengaku tinggal di perumahan ditengah kota, kedatangannya ditunggu warga. Kedatangannya dirindukan. Setelah lama merantau. 


Sebelumnya tersiar kabar. Menjelang hajatan penting di negeri ini, dia kembali. Ingin bercengkrama dengan warga. 

Sang tamu agung mendadak menjadi bintang. Persis artis yang kemudian dibicarakan orang sekampung. 


Setiap tingkah lakunya menjadi sorotan. Menjadi perhatian orang. Menjadi bintang yang menarik perhatian. 


Menjelang sholat Jumat (jumatan), terdengar “meraung-raung” sirine mobil pengawal tamu agung. Terlihat kesibukan para pengawal sang tamu. Sibuk mengatur barisan dan kemudian menjadi pagar betis memasuki masjid. Masjid yang tengah dipugar setelah 20 tahun lebih tidak pernah dipugar. 


Tidak ada yang istimewa dari peristiwa itu. Selain memang dikenal warga, sang tamu agung khusuk mendengarkan ceramah Jumatan. 


Saya kemudian membayangkan. Bagaimana sukacitanya warga. Kedatangan tamu agung yang sudah lama dinantikan. 


Tentu saja heboh dengan kedatangan tamu agung. Wargapun pasti bersuka cita. 


Belum usai saya membayangkan, tiba-tiba teman disebelah saya berujar. 


Alah !!!.. Tidak usah didengarkan. Dia datang menjelang hajatan be. Jangankan membantu masjid. Sesendok semen be dak pernah mau bantu, katanya kesal. 


Sebagai panitia pembangunan masjid, ujaran ini sekedar mengingatkan saya. Agar jangan terpukau dengan “gemerlapnya” protokoler. 


Dan sebagai panitia pembangunan masjid, tentu saja dia hapal. Siapa saja yang menyumbang. Dan siapa saja yang tiba-tiba menjadi bintang. 


Padahal sebagai bintang menyumbang sesendok semenpun enggan. Dan panitia pembangunan masjid yang kemudian menyeletuk disamping mengingatkan. 


Akupun tertawa. Bayanganku seketika buyar. Menjadi tempat omelan panitia pembangunan masjid. 


Konsentrasipun pecah. Membayangkan yang heroik, gegap gempita menjadi ajang sumpah serapah. 


Hajatan memang meninabobokkan orang. Namun sang panitia pembangunan masjid terus mengingatkan saya. Agar tidak terpesona dengan hajatan penting. 


Dan akupun tersadar. Seakan-akan tertampar pipiku dengan keras. Agar tidak terpesona dengan gemilau bintang. Apalagi cuma datang menjelang hajatan. Itupun enggan menyumbang sesendok semen. 


Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi, 


Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com