Didalam berorganisasi, tidak dapat disangkal, cita-cita, harapan, keinginan yang disampaikan para kandidat ditunggu para anggota. Dalam istilah keren disebut “mimpi” dari pemimpin untuk mengurusi organisasi.
Ada yang berapi-api bermimpi “punya sekretariat”. Ada yang berambisi “punya kantor”. Ada yang mengajak orang memilih dengan “kebersamaan”. Ada yang mengajak “memilih dengan hati Nurani”.
Sebagai slogan sih, ok-ok saja. Dan itu sah untuk meraih dukungan dari anggota.
Namun ketika kandidat yang diusungnya cuma “berpolesan” wajah, isi otak yang tidak muncer, naik kendaraan mewah ditengah anggota sudah beberapa kali terbukti.
Hanya memegang SK organisasi yang menyatakan dia sebagai “leader” namun organisasi kemudian melempem.Sudah banyak sekali contohnya.
Sang “leader” justru menikmati kekuasaan. Bisa bertemu dengan berbagai petinggi. Dihormati. Disanjung-sanjung. Dipuja-puji sana-sini. Namun cuma “sekedar” kantorpun tidak punya.
Lalu apakah orang yang memilih sang leader kemudian menjadi tolol ?
Tidak. Siapapun yang memilihnya, tidak tepat dikatakan tolol. Memilih adalah hak. Dan siapapun tidak boleh “memaksa” untuk memilih. Baik dengan cara kekerasan ataupun dengan hasutan.
Pemilih yang telah memilih sang “leader” kemudian terjebak dengan ujaran leluhur nenek moyang bangsa Indonesia.
Memilih “kucing dalam karung”.
Istilah memilih “kucing dalam karung” adalah istilah yang menggambarkan orang memilih hanya “mendengarkan suara kucing”. Tanpa pernah melihat “apakah kucing” itu hitam, belang-belang atau putih.
Apakah kucing itu “kucing lokal”, kucing blasteran atau Cuma kucing biasa.
Suara kucing hanya memastikan “memang itu suara kucing”. Namun apakah kucing itu hanya melihat tikus yang berkeliaran, kucing yang takut menangkap tikus atau Cuma kucing yang mengintai ikan dimeja makan.
Istilah memilih “kucing dalam karung” adalah sindiran. Bahkan yang lebih tragis adalah hinaan kepada orang yang hanya memilih “tanpa melihat wujud asli” dari sang kucing.
Memilih “kucing dalam karung” adalah perumpamaan terhadap “orang” yang memilih tanpa memperhatikan “wujud asli” kucing sebagai bentuk “memilih kucing” untuk dirumah.
Dalam semangat politik lokal (Pilkada), memilih kucing dalam karung diumpamakan sebagai “memilih” tanpa melihat rekam jejak maupun “siapakah dia sebenarnya”.
Publik kemudian “dipaksa” untuk memilih dengan melihat “polesan wajahnya”, suara gemuruh para supporter. Bahkan abai terhadap “rekam jejaknya”.
Memilih kucing dalam karung persis sebagaimana kisah memilukan ketika sang “leader” lebih menikmati kekuasaan daripada mengurusi anggota organisasi. Sang “leader” asyik menikmati dunia kepopulerannya dan mengabaikan anggotanya.
Namun ketika sang “leader” telah diberikan kepercayaan untuk memimpin organisasi cuma “polesan” wajah namun tanggungjawab tidak diembankan kepadanya menjadi tidak pantas menjadi “leader”.
Dan alangkah memalukan bangsa ini. Ketika “sang leader” yang dipilih bak “memilih kucing dalam karung” kemudian dipilih kembali.
Cerita apa yang hendak kita tuturkan kepada generasi kita.
Bukankah generasi setelah kita akan terus menertawakan. Betapa tololnya “generasi kita” cuma memilih “kucing dalam karung”.
Dan saya memilih untuk tidak ditertawakan oleh anak-cucu saya.
Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat : www.musri-nauli.blogspot.com