03 Maret 2004

opini musri nauli : Berpolitik Ngabas


Berpolitik Ngabas (Evaluasi Kritik Kinerja Anggota Parlemen 1999 – 2004) Pemilu tinggal hitungan hari. Ibarat pertandingan liga kompetisi sepakbola, pluit KPU tinggal ditiupkan. 

Pemain sudah diposisi masing-masing menghadapi pertarungan sebenarnya. Supporter sudah bersedia datang dan meneriakkan yel-yel khas kesebelasan. Para jurumedis juga telah disiapkan mengantisipasi apabila pemain, supporter atau penonton cidera. 

Sementara wartawan yang akan meliput juga telah mengantongi ID Card untuk melaporkan secara langsung pertandingan itu. 

Dan sebentar lagi mata kitapun akan “terpaksa” melihat warna-wanrni bendera partai peserta pemilu. Dari warna merah, kuning, hijau sampai warna lain seperti biru, putih, hitam dan sebagainya. Persis lagu “PELANGIKU” ciptaan Ibu Kasur yang suka dinyanyikan anak-anak. Pokoknya akhir kata pertandingan tinggal hitungan hari untuk segera dimulai. 

Sementara konsentrasi nasional dikerahkan menghadapi Pemilu, evaluasi pertandingan Pemilu, ataupun pemain yang menang Pemilu 1999 yang kemudian menjadi anggota parlemen sekarang tidak dilakukan. Evaluasi ini mutlak dilakukan agar kita mendapatkan pemain yang diharapkan. Dalam beberapa waktu yang lalu penulis telah menulis di Jambi Independent tertanggal 15 Januari 2004 yang berjudul “PEMILU : Kontrak Politik anggota parlemen”. 

Tulisan ini menerangkan tentang pentingnya memberikan garansi politik dan komitmen kepada anggota parlemen dengan istilah komitmen politik. Dalam kalangan diskusi dengan kawan-kawan gerakan, istilah ini lebih banyak dikenal dengan istilah kontrak social. 

Mengapa titik perhatian ini yang mengusik perhatian penulis ? Karena berdasarkan evaluasi Pemilu Tahun 1999, kita telah melakukan pemantauan pemilu (general election) yang demokratis, adil dan damai. 

Tapi ternyata Pemilu 1999 ternyata tidak menghasilkan anggota parlemen yang diharapkan. Anggota parlemen menjadi perhatian publik ketika pembahasan seperti Perda yang berdampak kepada sector publik, Perda yang banyak menghasilkan PAD, seringnya anggota parlemen yang sidak ke perusahaan yang dianggap bermasalah, persoalan LPJ kepala Daerah, persolan suksesi dan sebagainya. 

Tentu juga tidak dapat dipisahkan juga dari issu politik seperti tunjangan anggota DPRD, ribut-ribut mobil dinas, persoalan pesangon dan berbagai pernik-pernik lainnya yang lebih menampakkan bentuk fasilitas anggota parlemen. 

Tahun 1999, issu politik anggota parlemen dalam tugas pertamanya adalah Memilih Gubernur jambi. Gubernur yang terpilih sekarang adalah kandidate gubernur yang mengalahkan Hasip Karimuddin Syam. Pemilihan ini ricuh dan sempat terjadinya anarkhi massal terhadap berbagai fasilitas di DPRD. Sampai sekarang kasus ini tak pernah diselesaikan. Anggota parlemen sendiri larut dengan pemilihan Gubernur dan sama sekali tidak memperhatikan anarkhi massa yang menolak pemilihan tersebut. Issue selanjutnya adalah persoalan mobil dinas yang akan digunakan oleh gubernur. Issue yang mengemuka saat itu yaitu ributnya publik terhadap penyediaan mobil land cruiser dan mobil Volvo. 

Publik menganggap bahwa mobil yang disediakan tersebut terlalu mahal untuk kemampuan daerah Jambi didalam pengelolaan keuangannnya. 

Pada saat bersamaan issu politik ketika itu adalah “pembelahan TNKS” dan “pembukaan lahan sejuta hektar kebun sawit”. Program ini adalah program yang akan membuka jalan yang membelah TNKS. Praktis program yang diadaptasi dari program 100 hari Gubernur ini menimbulkan polemik di berbagai media massa tahun 2000. Kawan-kawan di organisasi lingkungan hidup terutama dipelopori oleh Walhi Jambi menentang program tersebut. 

Program yang dilihat dari segi lingkungan hidup dapat merusak dan memberikan peluang terjadinya “illegal logging” juga dikaji baik dari sudut teknis dan berbagai pertimbangan lainnya menyimpulkan bahwa program ini tidak dapat dilaksanakan secara visible. 

Teriakan dukungan diberikan oleh anggota parlemen tanpa sempat membleided secara utuh program ini. 

Bahkan secara koor pula anggota parlemen tidak melakukan kritik yang tajam terhadap program tersebut. Tahun 2001, issu yang menguap adalah persoalan batas administrasi dalam sengketa pulau berhala dengan propinsi tetangga yaitu Riau. 

Seluruh energi anggota parlemen terserap kepada persoalan tersebut. Anggota parlemen kemudian mengambil posisi yang bersamaan dengan Gubernur mempertahankan keberadaan posisi Pulau Berhala untuk masuk dan bagian secara administrasi sebagai wilayah Propinsi Jambi. 

Pada saat bersamaan, issu lingkungan yaitu pembukaan areal sejuta hektar sawit kembali menimbulkan reaksi polemik dari publik. Lagi-lagi program ini tidak dapat dijalankan secara visible. Selain persoalan sawit yang telah menjadi persoalan laten di Propinsi Jambi baik ditinjau dari konflik, areal yang disengketakan, timbulnya konflik horizontal dan telah meratanya konflik tersebut hampir praktis diseluruh kabupaten di Propinsi Jambi, juga tidak dapat diterangkan areal yang akan dijadikan perkebunan untuk memenuhi sejuta hektar sawit. 

Pemerintah tidak berkaca dari program sejuta hektar lahan gambut di kalimantan yang menimbulkan kering kerontang dan persoalan lingkungan hingga sekarang. Lagi-lagi program ini diadaptasi dari program 100 Gubernur. 

Dan tentu saja lagi-lagi program ini secara koor pula anggota parlemen berbaris mendukung program tersebut. Tahun 2002 konsentrasi anggota parlemen terserap kepada pembahasan Perda yang banyak menghasilkan PAD. Perda yang dijadikan target anggota parlemen kepada kepala dinas teknis untuk dapat memenuhinya. 

Dan konsentrasi publikpun dipaksa untuk melihat bagaimana bongkar pasangnya kabinet Gubernur Jambi dan anggota parlemenpun tidak memberikan pertimbangan politik bagaimana kinerja kabinet Gubernur Jambi. 

Sementara itu, konsentrasi publikpun terserap kepada persoalan batas administrasi “kakak beradik” kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. 

Tahun 2003, issu politik yang menarik perhatian anggota parlemen adalah harus bersiap-siap untuk menjadi anggota parlemen periode 2004 –2009. Anggota parlemen kemudian mempersiapkan dirinya untuk menjadi “nomor jadi” di partai-partai yang lolos seleksi Pemilu 1999 ataupun “membangun partai baru”, atau “tukar baju” masuk partai lain apabila partainya bubar karena tidak berhasil didalam Pemilu 1999 dan tidak mengikuti Pemilu 2004. 

Konsentrasi anggota parlemen tentunya berdampak terhadap sikap politik mereka. Maka dapat dimengerti walaupun tentu saja tidak dapat kita terima apabila didalam menghitung detik-detik akhir masa jabatannya, anggota parlemen lebih suka membahas uang pesangon daripada membuat laporan kepada konstituennya. 

Tentu saja dicari-cari dalil-dalil hukumnya. Kalaulah tidak ada dalil hukumnya, maka tentu saja dalil-dalil dibuat-buat persis acting di acrobat. 

Padahal didalam masa akhir jabatan anggota parlemen 1999 – 2004, mereka haruslah membuat laporan akhir kepada konstituennya. Misalnya melaporkan kepada rakyat yang telah memilihnya berapa buah perda yang telah diperjuangkan dan dihasilkan dalam masa periodic-nya. 

Apa saja program dari eksekutif yang ditentang dan didukung dengan alasan-alasannya . Atau apa saja janji ketika kampanye dulu yang telah berhasil diperjuangkan dan belum berhasil diperjuangkan. Bagaimana hambatan didalam mereka memperjuangkannya dan berbagai issu politik lainnya yang selama ini menjadi perhatian publik sejak tahun 1999 hingga awal 2004. 

Dari deskripsi paparan sejarah secara sederhana ini, maka sudah selayaknya menurut penulis apabila kiprah anggota parlemen 1999 – 2004 secara politik sikap anggota parlemen sama sekali tak dapat dimengerti oleh penulis. 

Sikap yang berbaris dibelakang Gubernur ketika issu lingkungan baik ketika membangun jalan membelah jalur TNKS da membuka sejuta hektar sawit membuktikan bahwa anggota parlemen “berjarak” dengan rakyat. 

Walaupun dua buah program tersebut tidak terlaksana, namun dua issu yang dicanangkan oleh Gubernur tersebut sekali lagi membuktikan bahwa anggota parlemen sama sekali tidak memberikan kontribusi dan penilaian secara obyektif dari program tersebut. 

Kesan publik yang timbul bahwa anggota parlemen mendukung program tersebut dan apabila program tersebut sempat menjadi wacana di tengah masyarakat dan kemudian gagal dilaksanakan maka secara politik anggota parlemen juga harus bertanggung jawab dan harus menyampaikan kepada publik kegagalan tersebut. 

Sikap yang tidak jelas dalam issu mobil dinas sekali membuktikan hipotesis yang penulis tawarkan bahwa anggota parlemen sama sekali tidak mempunyai “sense of crisis”. 

Disaat masyarakat berjuang untuk kehidupan sehari-hari, persoalan ekonomi yang tidak beranjak naik, ancaman PHK akibat tutupnya beberapa industri perkayuan, justru anggota parlemen lebih sibuk membahas mobil dinas, tunjangan, fasilitas dan pesangon. 

Dalil-dalil yang digunakan dicari-cari dan tentu saja tidak mempunyai kekuatan hukum. 

Dari issu terakhir inilah, penulis tersentak ketika anggota parlemen bersikukuh mendapatkan pesangon. Issu ini walaupun tidak terlaksana, namun sungguh-sungguh telah melukai perasaan kita semua. Issu pesangon sekali lagi membuktikan bahwa anggota parlemen sama sekali tidak dapat bertindak sebagai wakil dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. 

Dari public hearing dengan anggota parlemen beberapa waktu yang lalu, dalil hukum yang digunakan sama sekali tidak dapat dibenarkan. Selain besarnya uang pesangon yang tidak tepat dimasukkan kedalam criteria pesangon, ketentuan pesangon sendiri terhadap anggota parlemen tidak diatur. 

Dan tentu saja dalil-dalil pembenar lain dicari-cari. Sehingga praktis upaya yang dilakukan oleh anggota parlemen ini lebih menonjolkan sikap berpolitik yang amburadul, zig-zag, mengedepankan kepentingan politik demi keuntungan pribadi dan kelompok daripada sikap berpolitik untuk kepentingan rakyat. 

Dalam pergaulan sehari-hari di Jambi, sikap berpolitik ini lebih tepat digunakan istilah “BERPOLITIK NGABAS”. 

Berpolitik Ngabas sebenarnya istilah yang diberikan oleh penulis yang melambangkan sikap berpolitik asal jalan terus tanpa memperhatikan dalil-dalil hukum untuk mendukung langkah mereka. Sikap berpolitik ngabas sebenarnya istilah dari kata-kata “Ngabas”. Ngabas adalah istilah asal terabas atau hantam kromo dalam istilah Jawa. Pokoke jalan terus. 

Untuk mendukung argumentasi yang penulis paparkan maka penulis akan mengupasnya dari berbagai sudut. Ditinjau dari sudut fungsi, anggota parlemen berbeda dengan buruh. Buruh sebagai bagian dari komoditi sebuah industri tentunya mempunyai tanggung hawb keluarga terhada nasib keluarganya yang sifatnya individualistk. 

Buruh hidup dalam putaran industri yang seluruh persoalan ekonomi ditanggung oleh perputaran industri. Majikan dan buruh benar-benar tergantung dari bergeraknya industri itu. Perlindungan yang diberikan negara hanyalah perlindungan fisik dan pelindungan hukum. 

Maka tak pantas memperbandingkan pesangon yang diminta buruh dengan anggota Parlemen. 

Berbeda dengan anggota parlemen yang memiliki segala fasilitas yang disediakan oleh negara, buruh selain memperjuangkan seluruhnya dengan kemampuan tenaga. 

Dari sudut ini saja kelihatan betapa ketika membicarakan uang pasca pengabdian, uang purna bakti ataupun istilah lainnya yang mengambil asumsi dari determinan buruh. 

Tapi dari fungsi sama sekali tak pantas mengambil asumsi dari buruh. 

Sedangkan dari peraturan yang berlaku, juga disadari bahwa apa yang diteriakkan oleh anggota parlemen sama sekali tak tepat dan tentu saja tak pantas. 

Selain tidak diatur dalam ketentuan yang berlaku yang menjadi dasar penghitungan meminta pesangon, permintaan itu mengada-ada. 

Secara ringkas maka uang yang diperjuangkan oleh anggota parlemen sama sekali tidak tepat dimasukkan kedalam istilah uang pesangon dan dengan demikian maka tidak tepat pula diperjuangkan istilah pesangon tersebut kepada anggota parlemen. 

Dari paparan ini sebenarnya maka sudah sepantasnya apabila berpolitik secara ngabas ini haruslah ditinggalkan pada calon anggota parlemen 2004 – 2009. Sikap-sikap ini selain menampakkan watak birokrat yang berjiwa pangreh praja juga sama sekali tidak diinginkan dalam agenda reformasi. 

Dan tentu saja kontrol publik senantiasa harus dilakukan. 

Dan itu berpulang kepada kita semua. 

Alangkah baiknya apabila anggota parlemen di akhir masa jabatannya melakukan upaya populis seperti memberikan report berapa Perda yang direncanakan yang dibuat, berapa Perda yang dihasilkan, berapa perda yang belum diselesaikan dan apa strategic daerah kedepan menghadapi AFTA. 

Juga harus disampaikan persoalan rakyat apa yang dihadapi, berapa kali demonstrasi, persoalan apa yang menjadi konsentrasi anggota DPRD dalam menyikapi masalah rakyat sebagaimana harapan penulis pada awal tulisan ini. 

Dan dengan rendah hati penulis menyatakan bahwa evaluasi yang penulis lakukan berangkat dari kontrol publik terhadap kinerja anggota parlemen 1999 – 2004 dan harapan penulis terhadap kiprah anggota parlemen tahun 2004 – 2009. 

Dimuat di harian Jambi Ekspress, 3 Maret 2004