01 Agustus 2025

opini musri nauli : mentaro (2)

 


Melanjutkan diskusi tentang Mentaro, "Mentaro" tidak berdiri sendiri, tetapi secara rumit terkait dengan hukum dan praktik adat lainnya. Seperti Larangan Krenggo.  Larangan ini memperkuat perlindungan hukum dan adat atas tanah yang ditandai dengan "Mentaro," memastikan bahwa setelah batas ditetapkan, tidak dapat dilanggar secara sewenang-wenang oleh orang lain.


Pancung Alas: Praktik meminta izin dari Kepala Desa untuk membuka area hutan baru untuk budidaya. Setelah izin ini diberikan dan tanah dibuka, "Mentaro" kemudian akan digunakan untuk menandai batas-batasnya.


Sebidang / Depo / Anggar: Istilah-istilah ini menunjukkan unit-unit pengukuran tanah. "Sebidang" mengacu pada sebidang tanah yang telah dibuka , sementara "Depo" (sekitar 1,7 meter) dan "Anggar"  adalah unit yang digunakan untuk menentukan dimensinya. "Mentaro" membantu secara fisik membatasi plot-plot yang diukur ini.

Peumoan: Ini mengacu pada area spesifik yang ditetapkan untuk budidaya padi ["“tanah peumoan”, yaitu daerah yang dikhususkan untuk penanaman padi tidak boleh ditanami tanaman lain selain padi,"]. Lahan pertanian vital ini tidak diragukan lagi akan dibatasi oleh "Mentaro" untuk memastikan penggunaan khusus dan mencegah perambahan.


Bubur Putih: Sanksi tradisional ini dikenakan pada individu yang gagal mengusahakan tanah yang telah mereka buka selama tiga tahun. Keberadaan hukuman ini menggarisbawahi pentingnya mengelola tanah secara aktif, terutama yang dibatasi oleh "Mentaro," untuk mencegahnya menjadi "Tanah Terlantar”.


Pantang Larang: Konsep yang lebih luas ini mencakup berbagai larangan, yang akan mencakup penghormatan terhadap batas-batas “Mentaro".


Jenjang Adat: Proses penyelesaian sengketa tradisional untuk masalah tanah, termasuk yang terkait dengan "Mentaro" atau batas-batas, diselesaikan melalui rapat adat yang berjenjang.

Apabila dianalisis lebih jauh, makna simbolik Seloko Mentaro menunjukkan Kearifan Lokal yang Terinspirasi dari Alam. "Seloko Mentaro" menyimpan makna filosofis yang mendalam. 


Seloko adalah bentuk pepatah atau ungkapan bijak dalam budaya Melayu dan "Seloko Mentaro" ini secara spesifik merujuk pada kearifan yang dipetik dari pengamatan terhadap karakter dan pertumbuhan tumbuhan mentaro.


Lihatlah "Bila mentaro ditanam di pekarangan, jangan sampai tumbuh terlalu besar, nanti jadi sarang kejahatan." Seloko ini menyiratkan pesan penting tentang pengendalian dan pencegahan. Tumbuhan mentaro, yang mungkin memiliki sifat rimbun atau mudah tumbuh besar, dapat menjadi tempat persembunyian atau sumber masalah jika tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks sosial, ini dapat diartikan sebagai peringatan untuk tidak membiarkan sesuatu yang kecil tumbuh menjadi masalah besar, atau untuk mengawasi lingkungan agar tidak menjadi tempat berkembangnya hal-hal negatif. Ini juga bisa berarti pentingnya menjaga kerapian dan kebersihan lingkungan.


"Mentaro itu walau kecil tetap ada gunanya, bisa jadi obat atau penghias." Seloko ini menyoroti nilai dan kegunaan dari hal-hal yang mungkin terlihat remeh atau kecil. Meskipun mentaro tidak tumbuh besar seperti pohon lain, ia tetap memiliki manfaat, baik sebagai tanaman obat maupun sebagai elemen estetika. Pesan moralnya adalah bahwa setiap individu atau setiap hal, sekecil apapun, memiliki potensi dan nilai yang dapat memberikan kontribusi positif. Ini mengajarkan kita untuk tidak meremehkan siapa pun atau apa pun.


"Tumbuh mentaro jangan di tempat yang basah, nanti busuk." Seloko ini adalah pelajaran tentang penempatan dan kondisi yang tepat. Mentaro, seperti halnya banyak tumbuhan lain, membutuhkan lingkungan yang sesuai untuk tumbuh subur. Jika ditempatkan di tempat yang terlalu basah, ia akan busuk dan mati. Dalam kehidupan, ini bisa diartikan sebagai pentingnya menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar, atau mengambil keputusan yang sesuai dengan kondisi dan situasi. Kegagalan dalam hal ini dapat menyebabkan kehancuran atau kegagalan.