Diluar dari peristiwa fenomenal, Partai Gerindra yang kemudian berlabuh di Fachori Umar – Safrial (walaupun kemudian perkembangan terbaru menyebutkan Syafril Nursal), hampir pasti dukungan partai sudah menampakkan arah dukungan kepada candidate.
“Kecendrungan” PAN ke Haris-Sani sudah memantapkan langkahnya. Begitu juga Partai Demokrat yang sudah jauh-jauh hari dinyatakan oleh Partai Demokrat Provinsi Jambi.
Terlepas PDIP belum resmi memberikan dukungan, namun arah PDIP ke Cek Endra – Ratu Munawarah sudah mantap.
Berbeda dengan bacaan publik terhadap dukungan dari partai yang berkonsetrasi kepada kandidat. Saya justru menyoroti dari pengalaman panjang pemimpin partai yang menjadi “panglima perang” mengendalikan pertempuran.
Sekedar gambaran, Edi Purwanto yang menggawangi PDIP berhasil meraup 9 kursi DPRD Provinsi Jambi. Pertarungan “senyap” yang kemudian berhasil meraih Ketua DPRD Provinsi Jambi. Belum lagi PDIP yang masih tetap mengirimkan wakilnya ke Senayan. Sebuah prestasi yang tidak boleh diremehkan.
Begitu juga partai Gerindra yang berhasil meloloskan SAH menjadi incumbent dan tetap duduk di DPR-RI. Dan tentu saja berhasil meraih wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi.
Selain itu, Partai Demokrat dipimpin oleh Burhanuddin Mahir (Cik bur) tidak boleh dianggap enteng. Dengan pengalaman panjang, 2 periode Ketua DPRD Kabupaten dan 2 periode Bupati, kemampuan politik “cik bur” tidak boleh diremehkan. Cik Bur juga meraih posisi penting Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi.
Sementara PAN dipimpin Bakri berhasil melewati “badai hebat” paska 2017. PAN tetap mengirimkan utusannya ke DPR-RI.
Sedangkan Partai Golkar yang tetap menempatkan sebagai wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi justru “meledak suaranya” di DPR-RI. Partai Golkar berhasil menambah satu kursi sehingga mendapatkan dua kursi untuk DPR-RI.
Partai Nasdem “walaupun adem-adem” namun mampu mengirimkan satu kursi untuk DPR-RI.
Sedangkan PKS selain berhasil memenangkan beberapa bupati di Jambi juga berhasil menjadi penentu arah dukungan pilgub di Jambi. Jauh-jauh hari sudah menentukan dukungan sehingga “konsentrasi” pilgub lebih tenang.
Sedangkan PPP justru berhasil menjadikan Evi Suherman menjadi anggota DPRD Provinsi Jambi.
Walaupun Partai Hanura dan Partai Berkarya berhasil menempatkan wakilnya di DPRD Provinsi Jambi, namun “uji militansinya” berhasil dilalui.
Dengan membaca data-data, maka dipastikan, “pertarungan sesungguhnya” adalah “pemimpin jenderal” yang sudah kenyang makan asam garam politik. Atau dengan kata lain, para jenderal lapangan sudah mumpuni memimpin pasukannya.
Namun yang menarik adalah “kemana arah dukungan” Fasha – AJB berlabuh di Pilgub Jambi 2020.
Sebelum “menentukan arah” dan kecendrungan dukungan yang diberikan maka harus kilas balik dan mencatat peristiwa sebelumnya.
Secara politik, hanya Ratu Munawarah dan Syafri Nursal yang bukan berlatarbelakang kepala Daerah/wakil Kepala Daerah.
Lihatlah. Fachori Umar (Gubernur), Fasha (Walikota Jambi), AJB (walikota Sungai Penuh), Cek Endra (Bupati Sarolangun), Al haris (Bupati Merangin), Safrial (Bupati Tanjabbar) dan Abdullah Sani (Wakil Walikota Jambi). Sehingga dipastikan “relasi” pertemanan atau hubungan politik sudah terjalin 5 – 10 tahun terakhir.
Dengan melihat rentang 5 – 10 terakhir maka sungguh “memalukan” apabila adanya “gesekkan” diantara kandidat.
