12 September 2000

opini musri nauli : Sejarah Gerakan Mahasiswa




(Sebuah mitos Peran Mahasiswa dalam Kurun Pergerakan Indonesia) Ketika saya disodori tentang “Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Pergerakannya”, yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unbari dalam acara “Studi Pengenalan Kampus dan Strategi Kuliah Mahasiswa” (SPEKTRUM), tahun 2000, maka yang terbayang dalam pemikiran saya, apakah memang benar ada andil peran mahasiswa dalam proses pergerakan Nasional ?. 

Dari berbagai bacaan literature saya, saya sulit menemukan kebenaran sejarah yang pertanggungjawaban akademis dapat diterima. 

Untuk membantu pemahanan saya, saya sengaja membuat rangkaian pertanyaan sederhana untuk mencoba membuka pemikiran kita. 

 Pertanyaan pertama saya sampaikan sebelum kita membuka pemikiran tentang Peran Mahasiswa, Apakah memang mahasiswa ada berperan dalam proses gerakan di Indonesia ?. Apakah selama ini gerakan mahasiswa hanyalah sebuah mitos ? 

Pertanyaan ini sengaja saya kemukakan sebagai bentuk kritis kita terhadap mitos-mitos sejarah yang sampai sekarang masih misteri. Misalnya Misteri apakah Sriwijawa itu kerajaan besar. 

Terletak dimanakah Sriwijaya itu. Apa hubungan dengan Kerajaan Melayu yang berada di Muara Jambi itu ?. Bagaimana gerakan yang telah dilakukan Kartini dalam Surat-menyurat dengan Ny. Abendanon ?. 

Bagaimana misteri kemerdakaan dengan yang dilakukan oleh Soekarno – Hatta, Bagaimana sebenarnya Supersemar itu, Apa yang sesungguhnya terjadi di balik Lengser Keprabon-Nya Soeharto. 

Misteri ini masih tersimpan rapi sebagai bentuk Mitos-mitos sejarah yang harus kita gugat kebenarannya. 

Dan begitu juga mitos dengan peran mahasiswa sebagaimana kurun waktu yang telah saya sampaikan tersebut. 

 Untuk memahamkan tentang gerakan mahasiswa memang tidaklah mudah. Mitos-mitos tentang gerakan mahasiswa seperti yang sering kita dengar dalam periodic 1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998 apabila kita telaah maka pertanggungjawaban secara akademis sulit diterima. 

Sebagai sebuah kalangan intelektual, gugatan terhadap sejarah itu sah-sah saja kita lakukan. Maka berlanjut dari pemikiran tersebut, apakah memang kurun waktu itu mahasiswa berperan ?. 

Apa standar yang harus kita sepakati bahwa peran mahasiswa itu memang mempunyai andil dalam proses pergerakan mahasiswa ?. 

Mungkin dalam kajian-kajian kita selanjutnya kita diskusikan lebih dalam dan kita kritisi lebih jauh. 

Namun dalam kesempatan ini saya hanya memaparkan kejadian sejarah sebagaimana untuk sementara kita anggap sebagai mitos gerakan yang dilakukan oleh kelas menengah. 

 Saya memang harus menggunakan kata-kata “kelas menengah”, sebagai bentuk perlawanan yang lebih luas spektrumnya daripada gerakan mahasiswa. 

Sebagai gerakan kelas menengah, maka term kelas menengah adalah kelas yang secara ekonomi sedikit lebih rata-rata daripada kelas seperti buruh maupun tani, mempunyai kesempatan untuk menguasai perkembangan ilmu, memiliki pemahanan tentang modernisasi. 

Tentunya peran kelas menengah ini apabila kita bandingkan dengan kelas yang lain, maka sangatlah tidak signifikan dengan yang lain. 

Namun sebagai proses gerakan, kelas menengah mempunyai strategi yang baik, manajemen yang rapi dan ukuran-ukuran yang mudah dipahami. 

 Apabila kita lihat peran kelas menengah dan mahasiswa dalam kurun pra-1908, perjuangannya masih dalam tataran bagaimana menguasai kekuasaan yang dikuasai oleh negara.

 Mungkin kita masih ingat tentang ceritera Trunajoyo, Ken Arok dalam “kudeta” di Singasari dengan Tunggul Ametung, perjuangan yang dilakukan oleh R.A Kartini dalam penyampaikan gagasan-gagasan tentang konsep kesetaran gender yang kemudian sekarang dikenal dengan istilah “emansipasi” ke negeri Belanda dengan Ny. Abendanon yang kemudian terbit menjadi buku “Habis Gelap terbitlah terang”, dan mulainya anak-anak muda kemudian sekolah baik itu di negeri Belanda maupun di Batavia, baik itu di Stovia, di taman Siswa dan berbagai sekolah-sekolah penting lainnya. 

