01 Agustus 2025

opini musri nauli : Amnesti dan Abolisi

 


Akhir-akhir ini, tema amnesti dan abolisi menarik perhatian publik. Istilah Amnesti dan Abolisi dikenal didalam konstitusi Indonesia. 


Amnesti dan abolisi adalah dua dari empat hak prerogatif yang dimiliki Presiden Republik Indonesia, selain grasi dan rehabilitasi. Kewenangan ini memiliki dasar hukum yang kuat dalam konstitusi dan undang-undang, namun juga memiliki perbedaan mendasar dalam pengertian, tujuan, dan dampaknya.


Kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."


Sebagai kewenangan Presiden maka dapat dikategorikan sebagai hak preograrif Presiden. Kekuasaan ini melekat pada jabatan Presiden dan tidak dapat diintervensi oleh lembaga lain kecuali dalam hal pertimbangan.

 

Makna memperhatikan Pertimbangan DPR. Meskipun merupakan hak prerogatif, Presiden tidak dapat memberikan amnesti dan abolisi secara mutlak. Presiden wajib "memperhatikan pertimbangan" Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Frasa "memperhatikan pertimbangan" ini menunjukkan bahwa DPR memiliki peran penting dalam proses ini, meskipun keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 71 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 yang mengatur wewenang DPR, yaitu "Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi."


Dasar Hukum adalah  Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menjadi landasan hukum bagi Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi. Dalam UU Darurat ini, disebutkan bahwa Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang diminta terlebih dahulu oleh kementerian terkait (dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Namun, perlu dicatat bahwa UUD NRI 1945 yang telah diamandemen menggeser kewajiban pertimbangan dari Mahkamah Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk amnesti dan abolisi.

opini musri nauli : mentaro (2)

 


Melanjutkan diskusi tentang Mentaro, "Mentaro" tidak berdiri sendiri, tetapi secara rumit terkait dengan hukum dan praktik adat lainnya. Seperti Larangan Krenggo.  Larangan ini memperkuat perlindungan hukum dan adat atas tanah yang ditandai dengan "Mentaro," memastikan bahwa setelah batas ditetapkan, tidak dapat dilanggar secara sewenang-wenang oleh orang lain.


Pancung Alas: Praktik meminta izin dari Kepala Desa untuk membuka area hutan baru untuk budidaya. Setelah izin ini diberikan dan tanah dibuka, "Mentaro" kemudian akan digunakan untuk menandai batas-batasnya.


Sebidang / Depo / Anggar: Istilah-istilah ini menunjukkan unit-unit pengukuran tanah. "Sebidang" mengacu pada sebidang tanah yang telah dibuka , sementara "Depo" (sekitar 1,7 meter) dan "Anggar"  adalah unit yang digunakan untuk menentukan dimensinya. "Mentaro" membantu secara fisik membatasi plot-plot yang diukur ini.

Pelajaran dari Tiga Gempa Global dan Kekuatan Kearifan Lokal Nusantara

 


Bumi adalah planet yang hidup dan terus bergerak, dan di setiap pergerakannya, ia mengajarkan kita pelajaran berharga. Tragedi Tsunami Aceh 2004, Gempa Jepang 2011, dan Gempa Rusia 2025 adalah tiga peristiwa global yang membentuk narasi tentang respons kemanusiaan terhadap bencana. Dari setiap gempa, kita menemukan evolusi dalam kesiapsiagaan, yang menunjukkan bagaimana trauma masa lalu menjadi pemicu reformasi, dan bagaimana kearifan kuno tetap relevan di era modern.


Tsunami Aceh 2004 - Tragedi yang Mengubah Dunia


Pada 26 Desember 2004 dunia dikejutkan oleh gempa laut yang memicu tsunami terparah dalam sejarah modern. Dengan magnitudo antara M 9,1–9,3, guncangan dahsyat ini membuka mata dunia terhadap kerentanan global terhadap bencana alam. Tsunami ini menerjang 14 negara, menewaskan lebih dari 227.000 orang, dan meninggalkan luka mendalam. Namun, di tengah kehancuran, ada secercah harapan. Di Pulau Simeulue, Aceh, kearifan lokal yang diwariskan melalui tradisi lisan dan nyanyian anak-anak, yang dikenal sebagai "Smong," menjadi penyelamat. Kisah ini mengajarkan bahwa jika ada gempa kuat dan air laut surut, masyarakat harus segera lari ke tempat yang lebih tinggi. Berkat Smong, sekitar 75% populasi Simeulue berhasil selamat. Tragedi ini menjadi pemicu lahirnya sistem peringatan dini tsunami global, sebuah upaya kolektif untuk memastikan bencana serupa tidak terulang.


