30 Juli 2025

opini musri nauli : Hak cipta lagu


Fenomena restoran Mi Gacoan yang selalu ramai dengan antrean panjang tak hanya dikenal karena menu mi pedasnya, tetapi juga suasana yang hidup dengan alunan musik yang diputar. Namun, di balik keramaian dan kenikmatan bersantap, muncul pertanyaan penting terkait aspek hukum, khususnya mengenai hak cipta lagu yang diperdengarkan di tempat usaha seperti Mi Gacoan.


Pemutaran lagu di tempat umum atau komersial seperti restoran, kafe, atau gerai makanan cepat saji melibatkan penggunaan karya cipta yang dilindungi undang-undang. Di Indonesia, dasar hukum utama yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta).


Dalam konteks hak cipta musik, penting untuk memahami dua jenis hak utama. Hak Moral: Hak ini melekat secara abadi pada pencipta dan tidak dapat dialihkan. Hak moral mencakup hak untuk tetap mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya, hak untuk melarang perubahan ciptaan, dan hak untuk melarang penggunaan ciptaan yang bersifat merugikan kehormatan atau reputasi pencipta. Dan Hak Ekonomi: Hak inilah yang menjadi fokus utama dalam kasus pemutaran lagu di Mi Gacoan. Hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaannya. Dalam konteks musik, hak ekonomi mencakup hak untuk melakukan pengumuman atau pendistribusian ciptaan kepada publik. Pengumuman ini bisa berupa penyiaran, pertunjukan, termasuk pemutaran lagu di tempat komersial.

opini musri nauli : mentaro

 


Seloko Mentaro dikenal masyarakat di daerah Timur Jambi. Mentaro adalah penanaman pinang yang disusun berbaris. Ditanami sedikit rapat. Untuk menjadi batas tanah. 


Mentaro juga mirip dengan pinang belarik. Belarik artinya berbaris. Dikenal di dareah Tengah Jambi. Dapat ditemukan di berbagai tempat di Tebo.  Mentaro atau pinang belarik juga mirip dengan kleko. Istilah Kleko ditemukan di daerah uluan Masyarakat Jambi. 


Baik mentaro, pinang belarik atau kleko merupakan ajaran, perilaku, hukum, dan nilai yang sangat sarat dengan nilai-nilai alam sekitarnya. Sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Melayu Jambi mengambil inspirasi dari tumbuhan di sekitar mereka untuk merumuskan kearifan lokal dan pedoman hidup.


"Mentaro" adalah tanda atau penanda tradisional yang digunakan untuk membatasi tanah. Ia berfungsi sebagai indikator yang jelas mengenai kepemilikan atau penggunaan yang ditetapkan untuk sebidang tanah. Praktik ini melibatkan penanaman jenis vegetasi tertentu, seperti pinang, jelutung, kelapa tanah tumbuh, andong, atau tanaman khas lainnya, untuk menciptakan batas yang terlihat dan diakui. Metode ini tidak hanya menetapkan batas fisik tetapi juga memiliki bobot budaya dan hukum dalam masyarakat. 

opini musri nauli : Debat Sengit Empat Bapak Bangsa: Menentukan Arah Kedaulatan (Perdebatan Imajiner)



Jakarta, Juli 1945 – Di tengah gejolak kemerdekaan yang kian membara, sebuah pertemuan rahasia digelar di salah satu sudut kota Jakarta. Udara panas dan lembap malam itu terasa semakin gerah oleh ketegangan yang pekat di dalam ruangan. Asap rokok mengepul tipis, berbaur dengan aroma kopi pekat, menambah sesak suasana. Mata-mata tajam saling beradu pandang, tak satu pun menunjukkan tanda-tanda menyerah. Bukan sekadar diskusi biasa, melainkan adu gagasan nan sengit antara empat tokoh kunci pergerakan nasional: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tan Malaka, dan Bung Sutan Sjahrir. Mereka berkumpul bukan untuk bersepakat dari awal, melainkan untuk memperdebatkan satu hal krusial: bagaimana sesungguhnya kedaulatan bangsa ini harus diraih dan dipertahankan, agar tak sejengkal pun tanah air kembali jatuh ke tangan penjajah.


Bung Karno: (Membuka dengan suara berapi-api, matanya menyorot tajam ke sekeliling ruangan) Saudara-saudaraku! Kita sepakat satu hal: kemerdekaan adalah harga mati! Tapi bagaimana kita akan meraihnya? Dengan menunduk pada tipu daya Jepang? Atau menanti belas kasihan Sekutu? Rakyat sudah muak dengan janji-janji kosong! Kita harus segera menyatakan kemerdekaan, secepatnya!

opini musri nauli : Amerika Kita Setrika - Inggeris kita Linggis (Wawancara Imajiner: Nasionalisme dan Perlawanan terhadap Barat)

 


Moderator: Selamat pagi, Bung-bung pejuang kemerdekaan yang saya hormati. Sebuah kehormatan bisa berkumpul bersama Anda hari ini. Tema diskusi kita adalah nasionalisme dan strategi perlawanan terhadap dominasi Barat. Kita mulai dengan Bung Tan Malaka.


Tan Malaka: (Menyesap kopi, pandangan tajam, sedikit menyeringai) Nasionalisme bagi saya bukan sekadar sentimen manis atau bendera berkibar. Ia adalah kesadaran kelas yang membakar! Kita melawan Barat bukan hanya karena mereka penjajah, tapi karena mereka representasi kapitalisme dan imperialisme yang menghisap darah rakyat! Perlawanan harus total, menyeluruh, dan membumi. Ia harus melibatkan massa, jutaan jiwa yang bangkit, bukan hanya segelintir elite berjas di meja perundingan. Slogan "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika" itu bukan basa-basi, Bung! Itu adalah metafora perlawanan yang radikal, yang mencabut akar-akar dominasi mereka hingga ke fondasinya! Kita harus menghantam fondasi ekonomi dan politik mereka di tanah kita ini sampai mereka tak punya pijakan lagi!