 Dan ini kemudian memuncak dengan berdirinya Boedi Oetomo, sebagai kumpulan anak muda yang sekolah di kedokteran STOVIA. 

Walaupun masih bersifat Elitis – Feodal, gaung berdirinya Boedi Oetomo mampu menyibak kekakuan dan ketakutan terhadap peran hegemoni kaum kolonial. Inspirasi ini setidak-tidaknya mengilhami lahirnya organisasi local seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra, Jong Kalimantan dan sebagainya dan organisasi gerakan seperti Indistje Partie yang digawangi oleh Doewes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Partai Nasional Indonesia yang kemudian membesarkan Soekarno dan berbagai organisasi lainnya. 

Roh ini kemudian mengilhami gerakan serupa di India yang dilakukan oleh Gandhi, Nehru dan berbagai mahasiswa lainnya yang kemudian ternyata setelah negaranya masing-masing lepas dari kolonial menjadi pemimpin di negara itu ?. 

 Muara dari seluruhnya kemudian dideklarasikan dalam moment penting tahun 1928 yang mengikrarkan diri satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa dan diperkenalkan Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya’, yang dimainkan oleh W.R Soepratman. 

Momen itu ternyata berdampak luas dan mampu mempengaruhi tingkat perlawanan terhadap kaum kolonial untuk mengambil hak-nya, MERDEKA. Dampak yang luas itu kemudian mengakibatkan ditangkapnya tokoh-tokoh pergerakan baik itu, Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Sutan Syahrir dan berbagai tokoh lainnya. 

Namun yang jelas bahwa masa itu suasana pergerakan masih sangat kental. Perbedaan pandangan ideology tidaklah menjadikan permusuhan secara fisik. Tokoh seperti Hasyim Wahid (orang tua Gusdur sebagaiman sering disampaikan olehnya dalam beberapa waktu yang lalu) yang beraliran Islam – Tradisional berangkulan tokoh seperti Tan Malaka yang beraliran Komunisme. 

Hatta yang beraliran Sosialisme – Tengah duduk memimpin Indonesia bersama-sama dengan Soekarno yang kental Nasionalisme. 

Suasana itu memang tumbuhnya perdebatan akademis yang membahas ideology apapun sehingga tidak ada yang mesti ribut dengan perbedaan ideology sehingga suasana itu tidaklah mungkin akan kita temukan lagi. 

Semuanya membahas persoalan yang sama yaitu Kebangsaan menuju Merdeka. Masa itupun tiba ketika Soekarno, Hatta dan berbagai tokoh nasional lainpun masih duduk memikirkan bagaimana sikap yang harus diambil ketika Jepang bertekuk lutut di kalahkan Sekutu. 

Saat yang gentingpun diambil alih oleh Pemuda yang peristiwa itu akan menjelaskan kepada kita yaitu Peristiwa Rengasdengklok. Dan kemerdekaan itu tidak dapat kita pungkiri adalah sebuah proses sejarah. 

 Namun suasana itu kemudian tidaklah kondusif bagi proses pergerakan pemuda. Berbagai organ kemudian larut dengan kepentingan sesaat yang justru menimbulkan kepentingan nasional tidaklah menjadi tujuan bersama. 

Kondisi inipun kemudian memuncak ketika Soekarno mulai otoriter yang berakibat dibubarkannya Masyumi dan PSI. dan puncak dari otoriternya adalah ditumbangkan oleh Mahasiswa (sekali lagi merupakan mitos) pasca Gestapu (G-30-S/PKI). 

Dan ini menaikan Soeharto mengambil alih negara dengan surat sakti Supersemar. Periode yang kemudian pada zaman Orde Baru sekali lagi membuktikan tentang otoriternya Soeharto yang dengan stigma “pembangunan” membenarkan cara-cara yang justru bertertangan dengan semangat egaliter, nuansa kerakyatan dan cara-cara yang dibenarkan secara hukum. Peristiwa Malari, NKK/BKK, stigma anti komunis merupakan kontra urun rembug mahasiswa. 

Dan sekali lagi tumbangnya Soeharto (mitos) oleh gerakan mahasiswa. Apabila runut kejadian itu dibedah maka ada berbagai kesimpulan yang akan kita coba bahas : 1. bahwa Indonesia mempunyai tradisi untuk penggantian pemerintahan dengan cara-cara kudeta dan revolusi. 

Baik itu di masa Ken Arok, Trunajoyo, Soekarno, Soeharto, Habibie; 2. Seluruh rangkain kejadian melibatkan rakyat dan sama sekali tidak perjuangan mahasiswa an sich; 3. 

 Mahasiswa hanyalah menjadi pioneer yang melakukan perubahan; Demikianlah pemahanan ini disampaikan. 

Kita berharap bahwa mitos-mitos yang saya sampaikan itu merupakan refleksi bagi kita terhadap peran kita.