Gempa Jepang 2011- Batasan Teknologi di Hadapan Alam


Tujuh tahun setelah Aceh, Jepang, negara yang paling siap menghadapi gempa, menghadapi tantangan serupa. Gempa Tohoku pada tahun 2011, dengan magnitudo M 9,1, memicu gelombang tsunami setinggi 40 meter yang meratakan kota-kota pesisir. Meskipun Jepang memiliki sistem peringatan dini yang sangat canggih dan infrastruktur tahan gempa, skala bencana yang ekstrem menunjukkan bahwa teknologi memiliki batas. Tragedi ini menewaskan hampir 20.000 orang dan memaksa Jepang untuk mengevaluasi ulang standar keamanan nuklir mereka. Gempa ini menjadi pengingat bahwa tidak peduli seberapa maju teknologi kita, alam selalu memiliki cara untuk mengejutkan. Bencana ini memicu reformasi yang lebih mendalam, mendorong pengembangan sistem peringatan dini yang mampu memberikan peringatan dalam hitungan detik.


Gempa Rusia 2025 -  Bukti Pembelajaran Global


Pada tahun 2025, Gempa Kamchatka di Rusia dengan magnitudo M 8,8 memberikan perspektif baru. Meskipun guncangannya kuat, dampaknya relatif terbatas. Kerusakan di Rusia minimal, dan tsunami yang dihasilkan tidak menyebabkan bencana massal. Peristiwa ini menjadi bukti keberhasilan pembelajaran kolektif yang terjadi pasca-2004 dan 2011. Sistem peringatan tsunami global berfungsi dengan baik dan memberikan peringatan dini ke seluruh wilayah Pasifik, termasuk Jepang dan Indonesia. Gempa ini menunjukkan bahwa integrasi teknologi modern dengan kesadaran masyarakat yang tinggi dapat menjadi kunci untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan.


Sementara itu Data Gempa di Indonesia menunjukkan  Kerentanan yang Terus Berulang

Indonesia, yang berada di "Cincin Api Pasifik," adalah salah satu negara yang paling rawan gempa. 


Dengan catatan sejarah bencana yang menunjukkan pola kerentanan yang kompleks. Berikut adalah analisis dari beberapa gempa terbesar dan paling merusak yang pernah terjadi, yang menegaskan perlunya sinergi antara kesiapsiagaan dan infrastruktur yang kuat. 


Tsunami Aceh (2004). Gempa yang memicu tsunami mematikan dan menjadi titik balik dalam kesadaran bencana global. Analisis menunjukkan bahwa dampak masif tidak hanya disebabkan oleh kekuatan gempa, tetapi juga oleh kurangnya sistem peringatan dini dan pemahaman masyarakat tentang tanda-tanda alam.


Gempa Nias (2005). Berkekuatan M 8,6, gempa ini tidak hanya menewaskan sekitar 1.300 orang, tetapi juga menyebabkan pergeseran pulau secara signifikan. Peristiwa ini menyoroti bagaimana gempa berkekuatan besar dapat secara fundamental mengubah geografi suatu wilayah dan memerlukan respons yang terkoordinasi untuk pemulihan jangka panjang.


Gempa Yogyakarta (2006): Gempa dangkal M 6,3 ini menghancurkan puluhan ribu bangunan dan menewaskan lebih dari 6.200 orang. Analisis mendalam menunjukkan bahwa kerusakan parah disebabkan oleh kedalaman gempa yang dangkal, yang membuat guncangan terasa sangat kuat di permukaan, serta kerentanan bangunan yang tidak tahan gempa di kawasan padat penduduk.


Gempa dan Tsunami Palu (2018): Gempa berkekuatan M 7,4 ini memicu tsunami dan fenomena likuefaksi yang dahsyat. Analisis dari peristiwa ini menekankan bahwa dampak bencana sering kali merupakan kombinasi dari beberapa faktor, yaitu gempa, tsunami, dan likuefaksi. Ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya mitigasi bencana yang mencakup berbagai ancaman simultan.


Gempa Cianjur (2022): Gempa dangkal M 5,6 ini menunjukkan bahwa gempa dengan magnitudo yang relatif kecil pun dapat mematikan jika pusatnya berada dekat dengan permukaan dan terjadi di kawasan padat penduduk dengan bangunan yang tidak tahan gempa. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa tidak hanya gempa berkekuatan besar yang patut diwaspadai, tetapi juga gempa dangkal yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan.


Pengetahuan Nusantara


Masyarakat Nusantara yang hidup di wilayah yang rentan ini, telah mengembangkan pengetahuan mitigasi bencana yang kaya dan mendalam, yang diwariskan secara turun-temurun melalui kearifan lokal. Pengetahuan ini bukan sekadar takhayul, melainkan hasil pengamatan empiris selama ribuan tahun.

Kearifan Lokal dan Sistem Peringatan Dini Alami seperti Kisah "Smong" di Simeulue, Aceh, adalah contoh nyata pengetahuan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun.