Sebagai contoh ketika Fasha – AJB tidak memungkinkan untuk mendaftarkan ke KPU, maka dukungan dari Fasha kemudian dilihat arah dan memberikan dukungan.
Namun yang unik, ketika sebuah opini yang membangun “asumsi” tanpa berdasarkan kepada realitas politik.
Lihatlah bagaimana sebuah opini yang menyebutkan “tapi.. consensus itu sulit diwujudkan, mengingat lingkaran Haris kurang menyukai Figur Fasha”.
Apakah ada data atau peristiwa politik yang terjadi sehingga dibangun asumsi dengan menempatkan “lingkaran haris kurang menyukai Figur Fasha” ?
Kalaupun ada dan “hanya obrolan warung kopi” yang mungkin sempat terdengar, apakah itu mewakili kepentingan politik Al haris – Abdullah Sani. Apakah obrolan itu bisa dipertanggungjawabkan sebagai “arah dukungan politik” ?
Atau jangan-jangan itu Cuma obrolan warung kopi yang “menjadikan diskusi politik menjadi hangat”.
Sebelum menjawab terhadap asumsi yang telah disampaikan, mari kita melihat realitas politik yang terjadi.
Pada Jambi Independent tanggal 27 Mei 2019 disebutkan “Untuk diketahui, Fasha dan Al Haris, memang sudah lama bersahabat. Bahkan persahabatan mereka jauh sudah terjalin sebelum Fasha menjadi Wali Kota Jambi dan Al Haris menjadi Bupati Merangin.
Bahkan, di tahun 2017, Al Haris dan Fasha sama-sama mengambil S3 jurusan ilmu pemerintahan di IPDN. Keduanya sekampus. Dan, keduanya kini menyandang titel Dr dari kampus yang sama.
Sehingga berdasarkan data yang telah dipublish, maka “asumsi” yang menyebutkan “lingkaran Haris kurang menyukai Figur Fasha”, terbantahkan dengan data yang memaparkan sebaliknya.
Atau dengan kata lain “obrolan warung kopi” yang tidak dapat dijadikan peristiwa politik terbantahkan dengan peristiwa politik. Peristiwa politik adalah peristiwa penting dan dapat dijadikan sumber analisis didalam melihat realitas politik.
Berbeda dengan obrolan warung kopi yang cuma enak untuk meneguk kopi.
Menjadi lucu dan memalukan apabila “obrolan warung kopi” dijadikan analisis politik dan kemudian mengabaikan peristiwa politik.
Menempatkan “obrolan warung kopi” adalah sebuah kegembiraan fanatik para peneguk kopi. Namun menjadi “bobot’ yang jauh dari kaidah akademik kemudian dijadikan dasar untuk menilai peristiwa politik.
Sebagai bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi kaidah akademis, berbagai peristiwa dapat ditempatkan sebagaimana mestinya.
Dalam contoh yang lain, lihatlah bagaimana kelakuan para “tim sukses” menjelang pilgub. Bukankah sudah jamak kita lihat bagaimana “kelakuan” timses yang sibuk berselfi-ria bertemu dengan tokoh-tokoh penting partai.
Sebagai peristiwa “selfie-ria” bertemua dengan tokoh partai harus ditempatkan sebagai peristiwa biasa. Tidak perlu menjadi heroik dan kemudian “membumbung rasa senangnya’. Apalagi kemudian dianalisis dari “selfie-ria”.
Namun yang harus ditangkap adalah “dukungan partai”. Itu adalah data yang kemudian harus dibaca sebagai “data akademik”. Bukan “selfie-ria” yang kemudian dianalisis.
Pilgub Jambi 2020 membuka mata saya. Siapa yang menggunakan “analisis warung kopi atau “Selfie-ria” sebagai bahan analisis. Dan siapa yang menggunakan data sebagai ‘pisau analisis” memotret politik kontemporer di Jambi.
Meminjam Istilah Tiongkok. Pertempuran yang paling baik adalah peperangan tanpa setetes darah sedikitpun. Bukan “siapa yang memenangkan peperangan dengan jumlah pasukan.