Di sebuah ruang tamu sederhana di Menteng, Jakarta, enam tokoh bangsa berkumpul. Aroma kopi pekat dan asap rokok kretek mengepul, membaur dengan suasana tegang yang memicu perdebatan sengit. Tema yang mereka diskusikan begitu genting: pemimpin yang menumpuk kekayaan pribadi, menyerahkan sumber daya alam kepada asing, dan membiarkan rakyat tetap miskin.
Soekarno: Api Revolusi yang Tak Padam
Soekarno, dengan karisma dan suaranya yang menggelegar, memulai perdebatan. Ia berdiri tegak, tangannya menunjuk ke depan seolah sedang berpidato di hadapan ribuan rakyat.
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Betapa malangnya nasib kita! Setelah berabad-abad dijajah, kita kini menghadapi musuh yang tak kalah bahayanya: komprador! Para pemimpin yang menjual kekayaan ibu pertiwi demi pundi-pundi pribadi. Mereka biarkan bangsa asing mengeruk minyak, timah, dan emas kita, sementara rakyat kita tetap kelaparan. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat Proklamasi 17 Agustus 1945! Ini adalah musuh dari marhaenisme yang kita perjuangkan! Saya katakan, jika kita membiarkan ini terjadi, maka revolusi kita hanyalah omong kosong! Kita harus bangkit, kita harus berani menasionalisasi semua aset asing! Kita harus menempatkan rakyat, kaum marhaen, sebagai pemilik sejati kekayaan bangsa ini!"
Mohammad Hatta: Rasionalitas dan Keadilan Ekonomi
Hatta, dengan tenangnya, menyimak setiap kata Soekarno. Ia menunggu sejenak, lalu berbicara dengan nada yang lebih terukur, namun penuh bobot.
"Bung Karno, semangat revolusi memang penting, tapi kita tidak bisa hanya berbekal semangat. Masalah ini bukan sekadar soal pengkhianatan moral, melainkan juga kegagalan sistematis. Kekayaan alam kita memang melimpah, tapi jika dikelola oleh segelintir orang, baik itu asing maupun 'pemimpin' kita sendiri, hasilnya akan sama: ketidakadilan. Solusinya bukan hanya dengan menasionalisasi, melainkan dengan membangun fondasi ekonomi yang kuat. Kita harus kembali pada asas kekeluargaan dan gotong royong. Kita harus membangun koperasi! Dengan koperasi, rakyat menjadi pemilik modal, menjadi pengelola, dan menjadi penerima manfaat. Kekayaan alam harus dinikmati bersama, bukan oleh segelintir elite. Ini adalah jalan menuju demokrasi ekonomi yang sesungguhnya."
Tan Malaka: Jalan Radikal Revolusi Proletariat
Tan Malaka, yang selalu memandang masalah dari sudut pandang yang lebih radikal, menukas dengan suara tajam.
"Bung Hatta, Bung Karno, perdebatan kita tidak akan tuntas jika kita tidak melihat akar masalahnya! Ini adalah penyakit kapitalisme-imperialisme yang sudah mendarah daging. Para pemimpin yang korup itu hanyalah boneka, kaki tangan dari kaum borjuis asing yang ingin terus menguasai kita. Mereka sengaja menciptakan kemiskinan agar rakyat terus bergantung pada mereka. Solusinya bukan dengan koperasi yang bersifat tambal sulam. Kita harus melakukan revolusi total! Kita harus menghancurkan sistem kapitalisme yang busuk ini. Kita harus merebut semua aset produksi, dari pabrik hingga tambang, dan menyerahkannya kepada kaum buruh dan tani! Madilog mengajarkan kita untuk berpikir logis dan berani mengambil langkah radikal. Kita harus berdiri di atas kaki sendiri, tanpa campur tangan asing, dan membangun Republik Indonesia yang benar-benar merdeka!"
Mohammad Natsir: Landasan Moral dan Etika Islam
Natsir, dengan ketenangan dan kebijaksanaannya, mencoba membawa perdebatan ke dimensi lain. Ia menganggukkan kepala, menghormati pandangan semua, namun tetap pada pendiriannya.
"Saudara-saudara, perdebatan ini penting, tapi kita jangan sampai melupakan landasan moral kita. Sebagai bangsa yang beragama, kita harus kembali pada nilai-nilai luhur. Kekayaan itu adalah amanah dari Allah SWT. Pemimpin yang menumpuk kekayaan pribadi, yang berlaku curang, telah mengkhianati amanah itu. Mereka tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga melanggar ajaran Islam. Jika kita ingin mengubah nasib bangsa, kita harus mulai dari diri sendiri. Kita harus kembali pada Al-Qur'an dan Hadits, dan mendidik rakyat untuk menjadi pribadi yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Pemimpin adalah pelayan umat, bukan raja. Kita harus bersatu sebagai umat untuk melawan kezaliman dan membangun masyarakat yang berlandaskan moralitas."
Sutan Sjahrir: Sosialisme Demokrat dan Pendidikan
Sjahrir, dengan suaranya yang lembut namun penuh pemikiran, menawarkan jalan yang berbeda.
"Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tan Malaka, Bung Natsir, saya kira kita semua setuju bahwa masalahnya sangat serius. Tapi, kita harus berpikir realistis. Kita tidak bisa menghancurkan sistem begitu saja, itu hanya akan menimbulkan kehancuran. Kita juga tidak bisa hanya mengandalkan koperasi tanpa adanya pengawasan. Kita harus membangun demokrasi yang kuat. Dengan demokrasi, rakyat bisa mengawasi pemimpin mereka, menuntut pertanggungjawaban, dan mengganti pemimpin yang korup melalui mekanisme yang sah. Kita harus membangun sosialisme demokratis, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir elite. Dan yang terpenting, kita harus fokus pada pendidikan. Rakyat yang cerdas dan berpendidikan tidak akan mudah dibohongi oleh janji-janji palsu. Mereka akan tahu hak-hak mereka dan berani menuntutnya."
Haji Agus Salim: Kearifan dan Integritas Diri
Haji Agus Salim, yang sudah lanjut usia, mendengarkan perdebatan itu dengan saksama. Ia lalu berujar dengan penuh kearifan.
"Saudara-saudara, semua yang kalian sampaikan benar. Tapi, kita jangan lupa, pemimpin yang baik itu lahir dari rahim rakyat yang baik. Masalahnya bukan hanya pada pemimpin yang korup, melainkan juga pada kita semua. Kita terlalu mudah menjual suara kita, terlalu mudah tergiur janji-janji, terlalu mudah kehilangan integritas. Jong Islamieten Bond mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang berakhlak, yang tidak mudah terpengaruh oleh godaan duniawi. Kita harus kembali pada semangat perjuangan yang tulus, tanpa pamrih. Pemimpin harus menjadi pelayan rakyat, bukan tuan. Perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri, dari setiap individu. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun Indonesia yang benar-benar merdeka dan bermartabat."
Perdebatan panjang itu berakhir tanpa kesimpulan tunggal. Setiap tokoh mempertahankan pandangannya, namun mereka semua menyepakati satu hal: perjuangan melawan ketidakadilan dan korupsi belum selesai. Tantangan ini akan terus ada, dan rakyat harus terus berjuang untuk memastikan kekayaan negeri ini dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir elite.