Ada istilah "Smong" untuk gempa besar yang diikuti gelombang laut (tsunami). Tradisi lisan dan nyanyian anak-anak tentang Smong telah menyelamatkan 75% populasi di pulau tersebut dari bencana tsunami Aceh 2004. Pengetahuan ini mengajarkan warga untuk secara naluriah mengungsi ke tempat yang lebih tinggi setelah merasakan guncangan gempa yang kuat


Nenek moyang masyarakat Nusantara juga memiliki "sistem peringatan dini" alami yang peka, seperti perubahan perilaku hewan (ikan melompat, burung gelisah, hewan melata keluar sarang) yang dipercaya sebagai sinyal akan adanya gempa.


Arsitektur Tradisional Tahan Gempa. Masyarakat Nusantara telah mengembangkan arsitektur tradisional yang dirancang untuk beradaptasi dengan guncangan gempa, bukan melawannya. Contohnya adalah rumah Toraja, rumah Sasak, dan rumah Nias yang dibangun dengan material ringan seperti kayu dan bambu, serta memiliki fondasi yang lentur untuk meredam guncangan. Desain ini memungkinkan bangunan bergoyang mengikuti gempa tanpa roboh.


Nilai Spiritual dan Keseimbangan Alam. Di beberapa daerah, gempa dipandang sebagai cara alam untuk menyeimbangkan diri. Pengetahuan ini mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam, tidak mengeksploitasinya, dan menjaga harmoni antara manusia dan lingkungannya.



Sinergi Masa Depan


Pelajaran dari ketiga gempa global ini sangat jelas: tidak ada solusi tunggal untuk menghadapi kekuatan alam. Gempa Aceh mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan lokal. Gempa Jepang menunjukkan batas teknologi modern, dan Gempa Rusia membuktikan bahwa sinergi antara keduanya adalah kunci.


Data gempa di Indonesia menunjukkan bahwa kerusakan terparah sering kali disebabkan oleh kombinasi gempa yang kuat dan kerentanan infrastruktur. Hal ini menekankan pentingnya pendekatan holistik yang menggabungkan mitigasi struktural dengan kesadaran masyarakat.


Masa depan kesiapsiagaan bencana terletak pada integrasi harmonis antara teknologi modern dan kearifan lokal. Sistem peringatan dini yang canggih dapat memberikan peringatan dalam hitungan detik, tetapi kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang diturunkan melalui kearifan lokal adalah yang mendorong tindakan. Dengan menggabungkan kedua kekuatan ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih tangguh, di mana setiap individu memiliki pemahaman tentang risiko dan alat untuk merespons dengan bijak. Inilah warisan terbesar dari setiap gempa: pelajaran untuk menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk masa depan yang tidak pasti.


Advokat. Tinggal di Jambi 


opini musri nauli : Api Amarah di Ruang Kemerdekaan: Ketika Para Bapak Bangsa Murka pada Korupsi (Perdebatan Imajiner)

 


Jakarta, 1945 – Di tengah gema proklamasi yang belum genap setahun, bayangan suram mulai menyelimuti batin para pendiri bangsa. Bukan lagi cengkeraman penjajah, melainkan monster baru yang mengancam: korupsi. Di sebuah ruangan sederhana di Jakarta, yang temaram oleh lampu minyak dan sesak oleh kepulan asap tembakau, lima tokoh besar berkumpul. Udara terasa tegang, dipenuhi kemarahan yang membuncah dari hati mereka yang telah mengorbankan segalanya demi sebuah cita-cita merdeka. Mereka adalah Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Agus Salim, dan Bung Tan Malaka.



Gelegar Kemarahan Bung Karno


Pertemuan itu dibuka dengan gelegar suara Bung Karno, yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kini terbakar oleh amarah yang lain. Tangannya menggebrak meja, bukan untuk membakar semangat perjuangan, melainkan untuk meluapkan kekecewaan yang mendalam.

"Saudara-saudaraku sekalian!" seru Bung Karno, suaranya bergetar menahan luapan emosi. "Hati saya panas membara melihat gelagat pemimpin-pemimpin kita sekarang! Seolah lupa pada janji kemerdekaan, malah sibuk memperkaya diri! Rakyat masih merintih dalam penderitaan, tapi mereka asyik menumpuk harta, membangun istana pribadi di atas puing-puing nestapa bangsa!"

Bung Hatta, yang selalu tenang dan logis, kali ini tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menyesap kopi pahitnya, seolah rasa pahitnya menandingi kepahitan hatinya. "Betul, Bung Karno," ucapnya pelan, namun tegas. "Semangat perjuangan seolah luntur, diganti nafsu serakah yang tak berbatas. Saya mendengar desas-desus, bahkan lebih dari itu, tentang praktik korupsi yang merajalela di sana-sini. Ini bukan hanya pengkhianatan, ini adalah penusukan dari belakang terhadap amanat penderitaan rakyat!"