Sungai
Batanghari tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jambi.
Daerah Aliran Sungai Batanghari merupakan salah satu DAS besar yang
terletak di Pulau Sumatera dan DAS terbesar kedua di Indonesia.
Mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha.
Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya
berada pada provinsi Sumatera Barat.
Aliran
Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya dapat dilayari sepanjang
3.224 km dengan lebar 50-65 meter. Kedalaman alur pelayaran antara
1-10 meter. Sekitar 95 % ekspor Jambi setiap tahunnya diangkut
melalui Sungai Batanghari. Disamping itu, bahan bakar minyak.
Disamping itu, bahan bakar minyak, bahan kebutuhan dan muatan umum
lainnya diangkut dan didatangkan ke Jambi melalui Sungai Batanghari.
DAS
Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) dan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di
landscape TNKS terdapat Margo Batin Pengambang dan Margo Sungai
Tenang. Sedangkan di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay. Sungai
Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai
(Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah
Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang
Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.). Sungai
Batanghari kemudian mempertemukan berbagai Sungai-sungai Besar di
Jambi.
Sungai
Batang Hari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS)
Batanghari, yang terdiri atas beberapa sub DAS, yaitu Sub DAS Batang
Tembesi, Sub DAS Jujuhan, Sub DAS Batang Tebo, Sub DAS Batang Tabir,
Sub DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air Hitam, Sub DAS Airdikit,
Sub DAS Banyulincir, Sub DAS Lainnya
Panjang
Sungai Batanghari diperkirakan 775 km berhulu di Danau Diatas,
Pegunungan Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Barat dan bermuara di
Selat Berhala.
Sehingga
tidak salah kemudian Sungai Batanghari kemudian “mempertemukan”
nafas masyarakat Jambi. Sungai Batanghari kemudian menjadi identitas
yang mempersatukan masyarakat Jambi.
Sebagai
identitas, Sungai Batanghari telah dicatat oleh F. J. Tideman dan P.
L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938 yang
menulis “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu
Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara
Tebo dan Muara Tembesi. Belum lagi berbagai laporan Pemerintahan
Belanda.
Hingga
tahun 1970-an merupakan arus utama jalur perdagangan di Jambi.
Romantis
Masa lalu
Cerita
Sungai Batanghari kemudian hanya romantis masa lalu. Kerusakan
lingkungan hidup di DAS Batanghari tidak dapat dipisahkan dengan
pengelolaan sumberdaya di hulu. Sedimentasi yang tinggi di bagian
hilir DAS Batanghari diakibatkan antara lain adanya limbah dari
industri yang berada sepanjang alur Sungai Batanghari. DAS Batanghari
juga merupakan kawasan yang rawan banjir dan longsor.
Salah
satu penyebab pencemaran air di Sungai Batanghari adalah hasil limbah
dari kawasan pertambangan (terutama batu bara dan emas) yang membuang
limbahnya langsung kebadan sungai. Aktifitas pertambangan di DAS
Batanghari telah berlangsung cukup lama dan dilakukan oleh masyarakat
maupun perusahaan pertambangan. Total luas kuasa pertambangan (KP) di
hulu DAS Batanghari mencapai 220.362 hektar dan areal kontrak karya
(KK) seluas 1.026.035 hektar. Kegiatan ini telah menyebabkan
terganggunya keragaman hayati, degradasi tanah, polusi air, dan
fragmentasi kawasan lindung.
Banjir
akibat meluapnya Sungai Batanghari mengakibatkan kerugian bagi
masyarakat yang berdiam di zona hilir DAS Batanghari. Lebih dari
100.000 ha lahan pertanian terendam dan tidak bisa digarap selama 4-5
bulan antara bulan November sampai April. Banjir rutin tersebut dapat
menggenangi lahan setinggi 1-3 meter, tetapi karena lantau rumah
penduduk dibuat 3-4 meter diatas muka tanah (rumah panggung),
sehingga mereka banyak yang tidak terkena genangan air banjir
tersebut.
Sungai
Batanghari kemudian dinyatakan sangat kritis seluas 24,679 ha, kritis
seluas 535,133 ha, agak kritis 1,383,483 ha. Belum lagi Erosi,
aktivitas pertambangan (Sungai Batanghari sudah tercemar merkuri)
Ancaman
Merkuri
Kompas
2 September 2014 menyebutkan hingga tiga tahun lalu, Sungai Mesumai
jernih hingga ke dasarnya. Lalu demam emas mewabah. Di hulu, sekitar
40 kilometer dari Pasar Bawah, pelaku penambangan emas tanpa izin
tiap hari mengoperasikan sekitar 100 alat berat. Saban hari pula
limbah tambang digelontorkan ke sungai.
Bukan
hanya Mesumai, lebih dari 30 sungai dan anak sungai di Kabupaten
Merangin, Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang
emas. Limbah berupa lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri.
Menurut
pakar ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani menyebutkan
Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri,
yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter
(mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi
yang lebih rendah pun sangat berbahaya. Merkuri dalam tubuh bersifat
akumulatif.
Merkuri
alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) menginfiltrasi jaringan dalam
tubuh. Jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas
(IQ) jongkok. Kejadian ini mengingatkan tragedi Minamata yang
mengakibatkan 3000 warga Teluk Minamata menderita penyakit aneh,
mutasi genetika dan tidak dapat disembuhkan.
Sudah
saatnya, konsentrasi masyarakat di Jambi terhadap Sungai Batanghari.
Sungai Batanghari perlu dilakukan normalisasi dengan cara
menghentikan izin yang berdekatan dengan Sungai Batanghari, melakukan
Review perizinan dan Tata kelola terhadap pemberian izin.
Sudah
saatnya, Sungai Batanghari diberi kesempatan untuk sejenak
“bernafas”.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 27 November 2014
Dimuat di Harian Jambi Independent, 27 November 2014