Bangsa Indonesia terutama Nusantara juga mempunyai aksara sendiri. Menurut Kajian arkeologi, Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4 M.
Selain itu, Kita juga mengenal aksara Pallawa, aksara kawi, aksara Sundo Kuno, Aksara Jawa, aksara bali, Aksara Makassar, Aksara Lampung, Aksara Batak, Aksara Lampung, Aksara Lontar.
Pengaruh Arab juga menimbulkan aksara tersendiri. Di Melayu dikenal “Arab Gundul”. Aksara arab yang tidak menggunakan tanda baca (tanda baris) dengan dialek Melayu. Atau juga dikenal dengan Arab Pegon.
Di Tanah Melayu Jambi selain juga dikenal “Arab Gundul” juga dikenal aksara yang terdapat didalam Kitab Tanjung Tanah.
Dengan ditemukan Kitab Tanjung Tanah yang berasal dari abad XIV maka dapat dikatakan sebagai naskah Melayu yang tertua. Ternyata enam ratus lima puluh tahun yang lalu Kerinci sudah memiliki kitab undang-undang yang komprehensif.
Dengan membaca buku KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH NASKAH MELAYU YANG TERTUA (Kitab Tanjung Tanah) maka tidak salah kemudian. Kitab Tanjung Tanah adalah kesaktian yang mampu meruntuhkan berbagai teori tentang Melayu, aksara Melayu sekaligus menjadi puzzle.
Membicarakan Kitab Tanjung Tanah tidak dapat dilepaskan dari aksara incung. Hampir semua naskah Kerinci ditulis pada lima jenis media, yakni bambu, kulit kayu, daun lontar, tanduk, dan kertas dengan menggunakan tiga jenis aksara yaitu surat incung, jawi. Voorhoeve menyebutkan sebagai “Jawa Kuno”.
Memang Aksara yang paling lazim digunakan adalah surat incung serta jawi. Naskah lontar dan daluang ditulis dengan aksara “Jawa Lama”.
Akan tetapi, pada sebuah artikel yang ditulis Voorhoeve di kemudian hari beliau sempat meralat asumsi tersebut “Ternyata saya salah dalam menyebut semua naskah beraksara Jawa di Kerinci sebagai Jawa Kuna. Schrieke telah mencatat di tahun 1929 bahwa aksara Jawa yang digunakan di Kerinci terdiri atas dua jenis aksara yang berbeda. Aksara yang jelas kuno digunakan dalam kitab undang-undang Tanjung Tanah (no. 160) serta dalam naskah yang berasal dari Hiang (no. 136). Kedua-duanya jelas dari zaman pra-Islam, dan aksara yang digunakan barangkali merupakan aksara yang berdiri di antara tulisan Jawa Kuna dan aksara rèncong.”
Naskah Tanjung Tanah mengandung dua teks yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan dua jenis aksara yang berbeda.
Teks utama, yaitu kitab undang- undang mencakup tigapuluh dua halaman, dan teks kedua tertulis di halaman 33 dan 34.
Teks undang-undang ditulis dengan sejenis aksara pasca-Palawa yang mirip dengan aksara Malayu zaman Adityawarman.
Aksara Malayu merupakan turunan dari aksara Palawa yang berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara.