Mengibarkan bendera bajak laut One Piece dan fenomena di atas lapangan sepak bola adalah dua sisi koin yang sama-sama menarik untuk dianalisis. Terutama dalam konteks nasionalisme dan keindonesiaan. Memang terlihat kontradiktif, tetapi sebenarnya memiliki benang merah yang kuat.
Mengibarkan bendera One Piece bukan sekadar hobi atau gaya-gayaan. Bagi sebagian orang ini bisa menjadi bentuk pembangkangan sipil yang halus atau simbolisme modern. Bendera tersebut dengan tengkorak khasnya, melambangkan kebebasan, petualangan, dan perlawanan terhadap sistem yang dianggap opresif atau tidak adil.
Dalam konteks Indonesia bisa diartikan sebagai bentuk kritik terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, atau politik tanpa harus menggunakan simbol-simbol perlawanan yang tradisional.
Ini adalah cara generasi muda mengekspresikan ketidakpuasan mereka secara kreatif nasionalisme mereka tidak diwujudkan dalam cara-cara yang konvensional.
Mereka mungkin tetap mencintai Indonesia tetapi mereka juga ingin melihat Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bebas.
Jadi mengibarkan bendera One Piece tidak serta merta berarti menolak nasionalisme. Melainkan menantang definisi nasionalisme yang kaku dan mendefinisikan ulang loyalitas mereka terhadap negara.
Sebaliknya fenomena di stadion sepak bola menunjukkan nasionalisme yang sangat kental dan emosional.
Ketika tim nasional berlaga, bendera Merah Putih berkibar di mana-mana dan seluruh stadion bergemuruh meneriakkan nama Indonesia. Ini adalah bukti bahwa nasionalisme kita tidak pernah hilang.
Fenomena ini menarik karena dua alasan. Pertama. sepak bola adalah “ritual” modern yang mampu mempersatukan berbagai suku, agama, dan latar belakang sosial.
Di stadion, semua perbedaan itu pudar, dan yang ada hanyalah satu identitas: Indonesia.
Kedua, sepak bola sering kali menjadi “katarsis” kolektif, tempat di mana emosi-emosi positif (harapan, kebanggaan) dan negatif (kekesalan, frustrasi) bisa diekspresikan bersama-sama secara aman.
Namun ini juga menunjukkan bahwa nasionalisme kita sering kali bergantung pada momen-momen tertentu atau sentimen kolektif yang kuat.
Jadi meskipun nasionalisme itu nyata wujudnya bisa sangat berbeda. Dari yang membara di stadion hingga yang tersembunyi di balik simbol-simbol modern.
Penggunaan bahasa Indonesia yang meluas bahkan oleh orang asing adalah bukti lain dari kekuatan keindonesiaan yang luwes (soft power).
Jika dulu nasionalisme dibangun melalui perjuangan fisik kini ia juga terbangun melalui kekuatan budaya.
Bahasa Indonesia telah menjadi “cerita yang hidup di dunia maya” karena beberapa alasan. Pertama, konten-konten kreatif berbahasa Indonesia (film, musik, serial, dan konten YouTube) semakin mendunia. Kedua, komunitas daring yang besar membuat orang asing tertarik untuk belajar bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi dan berinteraksi.
Ini adalah bentuk nasionalisme yang lebih modern dan global. Tanpa harus dipaksakan, bahasa Indonesia menyebar dan menjadi jembatan bagi orang-orang dari berbagai negara. Itu adalah bukti bahwa identitas keindonesiaan kita tidak hanya kuat di dalam, tetapi juga semakin diakui .
Selain itu Keramahan penduduk Indonesia adalah fondasi budaya yang kuat yang menopang keindonesiaan kita. Menunjukkan bahwa identitas kita tidak hanya dibangun dari hal-hal besar seperti bahasa atau bendera, tetapi juga dari interaksi sehari-hari yang sederhana dan tulus.
Keramahan ini sering kali menjadi daya tarik utama bagi wisatawan dan ekspatriat. Ini menunjukkan bahwa keindonesiaan adalah tentang empati, toleransi, dan gotong royong.
Di tengah berbagai tantangan, keramahan ini menjadi perekat sosial yang membuat kita tetap terhubung satu sama lain.
Dengan demikian tidak ada keraguan tentang nasionalisme dan keindonesiaan rakyat Indonesia.
Wujudnya saja yang beragam. Kadang ia muncul dalam bentuk kritik yang disimbolkan dengan bendera bajak laut, kadang ia meledak dalam semangat kolektif di stadion, dan kadang ia menyebar secara halus melalui bahasa dan keramahan. Semua itu adalah cerminan dari identitas bangsa yang dinamis dan terus berkembang.