02 Agustus 2025

opini musri nauli : Pendaftaran Tanah dan Hak atas tanah

 

Tanah adalah sumber daya alam yang vital dan memiliki nilai ekonomi, sosial, dan kultural yang tinggi. Kepemilikan dan pemanfaatan tanah yang teratur dan sah adalah kunci stabilitas sosial dan kemajuan ekonomi suatu bangsa.

 Di Indonesia, salah satu instrumen terpenting untuk memastikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah adalah pendaftaran tanah. 

Pendaftaran tanah di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat dan telah mengalami perkembangan seiring waktu. Dasar hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA adalah “ibu” dari hukum agraria di Indonesia, yang mengamanatkan adanya pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum.

Namun, implementasi teknisnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. PP ini menjadi pedoman utama bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menjalankan tugas pendaftaran tanah. Dalam PP 24/1997, pendaftaran tanah didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian data fisik dan data yuridis, serta penerbitan surat-surat tanda bukti hak bagi bidang-bidang tanah yang sudah didaftar.


Pendaftaran tanah memiliki dua tujuan utama. 1. Kepastian Hukum (Rechtszekerheid): Pendaftaran tanah menciptakan kepastian hukum mengenai subjek (pemilik) dan objek (letak, batas, dan luas) dari suatu bidang tanah. Dengan adanya sertifikat, hak atas tanah menjadi lebih kuat dan terlindungi dari sengketa. 2. Publikasi (Openbaarheid)


Data pendaftaran tanah bersifat publik. Siapapun dapat mengakses informasi mengenai status hukum suatu tanah, sehingga mencegah terjadinya transaksi yang tidak sah dan melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.

Mekanisme pendaftaran tanah meliputi tiga tahap. 1. Pendaftaran pertama kali: Pendaftaran ini dilakukan untuk bidang-bidang tanah yang belum pernah didaftar sebelumnya.2. Pendaftaran pemeliharaan data: Pendaftaran ini dilakukan untuk mencatat perubahan data pendaftaran tanah yang sudah ada, seperti peralihan hak, pembebanan hak (misalnya hak tanggungan), atau perubahan status tanah.3. Pendaftaran secara sistematis (Prona/PTSL): Pemerintah secara proaktif mendata dan mendaftarkan bidang-bidang tanah di suatu wilayah secara serentak. Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah contoh nyata dari upaya ini.

Namun yang tidak boleh dilupakan Hak atas tanah di Indonesia juga diatur dalam UUPA. UUPA mengakui berbagai jenis hak atas tanah, baik yang bersifat perseorangan maupun komunal. Secara umum, hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA adalah:

 * Hak Milik: Hak terkuat, turun-temurun, dapat beralih, dan dialihkan.

 * Hak Guna Usaha (HGU): Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu tertentu.

 * Hak Guna Bangunan (HGB): Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri.

 * Hak Pakai: Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain.

 * Hak Sewa: Hak untuk menggunakan tanah orang lain dalam jangka waktu tertentu dengan membayar sewa.

UUPA berusaha mengakomodasi berbagai kepentingan dalam pemanfaatan tanah, baik untuk kebutuhan individu, bisnis, maupun publik. Hierarki hak-hak tersebut juga menunjukkan adanya tingkatan kepastian hukum, di mana Hak Milik menjadi hak terkuat.

Sehingga Tanah Tidak Didaftarkan Tidak Kehilangan Haknya 

Meskipun pendaftaran tanah sangat penting namun perlu dipahami bahwa tanah yang tidak didaftarkan tidak serta-merta kehilangan haknya. Hal ini merupakan prinsip penting dalam hukum agraria Indonesia. Hak atas tanah tidak timbul dari pendaftaran, melainkan dari peristiwa hukum yang mendahuluinya, seperti jual-beli, hibah, warisan, atau bahkan penguasaan fisik secara turun-temurun yang sah menurut hukum adat.

Dengan demikian maka Sertifikat Bukan Satu-satunya Bukti: Sertifikat adalah bukti kuat, tetapi bukan satu-satunya bukti kepemilikan. Dokumen lain seperti girik, petok D, Letter C, dan bukti penguasaan fisik lainnya yang sah, masih diakui sebagai bukti kepemilikan.


Pendaftaran Bersifat Wajib, tetapi Tidak Menghilangkan Hak: Pemerintah mewajibkan pendaftaran tanah, tetapi kelalaian pemilik untuk mendaftarkan tanahnya tidak serta-merta membuat haknya hilang. Hak tersebut tetap melekat, namun status hukumnya menjadi tidak sekuat tanah yang telah bersertifikat.

Konsekuensi Hukum: Pemilik tanah yang belum mendaftarkan tanahnya akan menghadapi kesulitan besar jika terjadi sengketa. Dokumen-dokumen lama mungkin tidak sekuat sertifikat di mata hukum. Selain itu, tanah tersebut tidak dapat dijadikan agunan bank, sehingga menghambat akses terhadap modal.

Pendaftaran tanah di Indonesia adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan tanah. Meskipun memiliki dasar hukum yang kuat dan sangat penting untuk melindungi hak dan mendorong ekonomi, sistem ini juga mengakui bahwa hak atas tanah dapat lahir dari peristiwa hukum lainnya. 

Oleh karena itu bagi setiap pemilik tanah, mendaftarkan tanah adalah langkah bijak untuk melindungi aset berharga mereka dan berkontribusi pada terciptanya tata kelola pertanahan yang lebih baik di Indonesia.

Namun ketika tanah tidak didaftarkan maka sang pemilik tanah tidak kehilangan haknya.