Di tengah gelora kemerdekaan yang baru kita rebut, di saat keringat dan darah para pejuang masih membasahi bumi pertiwi, terbersitlah kegelisahan di hati kami, para pelayan rakyat yang mengemban amanah. Bukan lelahnya perjuangan yang kami rasa, melainkan amarah yang membara, melihat kesombongan yang kini menyelimuti singgasana kekuasaan.
Mohammad Hatta: Sang Pemikir yang Tersakiti
"Saudara-saudara sekalian, hati kecil saya merintih. Tatkala kita bersusah payah merumuskan dasar-dasar negara, berlandaskan akal sehat dan moral Pancasila, kini kita disuguhi pemandangan yang memilukan. Kekuasaan, yang seyogianya menjadi alat pengabdian kepada rakyat, justru diperalat demi keangkuhan pribadi. Di mana letak kerendahan hati dan pertanggungjawaban kepada jutaan jiwa yang merindukan keadilan dan kemakmuran? Sungguh, ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita luhur yang telah kita tanamkan dengan susah payah."
Soekarno: Guntur Pembakar Semangat yang Terkhianati
"Bung Hatta benar! Saudara-saudari sebangsa dan setanah air! Darahku mendidih! Kita telah bersatu padu, menggemakan Proklamasi di seluruh pelosok Nusantara, bukan untuk tunduk pada kehendak seorang pribadi yang merasa dirinya tak bercela! Dulu, kita lantangkan gotong royong, persatuan, dan keikhlasan berkorban demi rakyat jelata. Kini, sang pemimpin hanya mengagungkan dirinya, kekuasaannya, fatwa-fatwanya! Apakah pengorbanan para pemuda, pekik merdeka yang membahana, akan hangus begitu saja demi kemuliaan semu? Ini adalah noda bagi martabat bangsa kita, bangsa Indonesia!"
Sutan Sjahrir: Intelektual yang Muak
"Saya melihat ini bukan sekadar kesombongan belaka, melainkan kemiskinan nalar yang amat berbahaya. Kita berjuang bukan hanya untuk merdeka dari penjajah fisik, melainkan juga dari belenggu pikiran yang sempit. Kepemimpinan sejati adalah tentang mencerdaskan rakyat, membuka ruang diskusi, bukan menuntut kepatuhan buta pada dogma-dogma yang dibuat-buat. Tindak tanduk 'pemimpin' ini adalah cerminan dari kemunduran akal budi, meruntuhkan pilar-pilar demokrasi yang dengan susah payah kita tegakkan. Ini adalah regresi yang tak patut kita biarkan!"
Tan Malaka: Sang Pelopor yang Memperingatkan
"Sudah kuduga! Selama ini aku selalu berujar, tanpa revolusi rakyat yang sejati, tanpa kewaspadaan yang tiada henti, dan tanpa perombakan sistem yang mendalam, benih-benih penindasan akan selalu tumbuh subur, bahkan di antara kita sendiri. Kesombongan ini hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar: konsentrasi kekuasaan yang menjauh dari kehendak rakyat. Kita harus senantiasa mengingatkan, bahwa kekuatan sejati bukan ada pada satu orang, melainkan pada solidaritas seluruh rakyat!"
Haji Agus Salim: Sang Arif yang Menyayangkan
"Anak-anakku sekalian, sungguh disayangkan. Telah kita dapati contoh nyata dari mereka yang lupa akan hakekat kepemimpinan. Rasulullah SAW bersabda, 'Rendah hati itu adalah pakaian Allah.' Mengingkari kerendahan hati, apalagi saat mengemban amanah besar negara, berarti mengingkari ajaran-ajaran suci. Kita ingin membangun bangsa yang berlandaskan budi pekerti luhur, pengabdian, dan kesahajaan. Namun, sang pemimpin ini justru keliru mengartikan kekuasaan dengan kemegahan, pengaruh dengan keleluasaan berbuat semena-mena. Kesombongan ini, tak hanya menghina rakyat, tetapi juga melukai nilai-nilai keimanan kita."
Advokat. Tinggal di Jambi