Akhir-akhir ini, tema napi koruptor meruyak dan menimbulkan polemik ditengah publik. Mengutip dari www.kompas.com, disebutkan Mantan narapidana kasus korupsi Izedrik Emir Moeis (EM) diangkat menjadi komisaris anak BUMN, tepatnya sebagai komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Perusahaan tersebut merupakan anak usaha BUMN PT Pupuk Indonesia (Persero).
Padahal majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis tiga tahun penjara terhadap kader PDI-P, Izedrik Emir Moeis pada 2014 lalu, yang dijerat dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, tahun 2004. Dia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara. Hakim menilai Emir yang saat itu menjadi anggota Komisi VIII DPR saat itu terbukti menerima USD 357.000 dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.
Tema napi koruptor pernah menjadi tema yang menarik perhatian publik. Waktu itu Hiruk pikuk menjelang Pemilihan legislative (Pileg) diwarnai dengan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU No. 20 tahun 2018).
Polemik kemudian dimulai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf g dan h PKPU No. 20 tahun 2018. Didalam Pasal 7 ayat (1) huruf g disebutkan “Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Dilanjutkan dengan pasal 7 ayat (1) huruf h “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;
PROBLEMA YURIDIS
Terhadap Napi mengenai “hak dipilih” menjadi problema yuridis. Hakekat Wewenang pencabutan “hak dipilih” merupakan kewenangan yang terletak di pengadilan. Pencabutan “hak dipilih” dikategorikan sebagai “pencabutan hak-hak tertentu”.
Pencabutan “hak dipilih” telah diatur didalam pasal 10 huruf 1 KUHP junto pasal 35 yat (1) angka 1 KUHP. Pencabutan “hak dipilih”, “hak memilih” dan “perampasan barang-barang tertentu“ dikenal sebagai pidana tambahan.
Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP menyebutkan “Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum”
Polemik Napi koruptor telah diselesaikan oleh MK berdasarkan Putusan MK No. 4/PUU-V/2009. Didalam pertimbangannya MK telah menegaskan, “pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan putusan pengadilan.
Padahal UU tidak dapat mencabut hak pilih, Melainkan UU hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan hak napi untuk mencalonkan adalah bentuk diskriminasi warga negara Indonesia.
Namun “pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum adalah bentuk notoir feiten. Selain itu juga Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 juga telah memberi jalan keluar, yaitu memberi kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Dan kemudian diserahkan pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak.
Materi ini juga sudah ditegaskan mengenai Kepala Daerah terhadap UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.
Dengan demikian berdasarkan Putusan MK No. 4/PUU-V/2009 dan Putusan MK 42/PUU-XIII/2015 maka berdasarkan putusan MK kemudian menegaskan “hak dipilih” adalah hak yang dicabut oleh Pengadilan. Apabila tidak adanya putusan terhadap pidana tambahan “hak dipilih” yang dicabut maka tidak mempunyai kewenangan lembaga negara lain membuat norma baru.
Atau dengan kata lain Putusan Pengadilan yang tidak pernah mencabut hak untuk dipilih tidak akan “diambil alih” oleh siapapun termasuk oleh kewenangan konstitusional oleh KPU berdasarkan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018.
Sehingga pencantuman pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU No. 20 Tahun 2018 “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi” adalah bentuk norma baru yang bertentangan dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2009 dan Putusan MK 42/PUU-XIII/2015.
Namun menambah norma “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi” terlalu jauh melebihi wewenangnya “memutuskan” hak dipilih yang menurut hukum tidak dicabut oleh Pengadilan.
PKPU No. 20 tahun 2018 kemudian dilakukan uji material (judicial review) ke Mahkamah Agung. MA kemudian mencabut PKPU No. 20 tahun 2018. Sehingga PKPU No. 20 tahun 2018 kemudian dinyatakan dicabut dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Namun disisi lain, Kementerian BUMN telah mengatur syarat calon komisaris anak usaha BUMN dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan BUMN.
Beberapa pasal dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 sudah direvisi dalam aturan terbaru, yakni PermenBUMN Nomor PER-04/MBU/06/2020 yang ditandatangani Erick Thohir.
Dalam Pasal 4 diterangkan, salah satu syarat penunjukan calon komisaris pada anak BUMN adalah tidak melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam kurun waktu lima tahun sebelum pencalonan. "Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pencalonan," bunyi Pasal 4 poin e.
Melihat Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 junto PermenBUMN Nomor PER-04/MBU/06/2020 maka legal formalnya kemudian disandingkan dengan waktu 5 tahun terakhir terhadap proses hukum yang telah dijalani oleh EM maka dapat dihitung.
Apakah secara legal formal, Menteri BUMN telah keliru menempatkan EM sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) ?
Namun apabila ditelaah lebih jauh, mengutip putusan MA yang membatalkan PKPU No. 20 tahun 2018 maka terhadap Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 junto PermenBUMN Nomor PER-04/MBU/06/2020 haruslah Tetap diuji di MA.
Sehingga adanya kepastian putusan MA juga dapat membatalkan Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 junto PermenBUMN Nomor PER-04/MBU/06/2020 harus melalui proses formal pengujiannya.
Nah. Selama Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 junto PermenBUMN Nomor PER-04/MBU/06/2020 belum diuji di MA dan belum dicabut maka peraturan ini masih berlaku.
Sehingga untuk menilai proses pengangkatan sebagai komisaris Tetap merujuk kepada jeda waktu 5 tahun terakhir yang telah dijalani EM.
Standing terhadap napi koruptor haruslah diberi ruang yang tepat dengan menggunakan perangkat hukum.
Sebagai napi yang sudah menjalani proses hukum dan selama tidak ada keputusan Pengadilan yang menyatakan “dicabut hak untuk dipilih (10 huruf 1 KUHP junto pasal 35 yat (1) angka 1 KUHP), maka tidak tepat kemudian napi koruptor kemudian harus dihukum diluar putusan hakim.
Memberikan hukum diluar dari putusan hakim (hak untuk dipilih) justru menyebabkan ketidakadilan. Dan justru meminggirkan prinsip Indonesia sebagai negara hukum.